Bendhe

Bendhe, instrumen dominan dalam reog gagrak Gununungkidul. Dok: WG
Bendhe; Salah Satu Instrumen Reyog Gagrak Gununungkidul. Dok: WG
Bendhe; Salah Satu Instrumen Reyog Gagrak Gununungkidul. Dok: WG

. . .
anggar reyog jathilan,
kenong bendhe angklung,
gembreng bedhug trebang kendhang,
myang pradongga salendro pelog ngrerangin,
. . .
[Sri Karongron, Purbadipura]

Benda-benda, termasuk produk budaya tertentu yang dibendakan-nalarnya oleh keluarga manusia untuk mendukung kehidupannya, yang thukul (baca: hadir) beramai-ramai di kanan-kiri keluarga manusia, diciptakan dalam bentuk-bentuk yang ambigu (tak-terang): berada di antara dua-tiga bentuk benda yang lain. Sementara di tataran nalar atau jiwa atau rasa (bahkan ada beberapa bentuk yang di tataran lahir pun), mereka paradoks: gabungan atau kombinasi dengan nalar lain; berseberangan tetapi saling melengkapi. Dirinya adalah diri yang lain; mengandung unsur diri yang lain. Rerupa bulat yang menggelinding sifatnya; yang berulang; yang meniru. Bendho berada antara bentuk arit dan lading, atau pangot; dan sebaliknya. Tambir merupakan bentuk tengah antara irik dan tampah. Tompo adalah campuran antara tenggok dan tomblok atau kranjang suket pangaritan. Juga kedekatan-kedekatan lain yang menghubungkan keluarga-keluarga kebendaan di dalam sistem teknologi pertanian yang di wilayah Gunungkidul dapat dilihat dalam ikatan kekerabatan (kinship) alat-alat pertanian lain seperti: pacul-ganco-gathul, garu-luku, pikulan-sosoh, dan sebagainya. Bentuk-bentuk benda (yang kali ini saya kategorikan bukan yang-hidup) selaras dengan bentuk-bentuk badaniah manusia, sato-kewan, dan tumbuhan yang dianggap hidup. Bentuknya beririsan. Memiliki kemiripan.

Bacaan Lainnya

Mengandung sifat dan arah yang ‘sama’.

Tentu, karena budaya sebagai sebuah sistem besar mengandung beberapa unsur/golongan (misal: sistem bercocok tanam, sistem dan piranti teknologi pertanian, pengolahan-makanan, serta seni), masing-masing bentuk, keluarga, dan unsur budaya saling mendukung dan memiliki kemiripan pola. Pola kedekatan kekerabatan dalam sistem teknologi pertanian ditemukan pula pada kekerabatan makanan dan seni musik tradisional. Dimensi teknologis dalam suatu unsur budaya hadir bersamaan dengan dimensi psikologis, sejarah, filsafat-epistemologis, bahkan seksualitas, dan musikologis (perangkat-baca-analitik untuk memahami kediriannya sendiri). Fraksi, frasa, friksi, dan fragmen serta varian dalam nalar struktural (beroposisi dengan pos-struktur; meskipun, menurut saya, dalam keterpecahan nalar pos-struktur yang super-mikro pun mengandung pemolaan-pemolaan yang, meskipun tampak acak, sejenis dengan struktur di narasi besar; yang bersifat kompleks, multi-level, multi-relasi, bahkan multi-dimensi [2, 3, 4, dst.) adalah bagian-bagian takterpisahkan, terkoneksi, tersusun saling mengikat-bertingkat dengan bagian lain. (Nalar posmo yang fokus terhadap hal-hal [keterpecahan] kecil, yang ‘remeh-temeh’ dan memiliki otoritas makna yang ‘dianggap’ tak terhubung dengan struktur lain, jika diperhatikan mengandung pola yang ‘sama’ dengan nalar modern sebagai wujud penguasaan atas bagian/struktur lain lewat suatu narasi-besar [ideologi], sekaligus dengan pola nalar pramodern yang ‘dikuasai’ oleh kekuatan-kekuatan yang dikategorikan berasal dari luar kebendaan itu sendiri; supra-duniawi).

