Prau

Para Nelayan di Pantai Gunungkidul/Swara
Para Nelayan di Pantai Gunungkidul/Swara

Tak ada layar terkembang di gunung“, begini kulawangsa Jawa bertutur dan berpesan tentang eskatologi; lewat isbat yang diwariskan. Layar-perahu wilayahnya ya di samodra. Bukan di gunung.

Prau, atau baita, bagi para pamisaya mina (pencari ikan; nelayan) dan para penjelajah bahari (para wangsa penjelajah yang terkadang menjelma penjajah/pengkoloni), adalah wakil-diri yang mampu melingkupi samudera, meskipun kondisi perwakilan ini ‘hanya’ percobaan kulawangsa manusia untuk mengkonstruksi kediriannya lewat prau dan samudera; hal ini tidak akan mungkin benar-benar terwujud. Prau adalah tubuh serta teknologi, psikologi, astrologi, teo-kosmologi bagi para nelayan dan penjelajah samudera, sekaligus kode-kode kuna dalam narasi-suci kitab-kitab suci. Justru ketidakmungkinan para nelayan dan penjelajah yang pada titik-suasana tertentu mampu merahsya (baca: merasakan secara esoteris) dan melingkupi ketakhinggaan (keluasan, kedalaman) samudera melandasi pemikiran kulawangsa Jawa menciptakan konstruksi tentang isbat itu, yang karena gotheking-gathuk (logis-empiris; nalar-nalar tradisional pra-modern oleh pemikiran modern biasa dilabeli dengan makna minir: bukan-logika, meskipun telah memenuhi prosedur ilmiah) terhubung dengan isbat lain: baita mot samodra (perahu memuat samudera).

Bacaan Lainnya

Perahu adalah manusia; manusia melingkupi samudera. Dan konon, perahu manusia yang sedang ‘memuat’ banjirnya manusia tertancap (terlabuh? tengkurap?) di gunung, pamomongnya seorang kula di antara kulawangsa manusia (Manu, Nuh, Nahua).

Gunungkidul sebagai bagian Pegunungan Seribu memiliki bibir laut yang cukup luas, mengakibatkan “layar” mampu terkembang di Gunungkidul. Peradaban-peradaban agung era mitologi kuna (narasi wayang purwa) memberi gambaran tentang wilayah suatu negeri yang subur makmur gemah ripah loh jinawi: di belakangnya gunung (api) dan di depannya (berhadapan langsung dengan) samudera. (H)Astina (negeri gajah) juga disebut Liman Benawi (Liman: gajah; Benawi: bengawan/kali besar). Tak heran jika Pegunungan Selatan bisa diasumsikan mewakili deskripsi di jejer wayang purwa itu, yaitu gambaran Liman-Benawi, bersamaan dengan daerah-daerah lain di Jawa atau Nusantara, memiliki simbol bengawan purwa (Bengawan Solo Purba, dari Wanagiri bermuara di Sadeng) dan gunung gajah purwa (Gajah Mungkur, dibaca: gunung yang berada di belakang pusat peradaban). Kulawangsa yang tinggal di benawi tentu memiliki benawa atau banawa (perahu).

Menaiki banawa (perahu) menelusuri benawi (bengawan), yang di skala lebih kecil disebut nadhi (kali, sungai), merupakan jalan kulawangsa manusia untuk menuju ke indhu (ibu) alam: jalanidhi atau samudera. Jalanidhi adalah ruang yang penuh wadi, wewadi, gaib. Dengan berperahu kekuatan, akal, dan batin manusia mencoba menjajaki kegaiban ini. Jalanidhi, tempat para sungai bersatu, tak ubahnya rahim yang dalam, yang luas tanpa tepi, yang menuntut kulawangsa manusia mau dan selalu ingin menjelajahinya. Mencari dasar-ujungnya. Berbekal ilmu dan lempenging tekad. Jalinidhi berhubungan dengan kasih Sang Ibu, rahsya (rasa) terdalam seorang indung. Kulawangsa manusia hendak mengungkap hakekat keibuannya: asal-usulnya.

Kula-wangsa manusia memohon ijin kepada Sang Ibu: Kunthi.

Di narasi kuna Jawa, kehadiran Sang Ibu dalam salah satu perwujudannya sebagai samudera-Bumi tumpang-tindih dengan kehadiran rembulan. Umpama Sinta dengan Landep. Rembulan terkoneksi dengan pasang-surut ‘keringat-bumi’ yaitu air laut/samudera. Wulandari, atau wulan-dadari, itu kondisi kala rembulan penuh sempurna; purnama-sidi. Wulandari, oleh nalar kuno, digunakan untuk mendeskripsikan kecantikan perempuan atau ibu. Oleh karena itu rembulan biasa disebut sebagai ibu atau indu. Rembulan adalah indu atau indupati atau indung. Rembulan berhubungan dengan sindhu, sesosok ibu yang jadi sindhen: penyuara indahnya alam. Tradisi-tradisi kuno dalam kitab suci menyebut rembulan sebagai nama dewa-dewi, malaikat, simbol-suci keagamaan, bahkan sebagai embrio penyebutan nama Tuhan agama monotheis.

