Terisolir Tidak Berarti Menyerah: Perjalanan ke Pegunungan Tengah Papua

Anak-anak Kampung Abouyaga Distrik Mapia Kabupaten Dogiyai Papua, di depan rumah mereka. Foto: Tugi/SG.

Tutupan lahan hutan di kawasan pegunungan ini sebenarnya sudah menipis dengan selesainya HPH di masa-masa lalu. Menurut informasi, wilayah pegunungan ini memiliki potensi cadangan mineral tambang yang sangat aduhai. Menurut beberapa orang yang pernah ditemui di Nabire, potensi tambang di pegunungan ini tak kalah dari tambang yang dikelola oleh PT Freeport di Timika. Benar atau salah belum diperoleh data yang valid. Tetapi fakta yang cukup menarik, di Kabupaten Nabire terdapat penambangan emas yang dilakukan oleh masyarakat secara swadaya. Pengelola dan pekerja tambang swadaya kebanyakan pendatang dari daerah Sulawesi Selatan dan dari daerah Sangir dan Talaud Sulawesi Utara.

Kampung Abouyaga sendiri merupakan pusat dari Distrik Mapia. Di sana sudah ada Kantor Distrik (kecamatan), meskipun sehari-hari kantor itu masih banyak kosong tidak ada pejabat dan stafnya. Juga sudah ada SD Negeri Inpres, meski saat ke sana sekolah libur karena para guru sedang ke kota Nabire untuk mengurus sesuatu. Jumlah murid dari kelas satu sampai dengan kelas 6 ada sekitar 35 anak.

Bacaan Lainnya

Ada juga Puskesmas Pembantu dengan seorang ibu bidan sebagai petugas kesehatan. Lapangan desa adalah pusat kegiatan masyarakat, juga merupakan assembly court (titik kumpul) dari warga kampung untuk aneka rupa kegiatan masyarakat. Di dekat lapangan terdapat sebuah gereja Katolik. Gereja bagi masyarakat Papua memiliki peran yang cukup signifikan. Program-program pemerintah kebanyakan tersosialisasikan lewat perkumpulan komunitas gereja tersebut.

Kehidupan masyarakat masih erat dan bergantung dengan alam sekitarnya. Pola kehidupan masyarakat terlihat masih dekat dengan pola hidup masyarakat berburu dan meramu (food gathering) dari hasil hutan. Ada sedikit demi sedikit pergeseran dengan pola berkebun dan beternak dalam taraf sangat sederhana, tetapi hal ini belum menjadi kebiasaaan sehari-hari masyarakat.

Dari pengamatan selama di lapangan, kondisi keterisolasian wilayah tampak tidak sedikitpun membuat mereka menjadi susah dan menyerah menjalani kehidupan. Gelak tawa masyakarat tetaplah menyertai mereka, meskipun kehidupan dari hari ke hari dijalani apa adanya.

Bangun tidur, mencari talas ke kebun, ke sungai di lembah, kembali berkumpul di rumah, dan seterusnya. Setiap hari seperti itulah yang dijalani. Sesekali berkumpul saat ada acara di lapangan, di gereja, di kantor Distrik, juga di halaman sekolah.

Bekerja dibantu dan ditunggui masyarakat sampai selesai. Foto: Tugi/SG.

Trip ke lokasi tersebut untuk melaksanakan penugasan dari pemerintah pusat dalam rangka penyiapan bandar udara perintis pada wilayah kecamatan pegunungan dengan ketinggian sekitar 2500 m DPL itu. Banyak hal kuperoleh, tetapi sulit untuk kuceritakan dalam kata-kata.

Facebook Comments Box

Pos terkait