Tiji Tibeh

Mengolah tanah lahan kering tadah hujan di wilayah Gunungkidul. Foto: Tugi.

Tiji tibeh adalah ungkapan dalam Bahasa Jawa, lebih tepatnya adalah akronim dari mati siji mati kabeh mukti siji mukti kabeh. Di kampung halaman saya, wilayah Karangmojo Gunungkidul, ungkapan ini sudah pernah saya dengar sejak saya masih bocah berusia SD. Warga masyarakat nampaknya sangat familiar dengan semboyan tersebut.

Simbah dan bapak saya mewarisi profesi sebagai petani dari para leluhur. Ya, kaum tani penggarap lahan kering tadah hujan. Methal atau mencangkul tanah kering menjadi pekerjaan sehari-hari menjelang musim tanam. Mencangkul tanah keras saat sebelum hujan datang. Tanah permukaan kadang dicangkul dengan gancu saking kerasnya, kemudian dipecah-pecah dengan gandhen agar menjadi gembur saat hujan datang. Methal lahan yang luas kadang terbantu dengan mluku atau membajak lahan kering dengan penggerak utamanya 2  ekor sapi.

Untuk meraih hasil atau kenikmatan produk pertanian, entah itu beras, kacang, kedelai, cantel, dan lain-lainnya, maka para keluarga petani jaman dahulu terbiasa menggerakkan seluruh anggota keluarga untuk terlibat. Mulai dari mengolah tanah, menyiapkan pupuk, menyebar bibit, menyiangi dan merawat tanaman, memanem, sampai mengolahnya selepas panenan.

Swargi bapak saya pun dulu sering mengeluarkan ungkapan tiji tibeh itu saat melecut anak-anak dan ponakannya dalam belajar dan bekerja. Belajar dan bekerja penuh semangat. Mencintai dan menjiwai apa yang dipelajari dan tugas yang diberikan. Tidak pelit mencurahkan daya dan upaya, saling bantu-membantu, serta berfokus agar tujuan yang diharapkan dapat diraih dan dinikmati bersama-sama. Semboyan tiji tibeh itu yang saya pergunakan saat awal pergi mengadu nasib ke Jakarta bermodal satu tas baju dan selembar ijazah sekolah.

Yang saya kenang sampai saat ini, anak-anak generasi dahulu diajari praktek langsung oleh para orang tua untuk berpola tiji tibeh. Menjadi pemandangan biasa anak-anak diminta untuk nuntun sapi ke ladang, mikul planthangan sapi, ikut membantu macul, mluku, nggaru, dan juga ulur kacang atau kedelai. Satu hidup prihatin semua juga ikut prihatin, satu meraih kegembiraan bakal dirasakan oleh yang lain pula.

Apakah kondisi seperti itu masih dijumpai di jaman sekarang. Saya tidak tahu. Sepertinya, anak-anak masa kini terbiasa rebahan di rumah main gajet. Lebih sering pula terlihat generasi yang biasanya nongkrong di pojok tikungan sembari tril-trilan numpak montor balap, sementara orang tua atau simbah-simbahnya bekerja berpeluh keringat di ladang.

Ungkapan tiji tibeh konon digunakan sebagai semboyan oleh Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said. Pangeran yang kemudian bergelar Sri Mangkunegara I (1757-1792). Semboyan tiji tibeh ini beliau gunakan untuk menyemangati, menyatukan, dan menggerakkan pasukannya dalam melawan Kumpeni yang memecah belah wangsa Mataram.

Apakah populernya ungkapan tiji tibeh di kawasan Karangmojo karena wilayahnya yang masih berdekatan dengan daerah Ngawen yang dahulu nota bene adalah tanah kekuasaan Raden Mas Said? Saya tidak tahu. Yang saya tahu pasti, ungkapan tiji tibeh yang menjiwai masyarakat dalam bertani memang sudah dikenal di sini sejak dahulu.

Menurut cerita tutur yang berkembang, dengan semboyan tiji tibeh ini militansi pasukan Pangeran Samber Nyawa menjadi terjaga. Mereka kuat menanggung derita bersama-sama. Mereka juga sangat bersemangat mengejar cita-cita atau kemakmuran, kehormatan, dan kehidupan nyaman tenteram di hari tua mereka.

Semboyan tiji tibeh sesungguhnya memang relevan dengan situasi dan kondisi masyarakat agraris Gunungkidul di tanah kering bebatuan karst yang membutuhkan energi ekstra untuk melangsungkan hidup ataupun bertahan hidup. Karena itu, menjadi pejuang, bergotong-royong saling menopang menjadi landasan pokok jiwa manusia Gunungkidul. Semua menanggung segala sesuatunya secara bersama, dan menikmati segala sesuatunya secara bersama-sama pula sesuai dengan fungsi, peran, dan porsi masing-masing.

Tiji tibeh menurut saya merupakan semboyan yang bermakna positif. Membangun semangat juang pantang menyerah untuk mencapai hasil dan meraih tujuan juga kebaikan yang ditetapkan bersama.

Tentunya, menjadi tidak pas apabila tiji tibeh diaplikasikan untuk hal-hal yang kontra-produktif. Semisal, menjadi semboyan untuk melakukan tindakan jahat secara kolektif. Termasuk pula sebagai semboyan pembenar untuk melakukan tindakan mencelakakan diri sendiri atau orang lain seperti kebut-kebutan pakai knalpot blombongan di jalan umum.

Facebook Comments Box

Pos terkait