
Ini catatan ngalor-ngidul tentang: tanah yang gersang itu bisa merangsang manusia untuk menumbuhkan ‘gesang’ (hidup). Gersang: seger dan merangsang; begini ‘jarwa-dhosok’ campuran antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesianya. Ini catatan tentang: pemaknaan penamaan.
Biarkan pada awaltahun ini terangsang untuk tampak elit (karena saya sama sekali tak elit; seringnya mirip slilit), meskipun sekedar tampak, yaitu dengan memilih pasangan-kata yang kemudian saya gunakan untuk ‘rasan-rasan’ tentang sebuah buku, atau tepatnya: sebuah laku-hidup yang diabadikan sebagai artefak-buku, dengan meminjam judul buku Mbah Jacob Sumardjo: estetika-paradoks.
Paradoks [‘gesang’] dan [gersang]. Gesang dan gersang terpaut fonem [r]. Gesang, hidup. Gersang, mati. Gesang, pertumbuhan. Gersang, pelayuan. Gesang, kesuburan dan kemajuan. Kegersangan, ketertinggalan atau hingga relatifitas tertentu: kemunduran. Keduanya dapat berpasangan-bergantian menggambarkan personalitas seseorang dan sesuatu. Yang bahkan berkebalikan dengan kebiasaannya.
Seseorang yang hidup di lahan gersang bisa sangat ‘hidup’ perikehidupannya. Seseorang yang tinggal dan hidup di lahan yang subur bisa sangat ‘gersang’ laku hidupnya. Manusia-hidup adalah manusia yang mampu ‘angon’ kegersangan-kegersangan, mengalih-ubahnya menjadi semangat-hidup demi kesuburan-kesuburan baru.
Sebaliknya, manusia-mati adalah manusia yang dilindas kesuburan-kesuburan semu. Paradoksa, doksa kuna, pikiran/adat kuna, semacam ini lah, yang masih tertinggal di Wintaos Panggang, dan sangat mungkin tersembunyi di wilayah-wilayah Nusantara lain, telah dimunculkan-distimulankan kembali oleh seorang tokoh wanita; seorang perempuan; seorang ‘dyah’.
Di sisi satunya, peranan seorang tokoh-kaum (sesepuh) dhusun/desa di Wintaos, dan tampaknya di Nusantara mana pun ada tokoh seperti ini pula, menjadi hal penting berkenaan dengan pewarisan doksa-kuna. Doksa kuna (oleh tokoh laki-laki) di dalam buku ‘Gunungkidulan’ (baca: buku yang lahir atas rangsangan Dyah-Bumi Gunungkidul) berjudul “Gesang di Lahan Gersang” oleh Diah “Enno” Widuretno; penulis sekaligus tokoh utama di kenyataan bukunya, berupa paradoksi ‘gesang’ (hidup) di suatu tempat-lokal yang justru ditumbuhkan dan dikembangkan kembali olehnya; seorang tokoh perempuan (menggunakan doksa-modern: pendidikan-alternatif; sekolah-pembebasan) dari luar lokal.
Di dalam kegersangan lahan dan pikiran ‘yang-lokal’, Sang Dyah non-lokal menawarkan sebuah alternatif (atau bahkan: ‘sub-altern’) ilmu tentang ‘pagesangan’, yang ‘sebenarnya’ alternatif ini pernah hidup dan terpendam di lemah-Wintaos sebagai doksa-kuna itu. Lemah-Wintaos sedang mengalami ‘kegersangan’, yang di waktu sebelumnya sangat kaya ‘phala’ atau ‘wiji’ kehidupan, maka Ia (Wintaos) membutuhkan bantuan ‘tokoh-luar’ untuk merangsang tumbuhnya. Diah Widuretno berhasil menangkap paradoks ini; mungkin diawali semenjak ia memutuskan untuk memilih ‘sumbu’nya sendiri. Sumbu seorang ‘sindhen’: seorang wanita yang berani menyuarakan kegersangan di Wintaos: ‘sendirian’.
Memang, kegersangan wilayah Gunungkidul justru kaya’ akan ‘widu’ atau ‘pesindhen’ atau swarawati; dalam makna yang agak berbeda dengan atribut ‘sindhen’ yang saya lekatkan kepadanya. Diawali tahun 80-an, Pusat Olah Vokal dan Waranggana (POVW) merupakan komunitas/sekolah para calon-sindhen dan pesindhen yang bersama-sama sinau ‘nyindhen’. POVW adalah sekolah ‘widu/sindhen’. Widu/sindhen menyuarakan tetembangan yang indah. Apalagi yang ditembangkan jika bukan indahnya alam. Keindahan tak melulu dimiliki oleh wilayah yang subur, ta?
Yang gersang, yang kuno, yang dianggap tertinggal, justru sumber keindahan-lain. Hanya butuh ‘sentuhan’ dan ‘kreatifitas’ agar keindahan-lain ini muncul dan diamini sebagai nilai keindahan ‘baru’. Novelitas, kebaruan-kebaruan, yang indah nan subur, bermula dari kegersangan-kegersangan. Dan ‘novel’ Diah Widuretno di Wintaos, yang mengabarkan semangat ‘kebaruan’, adalah nyata. Novelnya itu, di tataran sunyata, bukan fiksi.
