Slilit Kebencian

Bakmi khas Gunungkidul. Foto: krjogja.

Mbakmi adalah pesta penyambung bahagia keluarga kami. Kami rayakan itu sebagai ekspresi syukur saat diberi hoki, kecil atau besar, meski tak mesti dua minggu sekali.

Biasanya, kupilih bakmi godhog dengan kepala ayam kampung warna putih kehitaman pucat. Menu itu dihidangkan bak lahar merapi. Setelah matang, Lek Thikil menuangnya langsung ke piring dari wajan di atas tungku arang. Buu.u..lll… bau paduan kaldu, bawang, mrica, aroma mie langsung memelekkan mata.

Bacaan Lainnya

Rahang mulai menegang. Air liur tak terbendung begitu tangan meraih botol kecap Bangau kemudian mengambil satu dari deret cabe hijau muda di mangkuk yang antri digigit.

Berbeda denganku, anakku suka bakmi goreng warna coklat muda. Ia seperti ibunya, suka makan yang kering-kering tanpa kuah, seperti pada bapaknya kadang kering tanpa gairah. Huss. Belum lagi menu minuman, mereka suka es teh, sedangkan aku pesan jahe gula jawa panas. Jadi untuk urusan pesan makanan dan minuman, kami selalu berbeda.

Yang jelas, bakmie godhog atau goreng adalah makanan lokal kesukaan kami. Hehehe, ya ndak lokal juga sih. Lha wong dari namanya saja sudah terasa kok, deretan kata “bakmie”, “bakpao”, “bakso”, “bakpia”, ini jelas ada unsur China-nya. Tapi bahasannya ndak ke situ, saya pengen berbagi tentang beda pilihan menu makanan dan minuman saja.

Jika dihubungkan dengan pilkada, bagiku kontestasi itu layaknya pesta. Berbeda pilihan itu biasa saja, asal tak menyertakan kebencian campur di dalamnya. Ha mbok gek dinikmati saja sambil merem-melek plus gemrobyos kaya mbakmi. Sekali lagi tanpa kebencian biar ndak slilitan.

***

Facebook Comments Box

Pos terkait