Reog Riang Gembira

Reog Sari Manunggal Dusun Gunungsari Bejiharjo. Foto: Tugi.

Apa dan bagaimana yang terjadi apabila pentas reog tidak dilakukan oleh para peraga reog “profesional”? Ya, peraganya bukan orang yang biasa ngreog? Ternyata tetap menarik dan mampu menyihir penonton tetap terpikat. Situasi malah penuh canda-tawa pertanda riang gumbira.

Ini klip 2,5 menit berisi pertunjukan reog di desa tahun 2017 lalu. Reog Dusun Gunungsari aslinya adalah reog gagrak Gunungkidulan atau reog gagrak kaprajuritan, bukan tipologi reog ponoragan yang disertai sekuel pertempuran Bujang Ganong dan ada adegan “ndadi”-nya. Saya mengenal beberapa kawan seusia saya yang menjadi peraga profesional group reog ini.

Bacaan Lainnya

Reog dari salah satu dusun di Desa Bejiharjo ini biasanya keluar pentas saat acara bersih dusun atau bersih desa. Pentas mengiringi ancak atau gunungan dari rumah kepala dusun atau balai dusun yang diarak menuju balai desa. Biasanya rombongan reog kemudian melakukan beber atau pentas kolosal menghibur masyarakat di alun-alun desa.

Ciri khas rombongan reog Gunungsari ini adalah kesetiaannya pada corak khas tradisional reog kaprajuritan, baik sekuel adegan dan gerak tariannya, iringan musik, uborampe pakaiannya termasuk kebiasaan “nyeker” (tanpa alas kaki). Prajurit pembawa umbul masih orisinil memakai mahkota dengan hiasan “wulu pitik”. Wis pokoke sederhana banget. Group ini mungkin bisa menjadi alternatif sampel riset bagi para pandemen reog orisinil Gunungkidulan.

Namun, pentas yang terekam di klip ini ada yang berbeda dengan pentas biasanya group reog Gunungsari. Mengapa? Karena selain penabuh musik iringan, para peraga reog ini bukan para pemain reog “profesional”. Mereka ada anak, remaja, dan kaum dewasa dari berbagai latar belakang. Ada pelajar, ibu rumah tangga, petani, peternak, mas/mbak pegawai kantoran, pak guru, bu guru, pak kepala sekolah, pak kepala bidang di suatu dinas di pemerintahan, pak pegawai pengadilan, dan sebagainya. Karena itu harap dimaklumi jika para pemainnya pakai property sekenanya dan pakai sepatu, jelas mereka pasti semaput kalau kudu “nyeker”.

Dan ternyata, pentas reog mereka tetap disambut meriah. Para penonton mengikuti beber penuh canda tawa pertanda riang gumbira. Ada yang tertawa lepas ketika peraga salah gerakan, ada yang ketawa ngakak ketika sang udheng gilig kalah tempur dan dihibur dikipas-kipasi oleh pentul tembem.

Hanyutnya para penonton yang larut menikmati pertunjukkan juga terlihat dari seorang ibu yang maju ke bunderan pentas. Ia meminta anak yang digendongnya “diusapi” selendang oleh peraga pentul. Betapa, kita sesungguhnya selalu rindu pada perkara-perkara arkais dan arketip yang diyakini menggelorakan semangat hidup di tengah modernitas jaman dengan revolusi industri sampai 4.0 atau bahkan 5.0 ini.

Ingatan-ingatan kolektif arkais-arketip yang sering hanya dilihat pada adegan-adegan “ndadi” atau “trance” pada model pentas jathilan atau doger sesungguhnya juga terjadi para reog gagrak Gunungkidulan. Bukankah ketika kita mendengar bunyi kendang dhodhog yang ditabuh keras pengaruhnya juga menghentak hati kita?

Saya menjadi tersentak dari pentas yang dilakukan para peraga yang bukan pemain reog profesional ini. Jangan-jangan makna “ndadi” atau “trance” atau katakanlah “ekstase” yang sesungguhnya itu bukanlah dalam pertunjukan reog atau jathilan. Barangkali, “ndadi” itu sesungguhnya ya “ndadi”-nya prestasi atau meluncurnya kata-sikap-perbuatan yang menyatu dari setiap diri dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Facebook Comments Box

Pos terkait