Pertanian: Sektor Penyelamat yang Tersisihkan

Pertanian: sektor penyelamat krisis yang tersisihkan. Foto: Bilal.
Menanam padi sawah tadah hujan MH-2. Foto: Bilal.

Adakah generasi muda Gunungkidul yang masih bersedia bertani, beternak, atau menjadi nelayan? Rasa-rasanya sulit untuk menjawab tegas YA, MASIH BANYAK. Mengapa? Hingar-bingar percakapan dari para pejabat elit sampai rakyat bawah sering menyatakan Gunungkidul bakal menjadi “Bali ke-2“. Bukankah 2018 lalu Pemkab Gunungkidul sudah sengguh tan mingkuh untuk mewujudkan Gunungkidul sebagai Daerah Tujuan Wisata Terkemuka dan Berbudaya Menuju Masyarakat Yang Berdaya Saing, Maju, Mandiri, dan Sejahtera tahun 2021?

Bukankah jalan nasional Jogja Wonosari sudah lebih sering macet tumpek-blek iring-iringan mobil wisata? Demikian juga jalur Solo-Semin atau Praci-Ponjong. Mimpi sudah menjadi kenyataan coy. “Anak-anak muda gak usah merantau lagi, wisata telah membuka banyak lapangan kerja di kampung halaman!” Ini kampanye para pejabat yang diamini para tokoh Gunungkidul di perantauan. Benarkah demikian?

Bacaan Lainnya

Pandemi Coronavirus yang merebak di tanah air sejak akhir Februari 2020 nampaknya mengganggu mimpi indah kabupaten ini. Berangsur jumlah kunjungan wisata turun drastis, sebelum akhirnya tempat-tempat wisata ditutup sementara oleh pemerintah. Media lokal Gunungkidul pun kompak memberitakan press-release keluhan goncangnya bisnis para pengusaha hotel, restoran, dan toko oleh-oleh, sehingga mereka meminta fasilitasi Pemkab untuk penundaan angsuran kredit perbankan.

Para pelaku bisnis lainnya terkait wisata, seperti: tour-guide/tour-leader, EO, jasa outbond, pengusaha angkutan wisata, dll juga terdampak. Namun, mereka nampaknya bisa memahami situasi. Keluhan mereka tak begitu terekspos di media lokal Gunungkidul.

Apabila kita benar-benar mau menyimak data dan fakta di lapangan, wabah Covid-19 sesungguhnya menjadi titik balik agar kita menelisik ulang, bahwa kabupaten kita tercinta masih menjadi KABUPATEN PERTANIAN. Ya, saya tidak asal bunyi. Meski tidak populer, tidak terlihat kinclong, sektor pertanian-kehutanan-perikanan masih menjadi penopang utama perekonomian Gunungkidul.

Pertanian atau Pariwisata?

Indikator perekonomian wilayah dapat ditelisik dari besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Mudahnya, PDRB adalah nilai Rupiah produksi seluruh sektor perekonomian pada suatu wilayah dalam satu tahun. Data PRDB Kabupaten Gunungkidul (Gunungkidul Dalam Angka 2020) menunjukkan, sektor pertanian masih tetap menjadi penyumbang terbesar perekonomian Gunungkidul dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian Kabupaten Gunungkidul mencapai 25,28% (2016), turun menjadi 23,48% pada tahun 2019.

Nampak bahwa dalam kurun waktu 5 tahun terakhir pertanian masih menjadi sektor paling dominan. Sementara sektor-sektor lain kontribusinya masih di bawah 11%. Sektor konstruksi 10,35%, industri pengolahan 9,47%, jasa pemerintahan 9,45%, perdagangan 9,41%, sektor-sektor lainnya masih di bawah 8%. Kontribusi sektor pertanian artinya adalah nilai produksi hasil budi daya para petani, peternak, nelayan, serta para pihak lainnya yang mendukung produksi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Bicara sektor konstruksi artinya adalah nilai produksi dari kegiatan konstruksi baik yang dilakukan pemerintah maupun swasta. Sektor industri pengolahan bermakna nilai produksi dari industri pengolahan perusahaan swasta, perusahaan daerah, maupum industri rumah tangga masyarakat di wilayah Gunungkidul. Kontribusi sektor jasa pemerintahan bermakna nilai produksi jasa pemerintahan baik belanja pegawai atau belanja instansi pemerintahan.

