Gunung Sewu: “Taman Firdaus” Kehidupan Prasejarah

Rupabumi kawasan Gunung Sewu. Dok: geologi.co.id.

Alat-alat ini dipakai untuk kebutuhan hidup jaman itu. Tentunya tidak alat transportasi, semua alat merupakan alat berburu mencari makan. Pada saat itu kebutuhan makanan masih dipenuhi dengan cara berburu. belum ada kebudayaan cocok-tanam. Cocok tanam berkembang ketika binatang buruan semakin sulit dicari. Dan itu terjadi jauuuh setelah masa Paleolithicum.

Gunung Sewu dikenal sebagai tempat yang secara geologi dan geografi terpisah dari bagian Pulau Jawa lainnya. Daerah ini terjal dan memanjang antara Parangtritis dan Pacitan. Di tengah-tengah iklim yang cukup kering sepanjang tahun, relief bukit-bukit kapur yang bentuknya tidak seragam dan menghadap ke Lautan Hindia menyediakan banyak gua, aliran sungai serta rijang. Rijang berkualitas baik ini dipakai manusia prasejarah untuk membuat berbagai perkakas yang diperlukan.

Bacaan Lainnya

Gunung Sewu adalah tempat ideal bagi hunian masa lalu, bukit-bukitnya sangat sering didatangi oleh manusia prasejarah dari periode manapun. Alat-alat bifasial, kapak, dan aneka ragam alat padat merupakan karya dan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh Homo Erectus, sebagai pembawa ketrampilan teknis dan kebudayaan Acheulean (Acheulean = sekuen kebudayaan Paleolitik Bawah yang dicirikan oleh perkakas kapak genggam dan kapak pembelah).

Benda-benda padat Acheulean yang juga ditemukan orang di Eropa, Afrika, negara-negara Iran-Irak, India, Nepal dan Cina lalu Indonesia menunjukkan bukti kedatangan Homo Erectus setelah perjalanan jauh yang dimulai sedikit kurang dari dua juta tahun yang lalu dari daratan Afrika (“out of Africa” theory). Dan, justru di alur Sungai Baksoko, yang terletak tidak jauh dari kota Pacitan inilah perkakas Acheulean ini ditemukan. Situs ini kemudian menjadi sangat terkenal di dunia arkeologi dan memberikan nama pada salah satu kebudayaan Paleolitik Bawah yang termasyur : kebudayaan Pacitanian.

Dan itu ada di Pacitan, Jawa, tak jauh dari kita. Semoga kita mengenal dan menghargai situs-situs penting buat dunia ini. Buku-buku arkeologi yang belakangan banyak diterbitkan sangat membantu pengenalan akan hal itu.

***

Sumber: Rovicky Dwi Putrohari, senior geologist. (geologi.co.id)

 

Facebook Comments Box

Pos terkait