Gunungkidul, selain memiliki keberagamaan tradisi dan kuliner ternyata juga kaya dalam hal khasanah linguistik atau bahasa. Sama-sama Bahasa Jawa, namun cara ucap dan diksinya berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Bahkan ada beberapa kosa kata yang hanya ada di daerah tertentu saja.
Salah satunya adalah kata ‘njoto‘ yang lazim digunakan di sebagian daerah Tepus. Njoto maknanya kurang lebih duduk santai tanpa tujuan yang jelas. Njoto dilakukan karena seseorang berada dalam situasi nganggur, tanpa ada yang bisa dikerjakan.
Oleh karenanya, duduk santai selepas lelah bekerja atau bepergian jauh tak bisa disebut ‘njoto‘, walaupun cara duduk dan minuman yang tersedia sama.
Dari sisi kemanfaatan praktis, jelas ‘njoto’ tak banyak berguna apalagi produktif. Contoh penggunaan kata ‘njoto‘ yang tepat adalah “Aku dino Minggu malah susah, ora ono gawean. Isone mung ‘njoto’ neng ngomah“.
‘Njoto‘ merupakan kata yang dianggap kuno dan ketinggalan jaman. Dianggap bahasanya orang ‘ndeso kluthuk‘, kata yang pantasnya diucapkan oleh simbah-simbah saja. Sering orang berolok menggunakan kata ini, walaupun tentu olok-olok disini bukanlah olok-olok yang serius dan menyakitkan hati.
Dalam perkembangan yang saya amati, kawula muda saat ini semakin jarang menggunakan kata ‘njoto‘ walaupun mereka tahu artinya. Mereka lebih nyaman menggunakan diksi ‘lungguh/lingguh‘ yang mereka anggap lebih ‘kota’, lebih elit.
Ini tentu perkembangan yang kurang menyenangkan dan mengancam eksistensi kosa kata unik khas perdesaan Gunungkidul bagian selatan. Kata ‘njoto‘ merupakan kata yang unik dan amat lokalistik. Kelestariannya amat perlu dijaga. Jangan sampai anak cucu di Tepus tak tahu kata tersebut.
Sementara padanan kata yang mendekati makna ‘njoto‘ adalah ‘njenggruk‘. Kata itu populer di daerah Menthel.
Saat saya dianggap tak pecus melakukan suatu pekerjaan, maka istri saya dengan sedikit marah akan menyuruh saya untuk njenggruk.
“Wes kana, njenggruk wae neng ngarep pawon!”
Apakah sedulur-sedulur di Seputar Gunungkidul saat ini ada yang ‘njoto‘ atau ‘njenggruk‘?
***