Pasar sendiri adalah makhluk. Ia Kala yang diikuti, yang orang-orang harus menyesuaikan dengannya, jika tidak, ia akan menguntal manusia mentah-mentah. Orang-orang harus merapal mantra, mengucap doa-doa, membuat upacara-upacara: meruwat dirinya. Agar pasar sebagai perwujudan waktu nyenyet nan sakral tak melulu menjadi banal, tak menjadi liar tak bisa dikendalikan.
Di kala kini, pasar, sebagai sebuah makhluk, tampaknya sedang melipat-gandakan dirinya. Ia adalah ‘tiwikrama’ yang tampak kecil, ciut, bahkan tak kelihatan ke’dityakala’annya sama sekali. Antara penjual raksasa dan pembeli kurcaci. Di sebaliknya, di balik transaksi dua subjek yang terasa semakin menyempit jangkauan wilayahnya (globalisasi-desa), pasar ‘ruhara’ suaranya, seperti berisik ‘lampor’, men-toa-kan komoditas-komoditas laten/lembut yang dimaharayakan oleh manusia-manusia.
Dan pasar pada waktu pasaran (‘pancawara’) tertentu menyembunyikan ‘waktu-pasar’ (Kala) yang tak dengan gampang dapat diindera, apalagi diprediksi. Yaitu suatu kondisi ketika pasar menjelma kayu raksasa yang penuh-sesak dahan, ranting, serta dedaunnya. Pasar yang berupa kekayu raksasa berbatang ‘keblat papat’, daunnya mega-mega yang sedang ‘trungtum’ (bersemi), seminya ‘kuwung’ (pelangi) yang ‘mancawarna’ (warna-warni), ‘daru’ dan kilat di sana-sini, bunganya berupa kartika, kuncupnya langit, berbuah matahari dan rembulan, bersirat embun dan hujan, berpucuk angkasa dan ber-‘pok’ (berdasar) bumi.
Berakar angin dan guntur: prahara!
—
(Klepu).