Tips Praktis Mengatasi Kecemasan Sosial dan Kesurupan Massal

Edukasi membangun ketahahan jiwa bagi pelajar dan para guru pendamping. Dok: Imaji.

Kecemasan sosial sedang melanda saat bersama-sama menghadapi wabah COVID-19. Hal ini mengingatkan saya pada fenomena kesurupan massal. Kenapa saya bandingkan dengan kesurupan massal, karena situasinya mirip.

Boleh saja sebagian orang berpendapat kesurupan disebabkan faktor magis mistis. Toh faktanya dari beberapa penelitian disebutkan sebagian besar orang yang kesurupan adalah remaja, perempuan dan memiliki kepribadian dasar dependen dan pencemas.

Bacaan Lainnya

Terjadinya kesurupan massal mengindikasikan adanya stres berjamaah dalam suatu komunitas. Lalu, kenapa bisa menjadi massal? Ini terjadi karena ketika seseorang mengalami kesurupan, mereka yang di dekatnya (yang kebetulan tidak memiliki ketahan mental yang baik) bisa terinduksi dan tersugesti sehingga ikut kesurupan.

Karena itu, agar tidak terjadi kesurupan massal orang pertama yang menjadi “biang” kesurupan diisolasi dulu supaya tidak menular ke yang lain. Sementara yang lain harus diberikan sugesti positif bukan malah ditakut-takuti. Intinya sugesti negatif lawan dengan sugesti positif.

Situasi yang terjadi sekarang ini bisa menjadi sugesti negatif . Lalu-lintas informasi tentang COVID 19 membuat isi pikiran kita terpusat pada bahaya bahaya dan bahaya. Seolah lupa kita punya sistem kekebalan tubuh untuk mengatasi. Kecemasan ini saling menular dan terus menguat sampai sampai kita kehilangan akal memilah dan memilih informasi yang benar. Bahkan tanpa kita sadari, kita menjadi bagian dari penyebar kecemasan massal.

Padahal kecemasan bisa menurunkan kekebalan tubuh dan berdampak pada kesehatan.

Ketika kita cemas, timbul ketegangan syaraf motorik yang bermanifestasi pada nyeri otot atau linu linu, sakit kepala, tidak bisa relaks dam gemetar.

Selain itu, kecemasan bisa meningkatkan kerja sistem saraf otonom, sehingga muncul gejala pusing, muka panas, dada berdebar, mual, BAB dan BAK, tidak lancar dan sebagainya.

Gejala lain berupa gangguan tidur, konsentrasi berkurang (mudah lupa, tidak fokus) sensitif (mudah sedih dan mudah marah dan tersinggung). Tentu ini akan mengganggu fungsi peran dan sosial kita.

Salah satu cara mengatasi kecemasan adalah menjaga jarak dari informasi. Maksudnya, berhenti sejenak membaca berita berita yang memicu kecemasan kita. Pilih informasi yang penting dari sumber yang benar kalau memang benar benar siap.

Sebaiknya jangan mem-forward komentar-komentar atau gambar di WA grup yang membuat orang makin cemas kecuali kondisi darurat. Kalaupun kita tidak siap jangan dibaca. Apalagi membuat status-status yang tidak penting.

Menjaga jarak dari informasi itu penting supaya otak kita bisa “istirahat” tidak hanya berfokus pada bahaya bahaya dan bahaya, sehingga membuat kita lupa pada hal-hal indah di sekeliling kita. Ibaratnya kita hanya berfokus pada titik hitam dan mengabaikan terang yang luas.

Yuk, imbangi dengan melihat, membaca dan berdiskusi pada topik di luar corona. Lakukan sesuatu yang membuat kita senang, bermanfaat dan memicu kreativitas.

Ingat semakin cemas semakin menurunkan daya tahan tubuh kita. Lawan cemas dengan harapan baik. Toh semua orang sudah bergerak ke arah yang lebih baik.

Yakinlah badai pasti berlalu. Tetaplah tenang dan lakukan pesan kesehatan dari pemerintah. Setidaknya, kalau tidak bisa menjadi bagian dari solusi, jangan menjadi bagian dari masalah.

***

Penulis: Ida Rochmawati, psikiater di RS PKU Muhammadiyah Wonosari dan RSUD Wonosari Gunungkidul Yogyakarta. Aktivis LSM IMAJI (LSM yang bergerak dalam pencegahan bunuh diri di Gunungkidul Yogyakarta)

Facebook Comments Box

Pos terkait