Besarnya kontribusi sektor jasa pemerintahan dan sektor konstruksi masing-masing dalam kisaran 10% menunjukkan, bahwa perekonomian wilayah Gunungkidul juga masih bergantung dari sirkulasi dana APBN/APBD yang digelontorkan untuk pembangunan konstruksi dan jasa pemerintahan termasuk belanja pegawai negara.

Kontribusi sektoral terhadap perekonomian Kabupaten Gunungkidul tahun 2019. Dok: Gunungkidul Dalam Angka 2020, BPS-Gk.

Jika mau kita bandingkan dengan sektor kepariwisataan, maka kita bisa urut dari data kontribusi sektor penyediaan akomodasi dan makan minum yang telah mencapai 5,91%. Taruhlah industri kepariwisataan itu kasarnya menggerakkan sekitar 25% dari nilai sektor perdagangan, transportasi, dan komunikasi/informasi, maka prakiraan kontribusi sektor pariwisata kira-kira sebesar = 5,91% + 0,25×9,41% + 0,25×5,02% + 0,25×7,20% = 11,32%. Jadi, hitungan kasar kontribusi sektor kepariwisataan kira-kira memberikan kontribusi 11,32% pada perekonomian Gunungkidul.

Nilai kontribusi mencapai 11,32% mengandung asumsi kepariwisataan sudah mampu memberikan nilai tambah pada meningkatnya nilai produksi jasa akomodasi dan makan-minum, meningkatnya perdagangan terutama komoditas terkait kebutuhan para wisatawan, meningkatnya jasa transortasi wisata/charteran, dan tambahan belanja jasa informasi/komunikasi (telepon/internet).

Untuk melihat perekonomian Gunungkidul secara utuh, mari kita lihat nilai Rupiah dari PDRB keseluruhan. PDRB (ADHB) Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2019 mencapai Rp 18,889 triliun. Sektor pertanian mencapai Rp 4,435 triliun. Taruhlah kontribusi sektor kepariwisataan benar mencapai 11,32%, artinya senilai kurang lebih Rp 2,138 triliun. Sementara itu nilai APBD Gunungkidul 2019 mencapai Rp 2,057 triliun untuk pendapatan, dan belanjanya sebesar Rp 2,271 triliun.

Ya, sektor pariwisata sudah mampu menumbuhkan perekonomian wilayah mengimbangi sektor jasa konstruksi dan jasa pemerintahan. Namun demikian, kontribusi sektor kepariwisataan dalam perekonomian wilayah masih separuh dari kontribusi sektor pertanian.

Apabila mau mencoba perbandingan secara kasar, nilai produksi yang dihasilkan seluruh petani Gunungkidul dan penduduk yang berkontribusi pada sektor pertanian kurang lebih sebesar 1,95 kali belanja APBD kabupaten. Sementara sektor pariwisata kurang lebih sebesar 1,04 kali belanja APBD. Artinya, nilai produksi yang dihasilkan sektor pertanian ternyata nilainya sekitar 2 kali dari nilai belanja APBD kabupaten. Sementara, nilai belanja APBD setahun impas dengan nilai produksi yang dihasilkan sektor pariwisata.

Yang perlu dipahami dan tidak boleh diabaikan, sektor pertanian sampai saat ini tetap masih menjadi penyumbang terbesar perekonomian Kabupaten Gunungkidul. Fakta ini klop apabila ditelisik dari ragam jenis pekerjaan penduduk Gunungkidul yang mayoritas masih bekerja di sektor pertanian.

