“Pak, kula ta mbedhal pranatan, lha pantun jagung kacang tua barengke Pak. Nek biasane kula sambatke, niki mung kula gliyaki.”
Itu penggalan WA-nya kepada saya, saat kutulis status di media sosial tentang himbauan pemerintah untuk tetap diam di rumah.
Saya mengenalnya sejak lama, bertemu di organisasi politik Partai Golkar sebagai sesama kader. Kiprahnya di organisasi sosial kemasyarakatan lain sudah tak terhitung, terutama yang berkecimpung di bidang pertanian, dan saat ini membantu saya menggerakkan KTNA Gunungkidul.
Saat Corona mewabah, dan himbauan untuk diam di rumah, perempuan paruh baya ini memberikan motivasi dan inspirasi kepada kita, bahwa kita tetap harus beraktivitas seperti biasa, asal juga mematuhi anjuran pemerintah. Apalagi sebagai petani saat ini baru musim panen dan tanam marengan, kita tidak boleh berhenti beraktivitas.
Sebagai sahabat, saya perkenalkan sosok Suparjiyem yang saya kenal, walaupun tidak komplit, karena tentunya tak mampu saya menuliskan kiprahnya.
Perempuan tangguh ini namanya Suparjiyem. Ia adalah perempuan petani asal Desa Wareng Wonosari Kabupaten Gunungkidul, dan seorang aktivis pangan yang mengampanyekan produksi dan konsumsi pangan lokal non-beras, seperti tiwul dan gaplek.
Ia juga membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT) Menur yang merupakan wadah bagi para perempuan petani untuk mengembangkan diri mereka, serta mempelajari seluk-beluk budidaya umbi-umbian, seperti singkong, gembili, uwi, suweg dan garut.
Selain itu, para anggotanya juga diajari untuk mengolahnya menjadi berbagai macam penganan yang kemudian dijual di warung. Di antaranya seperti kripik singkong, ceriping tales, tepung gembili, tepung uwi, penyek kacang hijau, krecek dari singkong dan tapolo.
Suparjiyem adalah satu dari tujuh perempuan yang mendapat penghargaan Female Food Heroes Indonesia oleh Oxfam pada 2013. Dia dinilai berdedikasi menghadirkan pangan dan menghindari bencana kelaparan masyarakat di sekitarnya.
Ibu dua anak itu berperan menggerakkan komunitas untuk memanfaatkan tanaman alternatif selain padi di Gunungkidul. Tanaman uwi, gembili, garut, gadung, singkong, ganyong, dan jahe tumbuh subur di pekarangan penduduk. Suparjiyem melihat ada potensi untuk memanfaatkannya.
Gunungkidul juga punya stok pangan berupa tiwul—makanan dari singkong—yang melimpah. Tiwul menjadi makanan pengganti beras. Suparjiyem berinisiatif mengolah aneka pangan lokal itu menjadi tepung dan makanan bernilai ekonomis. Sejak 1981, dia gencar berkampanye menanam pangan alternatif.
Di Gunungkidul ada 47 perempuan yang berhimpun dalam Forum Petani Perempuan Gunungkidul. Mereka menggerakkan petani untuk menanam pangan alternatif. Saat ini sudah ada 900 petani yang terlibat. Dia selalu memberi contoh dengan membawa produk berbahan pangan lokal.
Tiap anggota bertugas menanam, mengolah, dan memasarkan sehingga hasilnya punya nilai tambah secara ekonomi. Misalnya garut per kilogram Rp 2.000, setelah diolah menjadi aneka makanan harganya Rp 10 ribu. Dari usaha itu penduduk mendapat penghasilan tambahan sekitar Rp 15–20 ribu per hari.
Tiap musim panen, di Kecamatan Semin dihasilkan 10 kuintal garut. Tepung garut dipasarkan di toko roti, dan anggota kelompok mengolahnya menjadi camilan.
Suparjiyem kini banyak diundang untuk memberi pelatihan mengenai pengolahan pangan lokal, bahkan hingga ke Thailand. Direktur Keadilan Ekonomi Oxfam, Dini Widiastuti, mengatakan, Suparjiyem punya peran penting dalam mempromosikan ketahanan pangan di Gunungkidul agar tak terjadi kelaparan. “Dia menggerakkan perempuan dan petani untuk memanfaatkan pangan lokal dan memberi nilai tambah secara ekonomi,” terang Dini.
Beberapa penghargaan yang berhasil diraih Suparjiyem adalah:Perintis Penyelamat Lingkungan dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul (2015), Female Food Heroes Indonesia dari Oxfam (2013), dan Nominasi Kick Andy Heroes (2019).
Demikian terimakasih.
Salam tani, dari Nglebak Katongan.