IPM Gunungkidul Terendah se-DIY, Tapi Bukan Berarti Buruk

Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul 2011-2019. Dok: BPS GK, BPS Pusat.

IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Gunungkidul pada tahun 2019 masih di peringkat terendah se-DIY, tapi bukan berarti capaian pembangunan Gunungkidul buruk. Nilainya di antara wilayah lain memang di peringkat paling buncit, namun bila melihat besaran capaiannya masih tergolong sebagai wilayah berkategori IPM sedang.

Salah satu indikator yang jamak digunakan untuk mengetahui hasil pembangunan suatu wilayah (kabupaten/kota/provinsi) atau negara adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam bahasa internasional disebut Human Development Index (HDI). Apa itu IPM? Adalah angka yang mengukur pencapaian pembangunan suatu wilayah/daerah dalam 3 dimensi dasar pembangunan, yaitu: kesehatan, pendidikan, dan pendapatan.

Mengapa IPM dipakai sebagai ukuran penting? Karena pencapaian pembangunan pada dasarnya adalah untuk pembangunan warganya. Tujuan pembangunan adalah untuk manusia. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Pembangunan manusia menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan, bukan alat dari pembangunan. Menurut UNDP, tujuan utama pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan rakyat untuk menikmati umur panjang, sehat, dan menjalankan kehidupan yang produktif. Karena itu, pembangunan manusia didefinisikan sebagai proses perluasan pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choices).

IPM menggambarkan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Penggunaan IPM sebagai indikator capaian pembangunan ini diperkenalkan oleh UNDP pada tahun 1990 dan dipublikasikan secara berkala dalam laporan tahunan Human Development Report (HDR). Sekali lagi, IPM dibentuk oleh 3 (tiga) dimensi dasar: a. Umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life), b. Pengetahuan (knowledge), dan c. Standar hidup layak (decent standard of living).

Bagaimana indikator IPM di Gunungkidul? Hasil hitungan BPS Kabupaten Gunungkidul, IPM Kab Gunungkidul terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2011 tercatat nilainya mencapai 64,83, pada tahun 2015 mencapai 67,41, dan pada 2019 mencapai 69,96.

Bagaimana dengan nilai IPM di wilayah tetangga dalam lingkup DIY? Nilai IPM rata-rata DIY tercatat sebesar 79,99. Nilai IPM Kota Yogya mencapai 86,65, Kab Sleman 83,85, Kab Bantul 80,01, dan Kab Kulonprogo 74,40. Dua kabupaten tercatat memiliki nilai IPM di bawah rata-rata capaian IPM yang dihitung dalam lingkup wilayah provinsi.

Apa makna capaian nilai IPM Gunungkidul yang menduduki peringkat terakhir dalam lingkup provinsi? Apakah IPM-nya paling jelek, apakah capaian IPM-nya buruk dibanding wilayah lainnya? Eitss, tunggu dulu! Sebaiknya nggak buru-buru men-cap pembangunan yang dilakukan pemda gagal.

Untuk melihat capaian IPM antar wilayah dapat dilihat melalui pengelompokkan IPM ke dalam beberapa kategori, yaitu:

  • IPM < 60 : IPM rendah
  • 60 IPM < 70 : IPM sedang
  • 70 IPM < 80 : IPM tinggi
  • IPM 80 : IPM sangat tinggi.

Capaian nilai IPM Gunungkidul dari tahun 2011 sampai 2019 termasuk kategori sedang. Dalam lingkup provinsi, Gunungkidul bersama Kulonprogo tergolong dalam kategori sedang, sementara 3 wilayah lainnya (Kota, Sleman, Bantul) sudah masuk ke peringkat tinggi.

Lantas, apa makna capaian tersebut? Capaian sedang atau rendah pun tidak lantas bermakna kontras sebagai buruk apalagi dianggap nista atau aib. Nilai IPM menjadi sesuatu yang positif apabila kita bisa menerimanya sebagai “cermin” capaian kondisi pembangunan yang telah, sedang, dan akan terus dilaksanakan. Capaian tinggi yang telah diraih wilayah lain dapat menjadi contoh “praktik baik” pembangunan untuk diambil kemanfaatannya untuk wilayah kita.

Agar meluaskan cakrawala pandang, ada baiknya kita juga melihat capaian nilai IPM di kabupaten/kota/provinsi lainnya, sehingga kita dapat mengetahui bahwa ada wilayah kabupaten/kota/provinsi lain yang justru sedang berupaya keras meningkatkan laju pembangunan karena capaian IPM-nya ternyata masih di bawah capaian IPM Gunungkidul. (Lihat infografik IPM 2014 Provinsi di Indonesia).

IPM per Provinsi pada tahun 2014. Dok: BPS Pusat.

Melihat laju capaian IPM beberapa provinsi dan beberapa negara juga menunjukkan bahwa Indonesia juga sedang berjuang keras untuk terus meningkatkan laju pembangunan dan pemerataan pembangunan ke seluruh wilayah.

Bagi kita sebagai anggota masyarakat, apa makna angka imajiner bernama IPM itu? Capaian dan peningkatan IPM tersebut menunjukkan: 1. Bahwa angka harapan hidup di Gunungkidul semakin membaik, semakin baik mengakses layanan kesehatan (tentunya fisik dan mental) agar hidup sehat. 2. Bahwa kualitas pendidikan formal warga Gunungkidul juga semakin membaik, semakin baik akses layanan pendidikan formal dan PLS tentunya. 3. Semakin membaiknya perolehan pendapatan warga untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs lho ya, kalo aneka pepinginan ya jelas nggladrah).

Capaian IPM dan laju pertumbuhan IPM menunjukkan indikator yang mengembirakan. Namun demikian hal ini bukan berarti tidak ada perkara atau masalah. Kalau menengok angka kemiskinan, nilai P1 dan P2, dan juga indeks gini yang kita bahas kemarin, maka kita punya PR besar yang mesti kita garap. Yaitu tidak lupa pemerataan pembangunan ke seluruh wilayah dan mengakses semua masyarakat tanpa sekat sektarianisme dan primordialisme. Memeratakan pembangunan dan subjek pembangunan tanpa emban cindhe emban siladan. Pemerataan pembangunan tanpa memandang subyek dan sasaran berdasarkan latar belakang pendidikan, pekerjaan, agama, priyayi atau masyarakat biasa.

***

Referensi:

  • Booklet Indikator Sosial Strategis Kabupaten Gunungkidul, BPS Kab Gunungkidul, 2020.
  • Indeks Pembangunan Manusia (Metode Baru), BPS Pusat, 2015.
Facebook Comments Box

Pos terkait