Melihat IPM Gunungkidul Melalui Togog dan Semar, Eee … Datang Narada!

Togog, Semar, Narada

Gunungkidul, Kabupaten di tenggara Kota Jogja itu terasa tiada habis ceritanya. Sejak jaman purbanya purba ceritanya tiada habisnya.

Berdasar data BPS, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Gunungkidul masih dalam kategori terendah di DIY. Parameter indeks pembangunan manusia menggunakan basis kesehatan (harapan hidup), lama pendidikan formal yang dijalani dan tingkat kehidupan yang layak. Masing-masing memiliki indikatornya untuk mencapai kesimpulan. Dan kesimpulan BPS sampai 2018 adalah bahwa tingkat pendidikan manusia di Gunungkidul dianggap terendah se-DIY.

Bacaan Lainnya

Tentu sebagai manusia Gunungkidul saya sedikit kurang percaya dengan kesimpulan rendahnya tingkat pengetahuan manusia Gunungkidul. Rendahnya tingkat pendidikan iya, tapi rendahnya pengetahuan sepertinya belum tepat.

Kita gunakan analogi “Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpa”. Lalu kita tengok saja isu yang beredar di Gunungkidul. Isu yang notabene sangat menuntut kemampuan berpikir, menganalisa dan mencari solusi yang terjadi beberapa bulan terakhir.

Kita tilik saja dari Pilkada Gunungkidul yang akan diselenggarakan pada bulan Desember 2020, setelah sebelumnya direncanakan akan diselenggarakan pada bulan September 2020. Hiruk pikuknya sudah terasa sejak awal tahun 2019. Pilkada akan diselenggarakan serentak bersama 224 Kabupaten, 37 Kota dan 9 Provinsi di seluruh Indonesia.

Dan pada Pilkada 2020 kali ini, Gunungkidul rasanya memiliki sebuah cerita yang membutuhkan pengetahuan luar biasa untuk memahaminya. Mestinya, hanya manusia dengan tingkat pendidikan tinggi sajalah yang layak mendapati isu dengan tingkat ketinggian pohon (ilmu pendidikan) yang menjulang, kali ini.

Apa buktinya kalau manusia Gunungkidul dihadapkan pada pengetahuan diatas rata-rata? Adalah hadirnya tokoh wayang pada Pilkada 2020 ini.

PDIP Gunungkidul, alih-alih memamerkan foto paslon yang diusung, sampai bulan Agustus ini malah memamerkan tokoh wayang. Tokoh wayangnyapun penuh kontroversi. Dan kontrovesi tokoh wayang yang digunakan sebagai simbol calon yang diusung, juga pernah menjadi isu nasional, bahkan internasional pada Juli 2019, ketika Jokowi dan Probowo bertemu di restoran sate Fx Senayan.

Togog dan Semar! Kedua tokoh ini hadir di suasana Pilkada 2020 Gunungkidul. Togog dan Semar yang pernah menarik perhatian banyak orang dari berbagai kalangan strata kehidupan nasional. Togog dan Semar sempat menjadi trending topik pemikiran para cedekiawan Indonesia dan dunia, dalam menguji pengetahuan kala itu.

Togog

Kedua tokoh dunia pewayangan kali ini juga hadir di Gunungkidul. Memporakporandakan kontruksi pemikiran tokoh dan para cendekiawan tentang perpolitikan di Gunungkidul. Analisa hingga kesimpulan bertebaran sesuai selera. Tapi PDIP membiarkannya liar, tanpa terlihat ada skenario menjelaskan ke banyak kalangan.

Ini menjadi antitesis baru dalam perpolitikan di Gunungkidul, bahkan bisa saja menjadi antitesis para pakar nasional tentang Gunungkidul.

Jika pada pertemuan Jokowi dan Prabowo, Juli 2019 lalu, gambar tokoh wayang telah terbagi dua. Yaitu Jokowi duduk di depan gambar Togog dan Prabowo duduk di depan gambar Semar. Maka analisanya masih berkutat di ranah siapa yang duduk di depan tokoh wayang, kemudian maksud dan tujuannya.

Kali ini di Gunungkidul, kedua tokoh wayang digunakan tanpa kejelasan presentasi siapa Togog, siapa Semar. Keduannya diborong habis oleh PDIP dengan jargon “Ora Mbrebegi Ning Ngrampungi” (Tidak Gaduh tapi Menyelesaikan).

