Guwa-Wisata

Pohon Apak di Mulut Guwa Gebangtinatar, Panggang. Swara/WG
Pohon Apak di Mulut Guwa Gebangtinatar, Panggang. Swara/WG

Di masa kini banyak guwa di Gunungkidul masuk dalam daftar yang dicari oleh kalangan luas sebagai tempat tujuan plancongan (jalan-jalan), atau pariwisata, atau dharmawisata, sementara di kalangan lebih kecil di jaman kini dan di jaman yang lebih purwa banyak guwa di Gunungkidul yang dicari sebagai tempat berdarma: bertindak mencari sangkan paran. Jika disapu dengan pandangan mata sekilas, guwa terkadang tampak bukan guwa, hanya rerimbunan pohon seperti organ lain. Guwa sepintas hanya berupa alas tegalan, karena mulut guwa berada di bawah, tertutupi rimbun pepohonan. Atau berada di bawah gunung. Setelah mendekat kepadanya baru tampak bahwa itu sebuah guwa, bahwa di tengah mulutnya terdapat pohon besar menjulang tinggi; satu buah, dua buah. Pohon di depan mulut gua laksana raksasa yang begitu indah. Pemandangan ini membuat para pelancong takjub: beginilah kuasa Pangheran: menciptakan kehayuan guwa. Setelah kita menuruni sebuah guwa (ada yang harus menggunakan tangga atau tali, bahkan harus mengecilkan badan karena pintu masuk guwa yang sangat sempit [seperti di Guwa Rancang Kencana]) akan tertemui ruangan bawah batu karst yang longgar, yang besar, eyub, bersih meski tak disapu saban hari. Duduk sejenak di dalam guwa karst menjadikan tubuh penuh kesegaran. Udara guwa yang bersih sumusup (menelusup) hingga ke pulung-ati (jantung), mampu mberat (mengusir) segala kesedihan. Menyapukan pandangan ke atas guwa tampak rerenggan (bentukan) batu yang tertata oleh kodrat alam: ada yang berbentuk candi, ada yang berbentuk arca gajah, ada yang berupa arca kendhi atau gendhong, dan aneka rupa bentuk benda sakral lain yang dilekati ‘mitos’ tertentu oleh masyarakat lokal kepadanya. Batu-batu kapur di langit-langit guwa yang terteteskan terus berebut tinggi rendah satu dengan lainnya, menambah keasrian guwa. Air lah yang tan kendhat membawa dan menjadikan Si Batu Gamping menjadi arca-arca. Arca-arca halus mlunthus tubuhnya, dibalut rembes air.

Pada waktu mitis tertentu arca-arca di guwa yang adalah stalaktit dan stalagmit ditabuhi: dihadirkan lah suara adam (purwa) alam raya: gentha kekeleng. Berkolaborasi dengan suara tetes air yang tiada pernah putus.

Bacaan Lainnya

Wisata-guwa di guwa-guwa Gunungkidul (Gunung Sewu) di masa kini, dalam korelasi paradoksi, secara terus-menerus menemani, mengoposisi, dan melengkapi gerak kembali para tokoh suci Gunungkidul yang di waktu-waktu ‘adam’ (baca: purwa, awal) telah lebih dulu melakonkan-hidupnya menelusuri kedalaman guwa-garba Gunungkidul. Dua-duanya wisata, dua-duanya pariwisata, darmawisata. Dua-duanya laku berpuasa: mulih myang mulanya; seperti apa yang beberapa waktu lalu dicoba dilakukan oleh dulur-dulur Muslim di bulan ‘ramadhan’ (baca: bulan pembakaran) yang berhubungan dengan laku-tubuh (among-raga) dan laku-rohani (among-suksma), bergerak menuju sangkan dan parannya.

Keduanya menggandrungi, bahkan dengan penuh antusias dan impulsif, apa yang dirahsakan sebagai kebahagiaan dan kedamaian: puncak penikmatan organik (pantang makan-minum di waktu tersibaknya matahari atau sebaliknya berpesta makan-minum di waktu tertutupinya matahari), intelektualitas, dan rasa-pangrasa tubuh-jiwa manusia sekaligus tubuh-jiwa alam (saresmi, nedhak-nyungging; jouissance), yang mau tak mau terkadang membentur tembok kegaiban-kemisteriusan tanpa tepi (lacking, wadi) hingga aksi semacam ini ingin dilakukan berulang-kali. Keduanya, di pekat dan gelapnya goa-goa, secara ‘positif’ mencoba nggebangi (menyingkiri, menghindari) keakuannya, kecemasannya, kesendiriannya, ketidakkuasaannya, ketakutannya akan ‘kegelapan’, kekotorannya, kemunafikannya, kesombongannya serta keserbaterbatasaannya sendiri, untuk menggapai tataran yang oleh kulawangsa manusia dikategorikan sebagai keindahan (kalangenan) yang lebih tinggi (tinatar), yaitu sebentuk pulung atau wahyu pencerahan dengan takarannya sowang-sowang bagi setiap pelaku-pribadi.

Kebahagiaan dan kedamaian itu amukswa, tanpa henti, mengucur dari gu(h)wa yang tan kena kinaya ngapa kedalamannya. Yang alur dan alir airnya berujung pada dan bermula dari waudadi-jalanidhi; jalanidhi (samudera) Gunungkidul sisi Selatan.

Ya, kebahagiaan dan kedamaian (itu), barangkali, dapat teraih di dalam gelap guwa. Di pusat growong-nya. Di ujung wadi-nya.

Asmaradana winarni, karajan Gebangtinatar, saya wimbuh kuncarane,
drajad jumeneng karatyan, raharja gemah ripah, jejeg tibeng khukum jujur,  
lajer kluhuraning jagad.
[Asmaradana, Kancil Kridhamartana, Tanaya]

[Swara/WG]

Facebook Comments Box

Pos terkait