Kembali ke kisah yang dimuat di Kumparan, sebulan setelah percobaan bunuh diri, Endri kembali ke Indonesia. Tetapi, kondisinya tak membaik. Ia berhari-hari tidak makan dan tidur. Sehari-hari, kata Endri, dia hanya berbaring di kamar. Kedua orang tua Endri kemudian memaksanya pergi ke psikiater.
“Awalnya saya ditarik-tarik ke psikiater saya masih bisa memegang ke kasur (menolak), tapi setelah beberapa hari enggak makan dan minum akhirnya saya dipaksa orangtua saya sudah enggak bisa menolak,” tuturnya.
Barulah kemudian, Endri menjalani terapi. Periode ini menjadi titik balik kehidupannya. Ia mulai membuka diri dari saran seorang teman yang pernah mengalami depresi. Endri merasa memiliki teman untuk berbagi, tanpa ada lagi yang perlu ditutup-tutupi.
Endri berinisiatif menuliskan kisahnya di blog dan Facebook, “Tanpa saya sharing, tanpa saya membuka diri mungkin sampai sekarang enggak ada yang pernah menjadi lingkaran support system saya,” lanjut dia.
Selain berbagi dengan menulis, Endri juga mendapatkan kekuatan dari hobi barunya yakni berlari. Dengan berlari, Endri menemukan semangat hidupnya kembali. “Ketika saya lari, 3 sampai 4 kali sehari dalam seminggu, setidaknya ada dua jam sehari yang saya habiskan bukan untuk memikirkan apakah saya mau mati atau enggak,” katanya.
Semasa duduk di bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi, laki-laki yang gemar memasak itu mengaku tak memiliki ketertarikan pada olah raga. Namun, kini ia merasa berlari membantunya keluar dari depresi. “Salah satu perangkap dari depresi adalah untuk menghindari pertemanan, menghindari keluar rumah dan menghindari beraktivitas,” katanya.
Perjuangan Endri melawan depresinya ternyata tak mudah, bahkan setelah setahun mendapat perawatan dan terapi. Prosesnya, kata Endri, tidak singkat meski ia sudah merasa pulih. Saat mendapat tawaran pekerjaan, misalnya, Endri masih ragu untuk menerimanya.
Ia khawatir mentalnya kembali jatuh bila menghadapi tekanan. “Bagaimana jika nanti teman-teman tahu, bagaimana kalau saya tidak sanggup,” kata dia.
Masa-masa terberat Endri akhirnya lewat setelah ia berhasil meyakinkan diri untuk terbuka kepada rekan-rekan kerjanya. Meski saat itu dia masih menjalani terapi. “Akhirnya malah jadi positif, itu jadi obrolan sambil makan gorengan, bukan obrolan yang tabu lagi,” katanya.