Apa Itu Jathilan?
Jathilan adalah salah satu dari sekian banyak jenis kesenian tradisional yang ada di tengah masyarakat (rakyat). Dalam penampilannya, kesenian jathilan menggunakan properti kuda képang. Menurut Pigeaud (1938), pertunjukan jathilan ditampilkan dengan mengambil cerita roman Panji. Namun dalam perkembangannya, sebagaimana penelitian Kuswarsantyo (2013), kini jathilan tidak hanya bertumpu pada cerita roman Panji, tetapi dapat pula mengambil setting cerita wayang (Mahabarata atau Ramayana) dan legenda rakyat setempat.
Kesenian jathilan banyak tumbuh dan berkembang di pelosok desa yang sering dikaitkan atau dihubungkan dengan kepercayaan animistik. Hal ini dapat dilihat dari pementasan jathilan yang secara umum, pada bagian akhir pertunjukannya menghadirkan adegan trance (ndadi). Konsep trance ini sebenarnya merupakan bagian dari sebuah acara ritual, yang dalam pandangan Daniel L. Pals (dalam buku Seven Theories of Religion, 1996) merupakan rangkaian upacara ritual pada klan tertentu. Keterkaitan upacara ritual dengan komunitas itu menghasilkan pola-pola tradisi yang sudah ada dan hidup di masyarakat dengan ciri kesederhanaan, seperti yang dimiliki kesenian jathilan. Dengan demikian, sebagai tari ritual, penciptaan jathilan dilatarbelakangi oleh nilai-nilai luhur yang merupakan nilai kehidupan masyarakatnya. Ini sejalan dengan hasil riset Wenti Nuryani (UNY, 2008) tentang Nilai Edukatif dan Kultural Kesenian Jathilan di Desa Tutup Ngisor, Magelang Jawa Tengah.
Oleh sebab itu, memahami posisi kesenian dalam suatu masyarakat sangat penting untuk pelestarian dan pengembangan di suatu daerah. Kenyataan ini perlu dipahami, karena hasil penciptaan karya seni tidak dapat terlepas dari komunitas kehidupan masyarakat yang memiliki berbagai aktivitas, di samping keinginan melestarikan kesenian tradisional yang mereka miliki.
Fungsi Kesenian Jathilan
Secara fungsional, kesenian jathilan memiliki peran yang penting dalam kehidupan masyarakat, sebagai bagian dari kegiatan sosial, yang lebih dikenal sebagai sarana upacara, seperti merti désa atau bersih desa. Keberadaan jathilan dalam acara merti désa memberikan efek sosial bagi masyarakat pendukungnya sebagai sarana gotong royong. Dalam riset Wenti Nuryani (2008), nilai-nilai gotong royong di balik kesenian jathilan ini tercermin dalam upaya untuk saling memberi dan melengkapi kekurangan kebutuhan artistik, misalnya pengadaan instrumen, tempat latihan, hingga pengadaan kostum. Sejalan dengan pandangan Soerjono Soekanto (Pengantar Sosiologi, 1989), dampak dari interaksi antar-individu tersebut maka terbentuk sistem nilai, pola pikir, sikap, perilaku kelompok-kelompok sosial, kebudayaan, lembaga, dan lapisan atau stratifikasi sosial.
Perkembangan seni jathilan di Jawa seperti diungkap Pigeaud, pada awalnya merupakan sarana upacara (ritual). Menurut Edi Sedyawati (dalam buku Pertumbuhan Seni Pertunjukan, 1981), fungsi tari tradisional ketika itu untuk kepentingan dan sekaligus merupakan bagian dari kehidupan masyarakat yang diadakan demi keselamatan, kemakmuran, dan kesejahteraan masyarakat.
Jathilan dapat pula dipentaskan di desa-desa sebagai sarana penghadiran roh tertentu yang mereka inginkan. Di antara roh yang mereka inginkan hadir dalam pertunjukan jathilan bisa dari leluhur yang telah tiada, dapat pula roh binatang kera, kuda, atau harimau. Penghadiran roh binatang dalam tradisi kesenian jathilan dapat disebut dengan totemisme. Sungguhpun demikian, pemahaman totemisme tidak hanya berlaku untuk binatang saja, seperti ungkapan Levy Strauss yang dikutip J Van Baal (1988), bahwa totemisme adalah satu bentuk penjelmaan alam dalam tatanan moral. Lebih jauh dikatakan, bahwa permasalahan dalam totemisme adalah sistemasi relasi antara alam dan manusia. Di mana relasi yang ia rumuskan lebih lanjut sebagai suatu relasi yang disistematisasikan antara alam dan kebudayaan (manusia).