Rembulan tak lain ya Si Rahu.

Rembulan (Rahu) berkolaborasi dengan Matahari (Ra; wangsa Jawa sering menyebutnya Radite) melahirkan keringat. Kama-Ratih dengan Kama-Jaya. Mereka, di dunia mitologi kuno, merupakan prototip tokoh supra-duniawi, berhubungan dengan proses kemenjadian dunia (kosmogoni) seperti halnya narasi Nawang Wulan – Jaka Tarub di Paliyan. Mereka dilanda kama; hasrat cinta yang menyala. Prau, barangkali, merupakan ikon purwa tentang pemenuhan hasrat para kulawangsa Matahari (Ra; ras manusia) ini untuk menjelajahi, menelusuri, dan menyatu dengan hayuning-bawana (Rahu; Rembulan: kecantikan alam; terkadang mirip dengan tawang/udara/angkasa) beserta kemurnian-kesuciannya: pa-rahu. Para penjelajah (Wangsa Ra/Radite) akan singgah, bertempat-tinggal, atau mengakhiri pengembaraannya di tempat dimana Sang Rara (wanita Suci) tinggal: tempat Rara Sudarmi (darat; tanah) dan Rara Kidul (laut; samudera).

Para Rara (simbol Rahu atau Rembulan) selalu menumbuhkan hasrat kulawangsa manusia untuk melayarinya. Menelusuri lekuknya. Kulawangsa manusia mengonsepsikan ilmu palintangan (pranata-mangsa) berdasar siklus rembulan dalam laku ini. Ada musim ‘kesuburan’ alam, ada musim paceklik ikan. Pranata-mangsa digunakan oleh para pamisaya-mina dan penjelajah-laut untuk menyusuri kecantikan samudera. Simbol rara bagi samudera identik dengan ‘penguasa’ (ratu, wanita suci) laut, yaitu perlambangan wanita yang hayu sulistya warna sekaligus misterius. Gaib. Ia berada di antara nalar realitas dan hiper-realitas a la wangsa modern. Ia pasangan Sang Raja (penguasa atau kulawangsa manusia itu sendiri). Sang Ratu sangat dihormati sebagai rara (wanita suci) penjaga samudera, tepatnya di hadapan rumah kulawangsa manusia (desa, kota, kraton): Si Samudera.

Kulawangsa manusia berhasrat pada samudera, menggunakan tubuhnya: prau.

Suatu saat ketika prau labuh, mbuwang-jangkar, labuh-labet para nelayan ditujukan untuk ibu bumi (Rara) dalam perlambangannya yang lain sebagai siti atau bumi atau tanah: mereka bercocok tanam. Kulawangsa nelayan Gunungkidul mengawinkan dua mata pencaharian ini, yang satu dengan Ibu-Laut (seorang ra-ra: wanita suci) di atas, yang satu dengan Ibu-Tanah (seorang ra-ra pula). Merujuk pranata-mangsa, ini saat labuh di jagad pertanian. Para nelayan, yang tani, mencumbu tanah pertanian gunung-gunung kapur. Hasil pertanian yang diolah dengan teknologi lesung-alu (sebagai simbol prau dan dhayung teknologi pengolahan hasil pertanian) minimal bisa untuk cadangan pangan serta berbagai jenis olahan pangan lain untuk mendukung kewirausahaan. Mereka (para petani yang nelayan) menunggu kapan mbedhol-jangkar (melepas jangkar) lagi. Dan di waktu mitis tertentu, kulawangsa among tani mempersembahkan upacara rasulan sebagai tanda labuh-labetnya kepada perawan bumi yang melimpahkan hasil bercocok-tanam, dipasangkan dengan upacara labuhan sebagai tanda labuh-labet wangsa pamisaya-mina kepada sang rara (ibu) laut.

Labuh-labet kepada Sang Rara, atau Sang Wanita Suci, atau Ibu Bumi, menggunakan prau (simbol di narasi mitologis Watu Gunung atau Sangkuriang): lesung dan baita. Ini adalah narasi kuno tentang cething (periuk nasi) dan enthong, atau alu dan lesung, atau wilahan dan prau yang tertelungkup (lesung-mengkureb).

