
Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) mengajak para (maha)siswa atau para pencari hakekat untuk menelusuri kedalamam dan ketinggian alam ‘tak bertepi’. Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) menggambarkan pergerakan fase kegelapan-ilmu (nir-aksara) menuju keterangan ilmu (aksara). Filsafat ilmu pengetahuan (alam) Jawa menyinggung hakekat aksara hanacaraka-magabathanga sebagai fenomena ketubuhan yang merupakan pemujudan (manifest) fenomena ruhaniah. Pacitan, Wanagiri, Gunungkidul, ketiganya mendukung suatu wilayah Pegunungan Seribu yang memiliki sewu–guwa. Sewu-guwa merupakan telangkai ilmu pengetahuan manusia terhadap tubuhnya. Relung guwa adalah salah satu pintu masuk menuju growonganing guwa atau lurung ilmu pengetahuan terdalam. Lebih masuk ke dalam, peteng ndhedhet lelimengan kondisinya. Tanpa cahaya. Tanpa banyak hal dapat dengan mudah diindera. Namun, guwa yang peteng (penuh kegelapan) dapat mengantarkan para tokoh suci, tokoh peradaban, tokoh ras/kulawangsa, tokoh IPTEK, menuju tataran padhang (pencerahan).
Para manusia suci, manusia-unggul, rasul, nabi dan sebutan sejenis lainnya, mereka melakoni ‘persatuanan-kosmik’ terlebih dulu dengan unsur-unsur geo-morfologi alam seperti gunung (misal David, Sailendra), kali (misal Musa, Siung Wanara), utan (misal Pandawa, Demang Damar, Ki Onggoloco), dan guwa (Subali, Muhammad), memahaminya bagaimana alam bekerja, menelusurinya, menikmatinya, mengalurinya: among raganya, untuk mencapai maqam pencerahan. Para manusia suci memeroleh pencerahan, bersit cahaya, di titik puncak pengembaraan mereka di pusat, di inti kebodohan, ketidaktahu-menahuan, kegaiban, kemisterian unsur alam (wadi) tak berhingga.
Kisah tentang manusia goa-nya Plato, kisah ashabul kahfi, kisah Goa Kiskendha (Subali-Sugriwa Maesasura-Jatasura), kisah Goa Gebang Tinatar, kisah Goa Pindhul, Goa Maria, adalah beberapa kisah yang jika diparadigmakan sangat paradoks jatidirinya. Guwa adalah tempat pencarian jati-diri sekaligus tempat berpolitik, tempat merealisasikan ‘kuasa’ terhadap salah satu geomorfologi alam, bahkan terhadap ‘saudara’ atau ‘kembaran’nya sendiri. Guwa merupakan tempat perebutan kekuasaan sekaligus perebutan ‘wanita-suci’: wanita dalam makna alam, lantas terjadi penguasaan (untuk tak mengatakan ‘pemerkosaan’) terhadapnya. Dan pada saat yang hampir bersamaan guwa-guwa (karst) di Gunungkidul diziarahi, dimasuki, dirasakan anyeb njejeb airnya, ditantang sifat kemisteriusan dan kehantuannya, dihentak-hentak menggunakan lingga (baca: nafsu) manusia.
Maka kemudian manusia, oleh para manusia-winasis (Ranggawarsita misalnya), digambarkan sebagai bentuk pribadi (persona) yang tan kendhat ngudi ronging budi ayu; manusia selalu berusaha mencari asal-muasal budinya, yang bening, yang murni, yang suci, di sebalik fenomena keragawiannya, di sebalik bentuk-bentuk keperawanan alam yang penuh wadi (misteri). Rong, growong, gowok, adalah lubang (femininum) yang elok rupa, yang cantik, yang indah, yang ingin selalu dijelajahi kedalamannya. Manusia ibarat seorang lelaki yang menginginkan menyatu dengan growong-nya. Ketika seorang manusia manekung di guwa, ia ibarat melakoni campuhing (bersatunya) wadi dan mani(k). Mungkin yang dilakoninya ini sebuah kondisi majnun atau bra(h)i dari sudut pandang tasawuf. Berzikir kanan-kiri atas-bawah terus menerus. Di dalam kegelapan (baca: gelap mata karena lapar) dan pejam-mata sebenarnya mungguh (berada, tinggal) paningal kang wening; penglihatan yang jernih.