Lebih lanjut Levy Strauss memberikan penjelasan yang dapat dijadikan penghubung untuk memahami konsep pemahaman masyarakat Jawa tentang penghadiran roh binatang totem dalam kesenian jathilan. Upaya tari jathilan untuk menghadirkan roh binatang totem kuda, dalam tradisi masyarakat di Jawa dimaksudkan untuk mendapatkan bantuan kekuatan mengusir atau membebaskan sebuah daerah (desa) dari roh-roh jahat yang mengganggu keselamatan warga masyarakat. Hal ini diperkuat oleh Durkheim (dalam Daniel L Pals, 1996) yang menyatakan bahwa, kepercayaan dalam totemisme bukanlah hal yang utama, namun yang terpenting adalah rangkaian ritual. Durkheim beranggapan bahwa cultus (pemujaan) yang terdiri atas peristiwa-peristiwa tertentu adalah inti kehidupan bersama suatu klan. Dengan demikian upacara ritual adalah hal yang sakral, yang bertujuan untuk mempromosikan kesadaran klan, untuk membuat orang merasa menjadi bagiannya.
Kenapa Ndadi (Trance)?
Berdasarkan isi penyajian kesenian jathilan yang diakhiri dengan trance (ndadi), maka kesenian ini identik dengan kesenian yang sudah ada sejak jaman pra-Hindu. Hal ini ditengarai dengan adanya tari Sang Hyang di Bali. Dalam sajian Sang Hyang terdapat adegan kerawuhan atau kemasukan roh (trance). Seperti ditulis R.M. Soedarsono dalam buku Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (2002), tari Sang Hyang merupakan nama binatang totem yang dihadirkan dalam tari itu, seperti misalnya Sang Hyang Jaran (Jaran = Kuda), Sang Hyang Celeng (babi hutan), Sang Hyang Bojog (kera). Lebih lanjut dijelaskan bahwa di antara beberapa jenis tari Sang Hyang itu yang paling menarik adalah Sang Hyang Jaran. Tarian ini dibawakan seorang laki laki dewasa yang menunggang kuda-kudaan (kuda tiruan).
Dari penjelasan tersebut Kuswarsantyo (2013) menyatakan, bahwa substansi seni menunggang kuda képang tersebut adalah sebagai akibat adanya pengaruh budaya pra-Hindu yang lebih dulu muncul di wilayah Bali. Perlu menjadi perhatian, merujuk dokumen Sejarah Bali (Pemda Prov Bali, 1980), memahami budaya pra-Hindu sama halnya dengan memahami budaya prasejarah, karena berakhirnya jaman prasejarah di Indonesia ditandai dengan datangnya bangsa India dan agama Hindu sejak abad pertama Masehi sampai akhir abad ke-15, ketika runtuhnya kerajaan Majapahit yang merupakan masa-masa kejayaan pengaruh Hindu.
Salah satu bukti bahwa inspirasi lahirnya kesenian menunggang kuda képang tersebut terkait dengan kepercayaan pada masa pra-Hindu adalah rangkaian seremonial yang dipersiapkan sebelum pementasan dengan berbagai persyaratan khusus yang harus disediakan seperti sesaji, hingga mantra atau doa untuk menghadirkan roh pendahulu yang sudah meninggal. Pande Nyoman Djero Pramana (dalam Tari Ritual Sang Hyang Jaran, 1998) mendeskripsikan, kepercayaan pada masa prasejarah yang memiliki anggapan bahwa ”hidup” tidak berhenti setelah seseorang meninggal dunia. Orang yang meninggal dianggap pergi ke suatu tempat lain. Keadaan tempat tersebut dianggap lebih baik dari keadaan di dunia ini. Begitu pula orang percaya bahwa orang di dunia masih bisa dihubungi oleh mereka yang telah berada di dunia lain. Bahkan jika orang yang meninggal itu adalah orang yang berpengaruh atau berilmu, maka harus diusahakan agar ia masih sudi berhubungan dengan kehidupan untuk diminta nasihatnya, atau perlindungannya jika terjadi kesulitan.
