Rumah Kosong

Rumah kosong. Foto: Iwan.

Bangunan itu kosong. Sejak 12 tahun menjadi warga Negeri Kahyangan, saya tak sempat kenal dengan penghuninya. Hanya sekilas mendengar cerita dari para tetangga bahwa penghuninya, dulu, adalah sosok yang hebat. Beliau tokoh masyarakat di zamannya namun menjadi korban politik nasional.

Rumah itu kosong…

Pagi ini, ia mengajak mengenang masa silam. Tentang cerita panjang pertarungan politik yang kompleks pada 60-an. Tentang kekejaman yang dilakukan penuh senyuman. Tentang gua vertikal yang jadi tempat jagal oleh “para pemenang”.

Rumah itu kosong…

Ia mengingatkan 13 tahun lalu, saat selama dua minggu aku tinggal sementara di rumah seorang ibu. Beliau bercerita bahwa suami pertamanya diciduk dan hilang tak tahu entah di mana. Ia lalu menikah dengan adik iparnya.

Rumah kosong itu mengingatkan pada Pak Cip, seorang sepuh yang menjadi pesakitan menghuni Nusakambangan selama 16 tahun tanpa pengadilan. Giginya gemertak ditinggal pergi istri tercinta ke pelukan laki-laki “penolongnya.”

Rumah kosong belakang rumah itu juga mengingatkan tigapuluhan tahun silam. Saat aku berkerabat denganĀ  para pakdhe yang kemudian menjadi saudara-saudaraku. Mereka sudah sepuh dan anaknya yang masih kecil-lecil. Konon, mereka pulang dari Pulau Buru dan menikah di usia setengah tua. Mereka pintar bertani. Ada yang ahli tusuk jarum. Mereka rajin ke beribadah dan gemar mendalami buku-buku kerohanian.

Rumah kosong itu mematri kembali bahwa akhir September tak selalu ceria. Ia justru mengingatkan luka. Mengingatkan ketika ada tangan-tangan tak kelihatan yang tega meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Ia pun menegaskan bahwa politik sesungguhnya penuh intrik.

Rumah kosong itu mengajak melihat kembali aneka produk budaya yang terus direproduksi dan melegitimasi pembantaian agar tampak normal. Itu semua semakin mengotori ingatan masa kanak-kanak.

Rumah kosong itu mengingatkan bahwa rekonsiliasi tak mudah dijalani oleh manusia kosong nurani.

***

Facebook Comments Box

Pos terkait