Dari Biro Tata Pemerintahan Pemda DIY, didapatkan data jumlah penduduk Kabupaten Gunungkidul tahun 2016 sebanyak 625.107 jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut masih ada sebanyak 227.327 jiwa atau 36,37% penduduk yang bekerja pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Kurang lebih ada sekitar 111.400 rumah tangga petani di Kabupaten Gunungkidul. Kemudian, yang bekerja sebagai buruh/tukang sebanyak 73.625 jiwa (11,78%), mengurus rumah tangga 73.055 jiwa (11,69%), berwiraswasta 71.363 jiwa (11,42%), masih menjadi pelajar/mahasiswa 71.231 jiwa (11,40%), dan menjadi karyawan swasta 63.183 jiwa (10,11%). Pada tahun tersebut sebanyak 22.635 jiwa (3,62) masih berstatus belum bekerja alias pengangguran. Tercatat ada sekiatr 11.000 penduduk yang menjadi pegawai negara (ASN, Polri, TNI), warga pensiunan sekitar 6000 jiwa, warga dengan pekerjaan lain-lain 4200 jiwa, dan pegawai BUMD sekitar 700 jiwa.

Jumlah penduduk Kabupaten Gunungkidul menurut jenis Pekerjaan (2016). Sumber: Biro Tapem Pemda DIY.

Makna dari prosentase kelompok pekerjaan tersebut adalah, para petani dan warga Gunungkidul non petani yang berkontribusi pada sektor pertanian nyata-nyata menjadi penopang dominan kehidupan perekonomian Gunungkidul. Karena itu, menjadi naif apabila berpandangan ayo tinggalkanlah dunia pertanian, lebih baik bekerja saja untuk pariwisata. Bisa necis, bisa tampil gaya, dan tidak gabul gluprut lendhut lagi.

Lumbung Pangan Daerah Istimewa Yogyakarta

Benarkah wilayah pegunungan kapur kering di tenggara Kota Yogyakarta ini menjadi lumbung pangan Daerah Istimewa Yogyakarta? Data BPS Provinsi DIY menunjukkan, produksi padi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2019 tercatat sebanyak 533.477,40 ton (lihat foto). Kontribusi produksi padi dari Kabupaten Gunungkidul mencapai sebesar 201.654,93 ton atau 37,8% dari total produksi provinsi. Produksi terbesar komoditas padi ternyata berasal dari Kabupaten Gunungkidul. Disusul kemudian Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulonprogo, dan Kota Jogja. Jadi, tidak ada yang keliru apabila ada yang menyebutkan bahwa Gunungkidul adalah lumbung pangan DIY.

Tonase produksi padi DI Yogyakarta (2019). Sumber: DI Yogyakarta Dalam Angka 2020, BPS Provinsi DIY.

Meski dikenal sebagai wilayah pegunungan karst yang kering, di wilayah Gunungkidul terutama di zone Batur Agung (utara) dan zone Ledok Wonosari (tengah) terdapat hamparan sawah padi dengan irigasi sepanjang tahun. Belum lagi ditambah lahan padi tadah hujan baik di zone Batur Agung, zone Ledok Wonosari, maupun di zone Pegunungan Sewu di selatan.

Beberapa wilayah kecamatan sentra penghasil padi sawah di Gunungkidul adalah: Semin, Gedangsari, Patuk, Ngawen, Ponjong, dan Karangmojo. Sementara itu, 6 wilayah utama penghasil sawah tadah hujan adalah: Saptosari, Panggang, Semanu, Wonosari, Karangmojo, dan Playen.