Pola dalam sistem kekerabatan piranti teknologis pertanian sama dengan dalam makanan dan musik. Bahkan dengan kekerabatan dalam unsur budaya lain. Kekeluargaan piranti teknologis pertanian seperti tenggok, tomblok, tompo, tambir, dan sebangsanya yang secara seksual bersifat perempuan, dan biasa digunakan sebagai simbol friksi perempuan dengan keoposisiannya dengan laki-laki, atau fragmen keperempuanan, memiliki kekerabatan stereotip dengan pola kekerabatan keluarga makanan seperti utri, cemplon, tempe dan sebangsanya sekaligus dengan kekerabatan piranti/organ musik tradisional (gamelan) keluarga pencon: gong, kempul, kethuk, kenong, dan bonang. Pencon dalam organologi gamelan merupakan kumpulan ‘lego’ gong-kempul-kethuk-kenong-bonang yang terstruktur-terkait mewakili organ perempuan yang disebut ‘susu’; beserta putingnya. Kekerabatan dalam ras/keluarga pencon berjajar dengan kekerabatan dalam ras/keluarga wilahan.

Bagaimana dengan bendhe?

Bendhe, yang saya masukkan keluarga pencon, ambigu. Paradoks. Ia gamelan, namun bukan. Ia, sebagai badan atas suatu produk budaya yang mandiri, termasuk anggota keluarga organologi gamelan pencon. Namun, organ yang disebut bendhe tak digunakan dalam orkestra gamelan format umum, baik sebagai iringan manunggal (karawitan) atau sebagai pengiring seni tari, teater, dan wayang. Kehadiran bendhe di dalam orkestra gamelan hampir ‘tidak ada’; hanya beberapa kali dimasukkan di iringan gamelan, itu saja untuk melatari suatu adegan dalam tari, kethoprak, dan wayang, yang tuntutan suasananya ‘harus’ menggunakan organ bendhe ini. Bendhe secara kehadiran atau identitas tidak diterima di orkestra gamelan. Akan tetapi secara bentuk (rupa), filsafat, seksualitas, dan sifat, bendhe tak lain tak bukan adalah gamelan; gamelan pencon.

Bentuknya memang pencon (kekerabatan pencon) seperti gong, kempul, kethuk, kenong, serta bonang. Ia berpola susu. Ia (ukurannya) agak besar di atas bonang, namun di bawah kempul. Di beberapa bidang kerja keluarga manusia, bendhe diciptakan menggunakan titi-laras gamelan. Yang dirujuk ya slendro. Bukan pelog. Mungkin, hanya mungkin, karena laras slendro membawa nafas purwa gamelan yang kehadirannya lebih purwa pula, serta lebih alamiah; seperti halnya pencon-pencon alamiah di permukaan bumi yang membawa musikalitas gamelan; atau pencon-pencon ber-rupa batu besar yang dipukul menghasilkan bunyi-musikal dalam frekuensi tertentu. Pencon yang dipukul menghasilkan titi-laras. Meskipun titi laras bendhe bisa dikatakan mardika, alias bebas (serupa dengan laras gejog-lesung; yang termasuk prototipe gamelan pula), namun bertumpu pada nada atau jarak nada slendro pada organ bonang atau kenong, yaitu 1, 2, 3, 5, 6, dan (i).

Di seni pertunjukan reyog gagrak Gunungkidulan (reyog-dhodhog) bendhe hadir sebagai piranti/organ musik utama selain dhodhogan (kendhang), dibantu kecrek, dan angklung yang titi-larasnya menyesuaikan bendhe. Siklus titi-laras yang dimunculkan bendhe di reyog-dhodhog Gunungkidulan biasanya menggunakan pola-siklik 636-636-2 (lebih sering) atau 525-525-3. Jika digambarkan dengan suara-vokal pola-siklik titi-laras bendhe dalam reyog-dhodhog Gunungkidulan itu akan seperti ini: “pung jing pung, pung jing pung, jung“. Kala dari kejauhan suara titi-laras bendhe mengumandang, keluarga manusia di Gunungkidul seakan tangi, njenggirat: meraba-raba, mencari-cari, memasang daun telinga fokus memilah bunyi, dari mana suara keras (soran) bendhe berasal. Dari balai dusun, lapangan, dusun sebelah, sebalik gunung, atau balai desa? Atau masih dari tempat grup reyog berasal?

