Bagi Endri, dirinya bukan contoh yang baik. Beban yang mendorongnya bunuh diri sebenarnya bisa saja dikurangi dengan lebih terbuka mengkomunikasikan masalah kepada orang lain.
“Jadikanlah saya sebagai contoh yang buruk bahwa ketika ada sesuatu terjadi tapi malah tidak curhat itulah yang akan terjadi (berpikiran untuk bunuh diri). Jadikanlah saya sebagai pelajaran yang buruk dan jangan sampai terjadi lagi hal seperti itu,” ujar Endri.
Faktor Risiko Bunuh Diri
Ketua Perkumpulan Into The Light, komunitas yang fokus dalam isu pencegahan bunuh diri, Benny Prawira mengatakan, faktor penyebab bunuh diri sangat kompleks. “Dari biologi, psikologi, sosialnya dia itu seperti apa sih yang terjadi. Nah yang jadi masalah adalah seringkali kita berpikir bahwa itu faktor tunggal. Padahal enggak,” ungkapnya.
Bunuh diri juga tak mungkin terjadi karena satu insiden yang dialami seseorang, semisal putus dari pacar atau terbelit hutang. Hal itu, ujar Benny, bisa jadi hanya pemicu. Di belakangnya, pastilah ada akumulasi persoalan yang kemudian memuncak karena sebuah insiden.
Mayoritas kasus bunuh diri, lanjut Benny, disebabkan depresi. Namun, tak selamanya pendorongnya hanya depresi. Stres yang begitu hebat, juga bisa memicu keinginan bunuh diri. Marina Nurrahmani, seorang psikolog yang kini bekerja di sebuah fasilitas kesehatan tingkat pertama di daerah Jakarta Timur, mengatakan rata-rata kecenderungan bunuh diri menghinggapi orang di usia produktif antara 20-40 tahun.
Nah, lingkungan sekitar punya peran penting untuk mendeteksi dini potensi seseorang untuk melakukan bunuh diri. Mirna menjelaskan tanda-tanda seseorang mengalami depresi. “Mulai memutus kontak sama teman-teman, mengunci diri di kamar, memutus hubungan dengan dunia luar, sudah tidak mau bekerja lagi, atau enggak mau sekolah lagi. Jadi susah tidur atau justru kebanyakan tidur,” papar Marina.
Menganggap Sepele Keluhan Seseorang Itu Berisiko
Itu dari sisi perubahan perilaku. Ada pula ‘kata kunci’ yang menunjukan seseorang punya potensi bunuh diri. Semisal, ia tiba-tiba meminta maaf, menyatakan sudah lelah hidup, atau yang paling eksplisit bila seseorang terang-terangan menyatakan ingin mati.
Persoalannya, masih banyak orang yang belum sensitif dengan hal semacam itu. Menurut Benny Prawira, ‘kata kunci’ tersebut masih kerap tidak ditanggapi orang-orang sekitar dengan serius. Semisal, status media sosial bernada keputusasaan malah direspons dengan bercanda.
“Tanda peringatan ini lebih baik di-overestimated tapi kita salah, daripada kita underestimated tapi dia bener pengin mati. Jadi itu bahaya banget. Mending kita overestimated, tapi kita salah,” kata Benny.
Di samping itu, lingkungan tak cuma berperan dalam mendeteksi kemungkinan seseorang bunuh diri, andilnya juga sama besar dalam hal membantu penyintas bunuh diri untuk pulih. Kombinasi faktor personal dan sosial, menurut Benny, menentukan. Minum obat atau rajin berkonsultasi ke psikiatri tidak akan otomatis membantu orang yang ingin bunuh diri.
“Lingkungan harus manage. Interaksi sosial di sekitar kita itu harus kita kendalikan juga. Orang-orang toxic apa yang bisa kita putus. Atau kalau enggak bisa kita putus dari hidup kita gimana me-manage itu,” ujar Benny.
*****
Apabila memerlukan informasi dan layanan terkait permasalahan kesehatan jiwa termasuk permasalahan bunuh diri silakan hubungi Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat, karena sesuai peraturan pemerintah, permasalahan kesehatan jiwa sudah menjadi standar pelayanan minimal semua layanan kesehatan publik.
Untuk wilayah Gunungkidul, LSM Inti Mata Jiwa juga memberikan layanan konseling dan pendampingan, bisa dikontak di nomor hotline 082138608128 atau imaji.idn@gmail.com.
Beberapa komunitas pendampingan layanan konseling psikologis dan kesehatan jiwa di seputar Jakarta: LSM Jangan Bunuh Diri via email janganbunuhdiri@yahoo.com dan saluran telepon (021) 9696 9293, dan Yayasan Pulih di (021) 78842580.
***
Referensi: http://kumparan.com/@kumparannews/menaklukkan-keinginan-bunuh-diri-1553138088837770219