Usapan Buat Mbah Harso

Lansia atau adiyuswa adalah usia yang bernilai tinggi. Foto: Wahyu Widayat.

SEPUTARGK.ID – Kira-kira tujuh tahun yang lalu, seorang lelaki sepuh begitu bergirang ketika aku datang. Mukanya terlihat sumringah. Mata sayunya bersinar menandakan hati melonjak bergirang. Ia sudah, maaf, budheg. Maklum usia tak kurang dari delapan dasa warsa. Rambutnya putih rata dan giginya tinggal separo saja.

Mbah Harso namanya. Ia tinggal di Tunggak Nangka, salah satu dusun kecil di Negeri Kahyangan. Tujuh tahunan yang lalu ia pergi ke alam baka, berpulang kepada Sang Khalik. Kini aku kembali mengingatnya.

Bacaan Lainnya

Di masa renta, ia memakai tongkat bambu kecil sepanjang dua meteran untuk menyangga raga tuanya saat berjalan. Setiap kali kami datang ia menyambut dengan terhuyung-huyung, lalu duduk di kursi ruang tamu. Aku melihat ia melangkah bak siput, namun tetap sampai ke tujuan yang diharapkan. Kira-kira sepuluh meteran masih ada dalam jangkauannya.

Kami sowan, setidaknya setiap tiga bulan, untuk melayaninya dalam sebuah perjamuan. Tanpa ba-bi-bu, ia segera membuka mulut keriput lalu menceritakan kisah petualangan pada masa mudanya. Ia menceritakan saat puluhan tahun silam menjual batu untuk lantai seperti keramik. Lelaki ini mengandalkan otot dan pinggang plus nafas panjang memikul batu-batu kepada para pemesan. Kuduga tak kurang ribuan kilometer plus jutaan langkah kaki sudah ditempuhnya.

Kadang kami susah mengerem laju kisahnya. Tak gampang untuk mengambil jeda, karena ia begitu bersemangat mengungkap masa lalunya. “Sampun nggih, Mbah!” setengah berteriak kami berusaha menyela dengan ramah untuk segera melayaninya.

Pak, niki njenengan usap-usap nggih!” pintanya. Terlihat tangan keriputnya memegang rambut putih penghias mahkotanya itu. Setiap kami mengucap kata pamit, ia mengucapkan kata-kata permintaan itu. Entah apa maknanya.

Dengan tangan gemetar dan hati berdebar, kuberanikan diri mengusap-usap sesuai permintaannya itu sebelum kami meninggalkannya. Entah bagaimana ia memaknainya. Yang jelas sangat kurasakan ia begitu mengharapkan usapan itu.

*

“Dulu orangtua yang merawat, sekarang anak-anaklah yang gantian merawat”. Begitulah alur kebijakan alam. Anak-anak dibesarkan dalam asuhan bapak-ibu, dan suatu saat akan terjadi kebalikan. Peran mengasuh akan dimainkan anak-anak. Semua ada waktunya.

Kata-kata bijak ini mengingatkanku pada momen istimewa Hari Lansia Nasional yang pernah kuikuti, lima tahunan silam. Waktu itu kurayakan kebersamaan dengan ribuan lansia pada acara Hari Lansia Nasional di Kulonprogo.

Berkumpullah para eyang yang dulu mengasuh, mengasih, dan mengasah para balita dan calon generasi selanjutnya dari berbagai daerah di Pulau Jawa. Rata-rata usia mereka memasuki warsa 65. Tentu para lansia itu sudah terbatas segalanya, dari fisik maupun olah rasanya. Mereka terlihat lambat bergerak dan gampang kesenggol dalam merasa.

Sebagai pelayan umat, kami mengistilahkan kategori lanjut usia itu dengan istilah “adiyuswa”, artinya “usia yang bagus atau bernilai tinggi”. Ya, kami berupaya menghargai dan menjunjung tinggi para eyang yang jasanya “adi.”

Tepat pada 29 Mei 2021 kubersamai para sepuh dengan meninggikan sejuta jasa yang dikenang sambil menengadah syukur atas kesempatan menua. Tentu saja sambil berdoa semoga mereka saling memberi semangat untuk menjalani hari senja. Berdoa sebisanya supaya mereka tak putus harapan sambil memohonkan berkah pada Sang Khalik agar para taruna generasi penerus mengerti kebutuhan istimewanya.

Membicarakan para adiyuswa, saya menjadi teringat akan data dan fakta kasus bunuh diri di Negeri Kahyangan. Bukankah di antara mereka yang mengakhiri hidup itu adalah para adiyuswa yang seharusnya banyak didengarkan dan direngkuh?

Tiga hari yang lalu saya datang ke rumah kolega di Balong Negeri Kahyangan. Jam 08.30 WIB saya sampai di sana. Persis sejam sebelumnya ada lelaki sepuh yang tinggal sendiri mengakhiri hidup. Rumahnya beberapa meter dari tempat yang kukunjungi.

Oh, Tuhan… Kudengar jenasahnya segera dikubur, lalu rumahnya dibongkar. Kubayangkan betapa energi dari banyak orang untuk membongkar rumah itu sebelumnya bisa dialihkan untuk sekadar menyapa dan “mengusap” para lansia. Penyesalan sungguh datang belakangan.

“Mampir POM dulu Pak, kebelet pipis, nanti takut ngompol,” kata-kata ini segera menyentak ingatanku kembali ke momen Hari Lansia Nasional setiap 29 Mei. Ungkapan para simbah dalam perjalanan dari Negeri Kahyangan ke tempat acara waktu itu menunjukkan bahwa para eyang tidak malu mengakui keterbatasan yang dijalaninya.

Selamat Hari Lansia Nasional, Terima kasih Mbah Kakung dan Mbah Putri!

***

 

Facebook Comments Box

Pos terkait