Pada saat yang ditunggu-tunggu pola ritmis-siklis titi-laras 636-636-2 suara bendhe yang tadinya lamat-lamat semakin mengeras, mengantarkan kehadiran para pemain reyog yang berjalan berbaris dua banjar ke belakang mendekat, menarikan gerak-ritmik (geleng) ‘monoton’ ke kanan dan ke kiri, dalam gerak maju ke pusat perayaan (upacara) keluarga manusia: tempat gunung(an) berada. Dalam ritus suci rasulan: menghaturkan hasil bumi (beras dan palawija) kembali (wangsul) kepada Yang Maha Menumbuhkan. Rombongan pemain reyog mendekat. Ibu-ibu yang membawa serta bayinya berharap-cemas mendapatkan ‘energi’ dari pencon bendhe yang ditabuh; mengusapkan lendhang para abdi kepada sang anak. Suara bendhe mendominasi munculnya gerak-ritmik para prajurit yang dipimpin oleh paraga Udheng Gilig, didampingi Jaran Kepang dan Penthul Tembem. Saat reyog melakukan beber di depan balai (rumah, pura, meru) dusun atau balai desa, yaitu waktu jaran kepang ‘kiprah’, pola bunyi siklik titi-laras 636-636 pada bende (yang diikuti angklung) dibalik urutannya, menjadi 363-363, memusat (dhawah) pada angka 2. Komposisi 636 dan 363 merupakan kombinasi bilangan-bilangan

Agar pemain jaran-kepang yang nglumpruk-kalah dalam perang-keprajuritan kembali memeroleh asupan energi (tangi), agar mendapatkan ‘hiburan’, para abdi/batur (Penthul-Tembem) menyembuhkannya dengan tembang pangkur, dilanjutkan menyabdakan sebuah parikan (sastra yang lahir dari budi keluarga-beras atau padi) ditujukan padanya. Kombinasi suara bendhe dan alat musik reyog serta gerak ritmik tariannya semakin menyedot para keluarga untuk berkerumun-berkeliling menyaksikan keriuhan (angreyok: serba riuh-rendah) beber reyog.

Para keluarga terhenyak. Tersedot ke asal bendhe tertabuh.

Tampaknya memang fungsi bendhe sejak masa purwa adalah piranti untuk memunculkan getaran-getaran kosmik (di cabang ilmu fisika: bendhe memiliki gelombang berfrekuensi tertentu; merambat jauh) yang dengan sampainya getaran ini ke tujuan maka yang mendengar akan bergerak untuk memulai sesuatu atau berkumpul mendekati sesuatu. Bendhe, dengan suaranya yang khas dan mampu merambat jauh melewati gunung sungai tegalan hutan, adalah ada-ada (tanda-awal) dimulainya sesuatu. Bendhe menuntut perhatian para anggota keluarga yang mendengarnya. Tanda agar para keluarga berkumpul. Mendatangi suatu tempat seperti lapangan. Dimana di tempat seperti ini akan dibeberkan narasi kehidupan.

Kehidupan yang hendak dimulai dengan pralambang bendhe.

Bendhe adalah organ gamelan dalam bidang kehidupan manusia dalam arti lebih luas. Konon bendhe adalah paratanda purwa; tergantung di kereta perang Sri Kresna, bersama kuda-kuda penariknya. Kraton atau kerajaan pun menggunakan bendhe untuk mengumpulkan keluarga: pihak ratu/raja mengumumkan wara-wara secara langsung. Pihak kraton memiliki kabar yang diwartakan melalui bendhe. Keluarga/prajurit berkumpul. Setelah rampung, bendhe dipukul kembali: bubar.

Penjual Es Dhung-Dhung dengan Piranti Bendhenya. Dok: WG
Penjual Es Dhung-Dhung dengan Piranti Bendhenya. Dok: WG