Lantas, apakah produksi padi Kabupaten Gunungkidul sudah mampu mencukupi kebutuhan penduduk sendiri? Mari kita lakukan perhitungan secara sederhana berikut ini. Indeks konsumsi beras per kapita per tahun menurut BPS adalah 114,6 kg/kapita-tahun. Dengan jumlah penduduk Kabupaten Gunungkidul (tahun 2018) tercatat 736.210 jiwa, maka prakiraan jumlah kebutuhan beras dalams setahun adalah sebesar 0,1146 x jumlah penduduk = 84.370 ton. Sementara, produksi padi GKG (gabah kering giling) Kabupaten Gunungkidul (tahun 2018) mencapai 201.654 ton. Dengan menggunakan angka konversi dari GKG menjadi beras sebesar 0,62, maka beras yang dihasilkan sebanyak 125.026 ton. Artinya masih surplus produksi atau mampu swasembada beras.

Tapi di pasar-pasar tradisional Gunungkidul khan ada banyak beredar beras dari luar. Ada beras Delanggu, beras dari Karawang dan sebagainya. Bukankah itu menunjukkan defisit beras? Mari kita ingat, pertukaran komoditas beras jamak terjadi di daerah manapun. Ada beras dari luar daerah yang laris manis dikonsumsi masyarakat Gunungkidul. Sebaliknya, selain dikonsumsi sendiri, para petani Gunungkidul dalam kenyataannya juga menjual beras ke pasar, menjual beras atau gabah kering giling ke para pedagang untuk dijual ke luar daerah.

Ini saja belum kita bahas produksi pertanian lainnya, seperti singkong yang pada tahun 2016 mencapai 1 juta ton, jagung 238 ribu ton, juga kacang tanah 66 ribu ton. Tanaman sayuran yang paling utama dihasilkan adalah bawang merah sekitar 8.802 ton dan cabai sekitar 6.370 ton. Tanaman hortikultura juga sedang intensif digarap, seperti mangga yang mencapai 300-an ton, pisang 150-an ton, dan tanaman belum lagi umbi-umbian lainnya. Simbah-simbah dulu punya cangkriman “wigotidhengkul“. Uwi ketiga mati, rendheng thukul. Itu hidden resources komplemen beras yang juga belum digarap optimal.

Sentra Penghasil Ternak

Kabupaten Gunungkidul dikenal juga sebagai sentra penghasil ternak bagi wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Jenis sapi yang dominan diternakkan di wilayah Gunungkidul adalah sapi PO (peranakan ongole). Disamping itu, ada pula para peternak yang memelihara jenis sapi Simmetal, sapi Limousine, dan sapi Bali.

Jumlah ternak di Kabupaten Gunungkidul tahun 2019 tercatat sebanyak 153.363 ekor sapi, 188.160 ekor kambing, 11.022 ekor domba. Kecamatan sentra ternak sapi menurut jumlah terbanyak adalah: Semin 13.254 ekor, Playen 13.152 ekor, Wonosari 11.008 ekor, Girisubo 10.820 ekor, Ponjong 10.447 ekor, dan Rongkop 9.334 ekor. Ternak sapi juga terdapat di semua wilayah kecamatan lainnya dengan jumlah di bawah 9.000 ekor.

Untuk ternak kambing, kecamatan sentra ternak sesuai urutan jumlah terbanyak adalah: Tepus 17.729 ekor, Wonosari 17.134 ekor, Playen 16.471 ekor, Girisubo 14.818 ekor, Semin 12.592 ekor, dan Rongkop 12.288 ekor. Ternak kambing juga terdapat di semua wilayah kecamatan lainnya dengan jumlah di bawah 12.000 ekor.

Ternak unggas, khususnya ayam pedaging dan petelur juga sudah banyak diusahakan di wilayah Gunungkidul, baik oleh masyarakat, kelompok masyarakat, maupun perusahaan swasta. Jumlah ternak unggas pada tahun 2019 tercatat sebanyak 1.245.091 ekor ayam kampung, 301.000 ekor ayam petelur, 1.635.000 ekor ayam pedaging, dan 6.661 ekor itik.

Selain menyasar permintaan lokal, produk daging ayam dan telur juga telah mensuplai wilayah Yogyakarta, Klaten, Surakarta, Wonogiri, dan sekitarnya. Untuk telur ayam negeri, beberapa perusahaan peternakan juga telah mengirim untuk permintaan pasar di seputar Jabodetabek.