Togog yang hadir di awal (Juli 2020), sempat menjadi bulan-bulanan banyak orang. Tanggal 14 Agustus 2020, baliho yang sebelumnya terpasang gambar Togog seketika hilang tanpa kejelasan. Dan pada tanggal 17 Agustus tiba-tiba gambar Semar bertebaran di dunia maya, menggantikan posisi Togog yang belum cukup teranalisa maksudnya. PDIP Gunungkidul tentu menjadi sasaran tembak para pakar.

“Simbol pemimpin kog Togog. Sekarang sadar atas kekeliruannya. Makanya mengganti simbol menjadi Semar” demikian salah satu respon politikus kawakan Gunungkidul.

Semar

Bisa jadi, PDIP Gunungkidul melakukan kesalahan tanpa sadar. Togog dengan berbagai nilai negatifnya telah tertanam beratus tahun di tengah masyarakat Gunungkidul. Dan ketika menyadari betapa sulitnya menyampaikan filosofi yang di maksud, PDIP dengan diam mengganti keputusannya dengan menampilkan Semar.
Yang jadi pertanyaan lagu, mengapa hari ini muncul simbol baru, yaitu Narada?

Ketua DPC PDIP yang juga Ketua DPRD Gunungkidul, Endah Subekti Kuntariningsih juga tidak terdengar memberikan penjelasan terkait bergantinya Togog menjadi Semar, apalagi Narada yang baru saja turun dari Kahyangan ini.

Para jurnalis yang dulu mampu menemukan jawaban atas gambar Togog, sekarang mengalami kesulitan mendapatkan penjelasan tentang Semar dan Narada. Karena sumber utama tentang Togog, dulu didapat dari Cabup dan Cawabup yang diusung PDIP langsung, di Rumah Makan Padmo, Ngawis, Karangmojo, Gunungkidul.

Tapi kali ini, sepertinya tidak mudah menemui sosok cabup dan cawabup dari PDIP itu. Kalaupun bertemu, mungkin Bambang Wisnu Handoyo dan Benyamin Sudarmadi (Cabup dan Cawabup PDIP Gunungkidul) memilih diam, karena bisa jadi pemilihan tokoh Togog diawal menemui kendala penerimaan ditengah masyarakat Gunungkidul. Tapi sekali lagi, mengapa hari ini hadir Narada?

“Kenapa tidak wayang satu kotak sekalian saja ditampilkan. Dan biarkan masyarakat Gunungkidul memilih gambar wayang di hari Rabu Wage, 9 Desember 2020 nanti. Toh wajah Bambang Wisnu Handoyo tidak banyak dikenal di Gunungkidul” demikian salah satu respon warga Gunungkidul bernada putus asa untuk mendapatkan penjelasan simbol wayang yang hadir sejak gema pilkada 2020 dikumandangkan.

Data BPS boleh menyimpulkan pendidikan manusia Gunungkidul itu rendah. Tapi bukan pada pengetahuan yang sedang dipelajari oleh manusia Gunungkidul.

Tinggi Pohon berbanding tegak lurus dengan kuatnya terpaan angin yang menguji ketahanan batang dan akarnya. Artinya tingginya ilmu yang dibutuhkan untuk menganalisa tokoh Togog, Semar dan Narada dalam Pilkada 2020 kali ini, bisa dikatakan tidak sebanding dengan tingkat pendidikan rata-rata manusia Gunungkidul.

Dan oleh PDIP, masyarakat Gunungkidul dihadapkan pada tuntutan memahami simbol Togog lalu Semar dan Narada. Kkemudian “dipaksa” untuk memilih Bambang Wisnu Handoyo sebagai Calon Bupati dan Benyamin Sudarmadi sebagai Calon Wakil Bupati Gunungkidul periode mendatang.

Apakah tokoh dan cedekiawan Gunungkidul bersama masyarakatnya mampu menangkap nilai yang ingin disampaikan oleh PDIP dalam mengusung cabup dan cawabupnya? Memahami simbol Togog yang diganti Semar kemudian Narada tentu membutuhkan waktu dan ilmu pengetahuan ekstra.

Mekaten kinten-kinten.

Ah … Narada mengapa engkau memaksaku berpikir lagi, menghambatku untuk menyiapkan bahan gorengan saja kamu ini. Kapan aku bisa jualan lagi kalau begini?

Narada

Facebook Comments Box

Pos terkait