Sekolahan saya dulu, waktu SD, juga sekolah-sekolah lain dasawarsa 80-90an, menggunakan bendhe sebagai ‘bel’; suara arkais tanda berkumpul masuk kelas, atau umbar/ngaso, atau bubar sekolah. Suara bendhe yang jika diilustrasikan dengan kata-kata dhung….dhung…..dhung…. (seperti menyuarakan kata balung) memberi aba-aba saya dan teman segera masuk kelas untuk belajar. Di waktu pedhotan pembelajaran, bendhe berbunyi lagi. Saya dan teman-teman yang masih senang bermain segera berhamburan keluar dari ruang kelas: meluncur lari ke beberapa tempat di kanan-kiri sekolah. Anak-anak menjadi umbaran; menjelajah ke sana ke mari. Ada yang bermain di kalenan (kali kecil), tegalan, di tepi jalan tempat para bakul jajanan, dan sebagainya. Kurang lebih 30 menit bendhe dibunyikan kembali dengan keras sehingga anak-anak yang bermain agak jauh dari lingkungan sekolah bisa mendengar, lalu dengan tergopoh dan terpenuhi keringat masuk kembali ke ruang kelas. Di akhir pembelajaran, bendhe berbunyi keras.

Tanda wangsul (pulang).

Barangkali itulah fungsi bendhe yang paradoks, ia bisa digunakan sebagai tanda memulai sesuatu (kerja), memenggalnya (spasi, ngaso), sekaligus mengakhirinya (mungkasi; biasanya di acara peresmian bangunan/acara tertentu digunakan piranti: gong; sebagai tanda hasrat yang telah terpenuhi). Setelah bendhe tanda ngaso berbunyi, justru anak-anak tidak melaksanakan laku ngaso atau istirahat, tapi bergerak kembali: dari belajar di ruang kelas berpindah belajar di luar ruang kelas. Konsep umbar yang menumpang pada ngaso diinisiasi oleh getaran bendhe. Ngaso dan umbar saling mengisi.

Saling mengganti.

Penjual es puter atau es dhung-dhung sedang menyajikan dagangannya. Dok: WG
Penjual es puter atau es dhung-dhung sedang menyajikan dagangannya. Dok: WG

Lamanya anak-anak umbar sejauh suara bendhe merambat. Kadang kala, setelah lelah bermain di sekitar sekolah mereka dikumpulkan kembali dengan segera oleh suara bendhe, namun bukan bendhe bel sekolah. Ini bendhenya penjaja es krim atau es-puter a la desa yang ider ke berbagai wilayah. Hingga sekolahan-sekolahan pelosok. Tergantung sebuah bendhe di sepedanya: pertanda ia, yang empunya, penjaja sesuatu. Es-puter. Pekerjaannya adalah memukul-mukul gamelan bendhe agar orang-orang berkumpul: membeli es hasil puterannya.

Bendhe adalah pratanda awal bagi para anak (yang memendam kerinduan purwa) untuk suatu waktu yang amat mitis (sakral) diharapkan dengan riang mampu memegang conthong wadah es krim/es puter yang terbeli. Tak selang lama anak-abak nglamuti pencon kehidupan, yaitu kerja inisiasi-menyusu kepada Ibu Semesta: tirta-amerta, lewat lelehan ‘es-krim’ yang menetes dari lancip conthong es dhung-dhung (baca /u/ seperti dalam kata {balung}) atau ‘es-puter’ yang dijajakan dengan sepeda onthel bergerobak biru itu; yang kemana-mana tergantung sebuah bendhe di stangnya, yang bahkan keluarga-keluarga anak-anak itu di rumah yang telah ‘dewasa’ pun (selalu) rindu pada getaran pencon es krim ini; yang mengingatkan keluarga-keluarga manusia kepada samudera-susu (santen di es puter sebagai pengganti susu) yang diputar dengan mandhara-giri, yang tak bukan tak lain ya dengan conthong semesta, kemudian menghasilkan cucuran air kehidupan.

Air-sucinya ibu-suci.

Kedatangannya selalu ditunggu, dirindukan; bahkan hingga sesore-bendhe kadang si es dhung-dhung (es-puter) tak juga muncul.

Esok harinya, penjaja es puter terendus kedatangannya; seperti kebiasaan anak-anak yang mampu memilah-mendengarsuara bendhe reyog dhodhog Gunungkidulan di antara suara-suara lain. Berkat suara bendhe yang merambat dari kejauhan. Dari sebalik gunung kecil (giri).

Mereka nyicil membayangkan pencon es-puter conthong yang mbendhe membasahi mulutnya. Yang memusat; bolong di tengahnya.

Bendhe yang pencon. Meresap airnya ke kedalaman diri.

[WG]

Facebook Comments Box

Pos terkait