Sisi-balik novel Diah Widuretno adalah hayatan para among-tani terhadap tanah, tanaman, dan hewan. Mereka hidup; mereka memiliki ruh; mereka sumber ‘pagesangan’. Pada awalnya, dulu, among-tani dan bocah-tani adalah ‘wong-alasan’: keluarga manusia yang ruang-lingkup kahidupannya di ‘alas’ (tegalan, pekarangan, hutan [yang dikonversi menjadi lahan garapan]); bocah-alasan, berhubungan dengan tanaman dan ‘sato-kewan’ (hewan ternak).
‘Wong-alasan’ ‘bocah-alasan’ meyakini jauh di dalam batinnya bahwa Sang Paring Gesang (Si Pemberi Kehidupan) atau Hyang Paring Tumuwuh (Yang Menumbuhkan) akan selalu memberi ‘gesang’ (kehidupan) bagi para biji/winih yang ditanam di alas-tegalan-pekarangan, juga bagi hewan-ternak. Kelak dilahirkanlah buah (phala) dari hasil kerja mengolah lemah (sri) oleh para wadu/dyah/estri. Ini sifat kewanitaan. Sifat rara. Sifat putri-luhur. Dimensi kerjanya, yaitu menanam biji, termasuk sifat kelakian.

Kebetulan atau tidak, anggota komunitas yang disumbui Diah Widuretno kebanyakan ‘para dyah’, para rara/wanita. Kebetulan atau tidak, nama ‘dyah’ bermakna ‘wanita’. Pertanian yang ‘alami’, sebagaimana kesejajarannya dengan seorang ‘rara’ yang bermakna “murni-alami”, mengajak ‘para rara’ atau ‘para dyah’ di Wintaos untuk bergerak kembali ke rahim alam, ke kewanitaan, ke sekolah organik bukan mekanik. Jalan-pemberontakan terhadap doksa sekolah formal yang bernuansa ‘laki-laki’ sangat pantas diinisiasi oleh ‘para rara’ atau ‘para dyah’. Eko-feminisme telah selayaknya dipropagandakan oleh komunitas-dyah.
Kegersangan wilayah dan pemikiran, dalam arti miskinnya kelahiran dan ketumbuhan, saya yakin, dipilih oleh Diah Widuretno yang ‘dyah’ itu sebagai alasan dilaksanakannya pendampingan: wanita yang dengan sabar bersedia ‘ngemong’ dan ‘ngembani’. Jika pun pilihan masyarakat desa untuk tidak bersekolah di sekolah formal misalnya, atau untuk tak melanjutkan sekolah misalnya, sampai batas tertentu, mendukung gerakan sekolah alternatif ini. Sekolah-alternatif menawarkan pilihan-pilihan. Pilihan yang dengan sadar dipilih oleh ‘para dyah’ di Wintaos itu, didampingi Diah Widuretno, dinamai Sekolah Pagesangan (SP). Rangsangan yang distimulankan Diah Widuretno di Wintaos, bersama ‘para dyah’ seperti: Marti, Dwi, Yani, dan Sulis, merupakan sumber gesang. Sumber urip. Sekolah Pagesangan adalah ‘sumber-banyu’, yang orang-orang dari berbagai arah bisa ikut “golek banyu bening” di sana.
Sementara itu orang-orang lokal bisa mencari dan menyaring ‘andaning-warih’ yang telah tersimpan di ‘palemahannya’ (tanahnya) dan ‘pomahannya’ (lahan garapannya) sendiri; karena suatu narasi-besar (revolusi hijau misalnya) yang laten (lembut) menjadikan orang-orang lokal mulai melupakan ‘dirinya sendiri’. Jati-dirinya; tumbuh-tumbuhannya. Varietas unggulnya. Seringkali, untuk menuju kepada pengetahuan, identitas, dan kesadarannya sendiri, manusia membutuhkan uluran-tangan dari kategori yang untuk sementara ia golongkan sebagai bukan-dirinya. Marti, Dwi, Yani, Sulis, bahkan Diah Widuretno sendiri butuh golongan ‘bukan-dirinya’.
Singkatnya, Sekolah Pagesangan (SP) adalah suatu ruang suprapersonal dimana masing-masing anggota dalam ikatan komunitasnya, terutama ‘anak-anak’ (kebanyakan para ‘rara’ yang sedang ‘rumaja’/remaja) dan ibu-ibu, secara bersama-sama mencoba mencari makna dan estetika ‘gesang’ (hidup) itu seperti apa; ‘gesang’ di lahan dan pemikiran sendiri yang dicibir sana-sini sebagai ‘gersang’, sebagai paradoks laku-pendampingan di “jalan-sunyi” bahkan sebagai heterodoks sekolah-sekolah formal-modern itu; atau visi-kehidupan beberapa tokoh yang disayangkan arahnya oleh Diah Widuretno sendiri: ‘para dyah’ di Wintaos dan para pendamping yang ‘berbeda’ jalan dengannya.
Lagi-lagi, paradoks sebuah sekolah kehidupan di Giripurwa (giri: gunung, purwa: awal) Panggang Gunungkidul justru lahir dari rahim seorang ‘dyah’ (estri; perempuan) yang identitasnya antara Bumi Gunungkidul dan ‘bukan’ (ia lahir di Jawa Timur); personalitasnya antara Dyah Gunungkidul atau yang lain. Ia, Diah, seorang ‘dyah’ (wanita) dan ‘widu’ (sindhen). Ia menyuarakan ‘tetembangan-pagesangan’ di Gunungkidul sisi selatan; menyorotkan ‘retna’ (intan) berkilauan.
Ingat: estetika ‘widu’, yang paradoks, bagaimanapun, serba-mengungguli liyan, bukan?
***
(WG)