Klana Dhusta

Topeng, seperti halnya wayang: hidup!

 

Bukan kah kehidupan dan kematian itu tidak hanya bergantung pada penggolongannya: benda-hidup atau benda-mati? Kehidupan dan kematian juga bergantung pada ‘siapa’ dan ‘apa’ yang menggerakkan atau membekukan benda-benda; ‘siapa’ dan ‘apa’ yang mengisi atau melenyapkan roh (anima) benda-benda. Barangkali termasuk Topeng Klana Sewandana ciptaan Sujiman dari Bobung Pathuk Gunungkidul di Balai Kota Surakarta pada malam itu (Sabtu, 6 Juli 2019) di acara tahunan International Mask Festival (IMF) yang mengusung konsep “pertunjukan seni topeng dan pameran kerajinan topeng”: tampak begitu hidup melakonkan karakter sang tokoh cerita; menggantikan wajah sang penari.

Kepada saya sesaat sebelum pementasan, Yestriyono, Sang Penata Tari, sekaligus pemeran Klana Sewandana malam itu, mengatakan bahwa Topeng Klana ciptaan Sujiman benar-benar hidup, benar-benar berkarakter. Ia, sebagai penari profesional, yang telah mengenal seni topeng dan tari topeng begitu dekat, tak bisa menahan decak-kagumnya. Ia tak sabar ingin segera membuktikannya. Memang, Sujiman menciptakan topeng itu bukan tanpa wewaton. Sebelum berkarya, ia mendasarinya terlebih dulu dengan laku-prihatin. Meskipun setelah saya bertanya kepada Pak Sujiman beliau pun tak benar-benar tahu: apakah kuatnya karakter Topeng Klana Sewandana ciptaannya itu sebagai buah dari laku-prihatinnya atau bukan. Ia hanya mencoba menceritakan apa-adanya.

Pak Sujiman adalah penanggung-jawab Sanggar Seni “Ngesti Budaya” Tari-Wayang Topeng Bobung Pathuk Gunungkidul. Sujiman kapiji menjadi pengasuh Sanggar Seni Tari-Wayang Topeng Bobung terhitung dua tahun. Dulunya, Sanggar Seni Tari-Wayang Topeng Bobung diasuh oleh Mbah Adi Sugiman, yaitu satu-satunya leluhur Bobung pelaku dan pewaris seni ini. Tari-Wayang Topeng merupakan peninggalan-beliau yang beberapa waktu tidak dilestarikan. Sebelumnya, kegiatan Tari-Wayang Topeng Bobung tidak berjalan. Oleh Sujiman Tari-Wayang Topeng Bobung diramaikan kembali. Sekarang beberapa undangan pementasan hadir dan dapat berjalan. Termasuk pementasan malam itu, malam kedua International Mask Festival (IMF), Sujiman mendapat undangan pentas secara langsung dari panitia kegiatan tanpa melalui Dinas Kebudayaan Gunungkidul. Namun karena terbatas durasi pementasan (kurang lebih 30 menit) dan biaya produksi serta format penyajian penggalan-cerita padat (fragmen), maka Sujiman membawa tim produksi sejumlah 19 sudah termasuk penari (12) dan  penabuh (7).

Pak Sujiman: Penanggung Jawab Sanggar Seni Tari Wayang Topeng Bobung dan Marsilan: Sekretaris
Pak Sujiman: Penanggung Jawab Sanggar Seni Tari Wayang Topeng Bobung dan Marsilan: Sekretaris

Sujiman memilih fragmen berjudul: “Klana Dhusta”. Fragmen Klana Dhusta merupakan penggalan cerita Panji sebelum Raden Panji dan Dewi Sekartaji melaksanakan dhaup. Diawali dengan adegan di Bantarangin: Klana Sewandana dihadapkan oleh Sang Patih dan bala-tentara raksasa dalam sebuah pisowanan-agung. Dalam adegan ini Klana Sewandana gandrung-gandrung kepada salah satu bala-tentaranya, yang ia-kira Dewi Sekartaji. Begitu menginginkannya Klana Sewandana kepada Dewi Sekartaji, maka ia hendak nglurug ke Jenggala: berencana ndhusta Sekartaji dari tangan Panji, dari Jenggala. Adegan selanjutnya: Dewi Sekartaji dan Panji Asmarabangun sedang andom-andum asmara di taman kraton. Ketika Panji lengah, Sekartaji coba kadhusta (dilarikan) oleh Klana. Mengetahui keadaan ini, Panji segera mencegah. Terjadilah dredah (peperangan) antara Panji dengan Klana Sewandana beserta bala-tentara raksasa. Kala Panji Asmarabangun sibuk berperang melawan bala-tentara raksasa, Klana Sewandana berhasil ndhusta Dewi Sekartaji pergi dari Jenggala.

Begitu lah sajian fragmen penggalan cerita Panji malam itu. Di acara-acara lain, Sanggar Seni “Ngesti Budaya” Tari-Wayang Topeng Bobung menyajikan cerita yang berbeda. Sujiman menerangkan bahwa cerita apa yang disajikan bergantung siapa yang nanggap. Ada kalanya si penanggap adalah orang luar Indonesia (misalnya Perancis dan Korea) yang menginginkan suatu cerita tertentu maka Sujiman akan mempersiapkan cerita itu. Paling sering, Sujiman menyodorkan naskah kepada calon penanggap: naskah-cerita yang diminati oleh para penanggap naskah-cerita yang mana. Ia memiliki naskah-cerita seperti: Gunungsari Kembar, Panji Krama, dan lain-lain. Khusus penyajian di Balai Kota Surakarta itu Sanggar Ngesti Budaya memang mendapatkan kebebasan untuk memilih dan menyajikan fragmen Panji yang mana.

Sebenarnya umur Ngesti Budaya sudah lama, sekitar tahun 2006, hanya saja beberapa waktu ini vakum, mungkin karena kurang promosi. Embrio seni sebelum Sanggar Ngesti Budaya lahir yaitu Seni Tari Wayang Topeng yang hidup dan tumbuh di Bobung sejak tahun 60-an: dulu ada penarinya dan ada topengnya. Topeng itu peninggalan leluhur Bobung (topeng-klasik) tapi sudah rusak dan akhirnya hilang. Sujiman masih ingat, ia belajar membuat topeng dari topeng-klasik yang diwariskan itu. Tahun 65-an masih ada tokoh tari topeng yang sugeng, yaitu pak Adi Sugiman, yaitu kakak Sujiman sendiri. Ilmu tari topeng dan ilmu membuat topeng diisep oleh Sujiman dan dikembangkan sampai sekarang. Tahun 73-an para warga Bobung mengembangkan kerajinan topeng, lantas memasarkannya. Topeng Bobung pun laku. Pada akhirnya Bobung dinobatkan sebagai Desa Wisata Kerajinan Topeng. Yang dibuat oleh Sujiman beserta para pengrajin bukan hanya topeng-klasik (untuk tari) namun juga topeng-modern fungsional.

Facebook Comments Box

Pos terkait