Persyaratan tersebut tidak pernah dikenal secara tertulis, sehingga untuk memahaminya hanya berdasarkan temuan berupa benda-benda yang ada di sekitar tempat yang digunakan untuk menggelar kegiatan ritual tertentu. Oleh karena itu, doa atau mantra yang dibacakan pawang jathilan di berbagai wilayah tidak sama. Mereka mempunyai keyakinan sendiri berdasarkan situasi dan lokasi pertunjukan itu dilakukan. Tanda-tanda inilah yang menunjukkan adanya kesamaan antara budaya pra-Hindu dengan prosesi sebelum digelar pertunjukan jathilan di berbagai tempat saat ini, termasuk di wilayah Jawa Tengah dan DIY.
Perkembangan Seni Jathilan
Kesenian jathilan mengalami berbagai perkembangan yang melahirkan berbagai gaya dan variasinya. Perkembangan yang terjadi dalam kesenian jathilan dikarenakan berbagai tuntutan yang menginginkan adanya perubahan. Perkembangan itu sendiri terjadi karena dari faktor internal komunitas dan atau pengaruh eksternal yang datang dari luar komunitas. Dua pengaruh ini secara nyata mampu memberikan perubahan pada pola sajian, adegan, struktur gerak, rias busana, properti, hingga variasi iringan.
RM Soedharsono dalam buku Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata (1999) menyatakan, awal perkembangan seni jathilan terjadi seiring dengan bergulirnya era industri pariwisata yang ditandai dengan pencanangan program pariwisata oleh pemerintah. Presiden Soeharto ketika itu menekankan perlunya memprioritaskan sektor non-migas untuk peningkatan devisa negara. Pernyataan ini disampaikan pada pembukaan rapat kerja Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi 26 September 1986. Kesenian tradisional sejak itu menjadi objek andalan dan makin meningkat jumlah serta variasinya.
Dari keragaman bentuk sajian itu menghadirkan permasalahan estetik yang menyertai penyajian kesenian tradisional jathilan. Permasalahan estetik yang muncul sangat kompleks, terkait dengan sumber acuan cerita, koreografi, pengembangan iringan, kostum, properti, hingga munculnya beragam jenis jathilan. Salah satu contoh aspek yang menonjol dalam perkembangan iringan jathilan adalah masuknya musik campursari. Dalam musik campursari tersebut terdapat instrumen keyboard, drum atau snardrum. Kedua, menghasilkan perbedaan gaya dan karakter atau ciri, serta keunikan tersendiri. Ketiga, dampak dari perkembangan adanya pariwisata itu secara kuantitas memunculkan grup kesenian jathilan di DIY yang jumlahnya mencapai ratusan.
Data tahun 2008 dari Dinas Kebudayaan DIY menunjukkan, persebaran grup jathilan aktif di DIY adalah sebagai berikut:
1) Kabupaten Kulon Progo terdapat 114 grup aktif
2) Kabupaten Gunung Kidul terdapat 133 grup aktif
3) Kabupaten Bantul terdapat 141 grup aktif
4) Kabupaten Sleman terdapat 158 grup aktif, dan
5) Kota Yogyakarta terdapat 48 grup aktif.
* Cukup sekian dulu teman-teman. Nanti pas longgar waktu dilanjut lagi memposting referensi tentang seni jathilan dan reog. Terima kasih sudah menyimak tulisan ini. Belajar kembali dan mencintai seni tradisional kerakyatan bukanlah langkah yang yang mubazir.
*****
Referensi utama:
Kuswarsantyo, Seni Jathilan: Bentuk, Fungsi dan Perkembangannya, Jurusan Pendidikan Seni Tari, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, 2013.
Bacaan lanjut:
Th. Pigeaud, Javaanse Volksvertoningen (Batavia: Volkslectuur,1938)
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, alih bahasa oleh Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Qalam, 1996)
Wenti Nuryani, ”Nilai Edukatif dan Kultural Kesenian Jathilan di Desa Tutup Ngisor, Magelang Jawa Tengah “ (Tesis S2 – Pascasarjana UNY, 2008)
Soerjono Soekanto, Sosiologi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993)
Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1981)
J. Van Baal, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi (Jakarta : CV. Gramedia, 1988)
R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002)
Tim Penyusun, “Sejarah Bali” (Denpasar : Pemda Propinsi Bali, 1980)
Pande Nyoman Djero Pramana, “Tari Ritual Sang Hyang Jaran” (Yogyakarta: Tesis UGM, 1998)
R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata (Bandung: MSPI, 1999)
”Data Seksi Kesenian”, Dinas Kebudayaan Propinsi DIY, (tahun 2008).