Sentra jual beli paling ramai untuk ternak sapi dan kambing di wilayah Kabupaten Gunungkidul adalah Pasar Ternak Siyonoharjo di Playen dan Pasar Ternak Munggi di Semanu. Ternak sapi dan kambing dari wilayah Kabupaten Gunungkidul pada umumnya diminati para pembeli dari luar daerah. Alasannya karena ternak Gunungkidul dagingnya lebih bagus, karena pakan utamanya lebih dominan hijauan pakan ternak daripada pakan buatan konsentrat maupun pakan dari limbah industri makanan rumah tangga (limbah tahu-tempe, limbah roti, limbah makanan lainnya).

Penjualan ternak dari wilayah Gunungkidul juga merambah ke Pasar Ternak Pracimantoro Wonogiri, Pasar Ternak Prambanan Sleman dan beberapa pasar ternak di wilayah Klaten. Pada saat musim perayaan Idul Adha, para peternak sapi dan kambing dari Gunungkidul juga sering melayani permintaan hewan ternak untuk kurban dari wilayah Jabodetabek.

Perikanan

Jenis usaha perikanan yang diusahakan masyarakat Gunungkidul meliputi perikanan darat (kolam, empang) dan perikanan tangkap dari laut. Pada tahun 2018, produksi perikanan darat (air tawar) mencapai 1.225 ton, sedangkan perikanan tangkap mencapai 1.020 ton.

Untuk perikanan darat, jumlah produksi di Kabupaten Gunungkidul tergolong sedikit dibandingkan wilayah lainnya di DIY. Namun untuk perikanan tangkap khusunya perikanan laut, sebagian besar produksi perikanan laut DIY dihasilkan dari para nelayan di wilayah Gunungkidul. Produksi perikanan tangkap terbanyak tercatat di PPI (Pelabuhan Pendaratan Ikan) Sadeng di wilayah Kecamatan Girisubo.

Produksi subsektor perikanan memang masih belum optimal. Untuk perikanan darat hal ini dapat dimaklumi, mengingat ketersediaan air tawar masih menjadi kendala utama. Sementara itu, untuk produksi perikanan tangkap masih terkendala dengan ketersediaan sarana tangkap yang masih tradisional dan kondisi SDM nelayannya.

Masih Menjadi Penggerak Roda Ekonomi

Nah, masih adakah yang meragukan sektor pertanian dapat menjadi penggerak roda perekonomian Gunungkidul sekaligus penyelamat pada masa krisis wabah Covid-19?. Silakan dipenggalih ulang dengan menelisik data dan fakta, bukan dari kampanye masif yang dilakukan para pejabat pemerintahan.

Karena itu harapan kepada sektor pertanian tetap membuncah ketika melihat masih ada anak-anak muda di Gunungkidul meski masih dalam skala sporadis yang masih setia berolah-tani, seperti: Sekolah Pagesangan di Panggang, pegiat muda Samukafarm di Candirejo Semanu, para petani muda di seputar Sawah Gelaran Goa Pindul, para petani muda di wilayah Nglanggeran, dan sedulur-sedulur muda di tempat lainnya. Ini menunjukkan spirit anak-anak muda yang tak padam untuk setia melanjutkan warisan para orang tuanya berbudi-daya pertanian, peternakan, dan perikanan.

Hormat juga kepada para Pak Bina penyuluh pertanian lapangan yang setia mendampingi para among tani Gunungkidul yang terus bekerja keras dalam senyap.

***

Referensi:

  • Kabupaten Gunungkidul Dalam Angka 2020 (BPS Kabupaten Gunungkidul)
  • Provinsi DIY Dalam Angka 2019 (BPS Provinsi DIY)
  • Data Jenis Pekerjaan Penduduk DIY (Biro Tapem Pemda DIY
  • APBD Kabupaten Gunungkidul 2019 (Pemkab Gunungkidul
Facebook Comments Box

Pos terkait