Nggejog lesung sama dengan ‘mendayung perahu’. Ber-prau itu aruh-aruhan dengan hasil pertanian (serupa dengan ombak). Jika Rahu ditelan Kala (gerhana), lesung digejog. Setelah kulawangsa selesai dengan kegiatan pengolahan pangan, pas bulan purnama pula, lesung (prau) digejog, diaransemen, diciptakan lah beraneka produk budaya agrikultur (seni pertunjukan). Diiringi organ musik gamelan sebagai persatuan antara lesung dan wilahan. Wilahan (saron, gender, gambang) adalah bilah-bilah gamelan: irama gendhing yang mengalun, mengombak, tiada henti, mungel terus, tak berakhir, berasal dari piranti yang cara membunyikannya dengsn dipukulkan ini; penjelajahan nada tiada tepi. Dan wilahan, di waktu bersamaan, tak lain ya alu, tak lain ya welahan (dayung); alat di awak (tubuh) prau untuk membelah air laut. Prau nelayan Gunungkidul (juga di daerah lain) menggunakan katir, sebangsa bambu, kayu, atau plastik, terletak dan menyatu di kanan-kirinya sebagai penyeimbang awak-prau (tubuh-perahu). Fungsinya seperti lembaran ron (daun) bagi woh (buah), atau kalenan (sungai kecil) bagi sawah atau tegalan, atau sepasang swiwi/elar sayap bagi burung.

Prau-lesung memang teknologi wangsa agraris-maritim. Perahu dan lesung, seperti halnya kereta dan burung (pesawat), merupakan piranti teknologis kulawangsa agraris-maritim dalam bekerja mencari dan mengolah bahan mentah. Sayapnya (dayungnya) disebut alu. Lesung, yang merupakan perwujudan perahu, adalah ‘keperempuanan’. Sementara alu adalah ‘kelaki-lakian”. Yang nggejog lesung dengan alu biasanya para ibu; para perempuan.

Orang agraris yang sedang tak punya pekerjaan disebut mrau-lesung; perahu yang hanya diam seperti diamnya lesung (tak berpindah tempat). Maka, para nelayan dari pada nganggur ya bercocok tanam, atau mengerjakan pekerjaan lain yang menghasilkan pametu di wilayah agro-bisnis misalnya. Kulawangsa agraris yang bercocok tanam kemudian mengolah hasilnya dengan lesung pun bisa disebut berperahu; numpak prau. Ombaknya kadang landai kadang tinggi-besar: kadang banyak-melimpah kadang gagal panen.

Ombak menghantam prau di waktu purnama. Ombak meninggi. Menggulung. Prau kombul, kombak, naik turun terhempas ombak. Kombang-kambing. Ombak menggempur daratan. Lahirlah bathik motif parang. Ciprat, sirat, dan muncratnya air kala terbelah oleh prau atau terbentur karang merupakan gambaran rah (darah) semesta. Rah adalah darahnya bumi. Darah Bumi, air. Air ditangkap oleh hutan, dialirkan oleh nadhi (kali), bermuara di samudera, menjelma ombak.

Awak (tubuh) manusia terambing ombak.

Jika tubuh adalah awak, maka nahkoda prau disebut pangawak-prau, atau awak-prau, tubuh-perahu, yaitu orang yang mengemudikan prau. Prau adalah awak, badan, si pengemudi. Si Manusia itu sendiri.

Angin menggiring prau (ada yang awaknya saja, ada yang dengan pengawaknya). Prau memuat manusia-manusia menuju gunung, ke Pegunungan Selatan. Ada ziarah ke tempat wanita (kemurnian alam) berada. Ada banjir. Kebanjiran awak. Kebanjiran manusia. Ada Si Rahu yang sedang ndadari. Si Rara yang cantik rupa. Kelak, jika banjir manusia telah surut, purnama ingsut, mungkin prau akan tertelungkup, tertambat, di gunung, di tetanah.

Prau terlabuh. Rahu malu.

Kini prau, di kali-kali, pantai, juga telaga, didayakan (kembali) untuk (pari)wisata. Memang, prau membantu keluarga manusia merasakan, atau mungkin merahsyakan, sensasi menjelajahi, atau lebih pasnya menjajaki, kedalaman (bahkan baru di permukaan) indupati tak bertepi; nada-nada gamelan yang menjelajah jauh, juga suara kothekan lesung yang tumlawung; kecantikan perawan suci.

Manusia adalah prau. Manusia hendak menggapai kemurnian pikirannya, menyusu ibunya. Manusia nggejog lesung. Mendayung.

Mengembangkan layar di gunung.

(WG)

Facebook Comments Box

Pos terkait