Sujiman juga menerangkan bahwa ciri-ciri Tari Wayang Topeng Bobung amat klasik sekali. Namun di era sekarang, karena format pementasan yang beraneka warna, maka ditambahkan lah unsur garap baik di segi tata-tari maupun tata-iringannya. Karena, menurut Sujiman, jika sajian Tari Wayang Topeng Bobung benar-benar klasik maka susah dinikmati oleh kebanyakan penonton milenial. Yang ikut cawe-cawe untuk nggarap atau nyanggit Tari Wayang Topeng Bobung adalah Yestriyono Pilianto (Panggang). Alasannya: setelah Sujiman bertugas sebagai penanggung jawab sanggar, sementara penata-tari yang ia kenal adalah Yestri itu, dan penata-iringan adalah Muchlas, maka beliau mengajak mereka untuk menggarap Tari Wayang Topeng Bobung. Meskipun demikian, Tari Wayang Topeng Bobung versi klasik masih ada. Jika sewaktu-waktu diminta untuk dipentaskan maka Sujiman siap. Permintaan para pandhemen dari luar negeri justru yang versi klasik. Ditambah lagi penelitian-penelitian Tari Wayang Topeng Bobung (oleh ISI, UNY) tentu yang versi klasik, bukan garap. Pada akhirnya untuk urusan garap/sanggit di beberapa pementasan Sujiman memercayakannya kepada Yestri.
Menurut Yestri, penyajian Tari Wayang Topeng “Klana Dhusta” merupakan penggambaran bagaimana karakter kuat Klana Sewandana dalam aksi ‘mencuri-keindahan’ Dewi Sekartaji. Dari segi garap pementasan tari, sebenarnya penyajian malam itu adalah penggabungan antara para penari klasik di Bobung dengan para penari profesional yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Melihat tempat pentas yang berbentuk pendhapan dan saka-saka di Balai Kota Surakarta itu besar-besar, maka ragam lampah-ndhodhog dan lampah-ndhadhap tidak diterapkan olehnya seperti halnya ketika pentas di Bobung maupun di Yogya. Namun, meskipun demikian, bagian awal (jejer ke-1) tetap menggunakan trap wayang-orang Gaya Yogyakarta. Dapat dikatakan bahwa Tari Wayang Topeng Bobung pada malam itu merupakan gabungan dua golongan: yaitu golongan para penari profesional dan para penari rakyat tradisional. Pada dasarnya para penari rakyat tradisional Bobung itu para pengrajin topeng. Menurut Yestri: para pengrajin topeng Bobung menginginkan Topeng-Bobung ‘digerakkan’, diberi roh. Maka mereka tergugah untuk menggerakkan topeng-topeng. Lahir lah seni tari wayang topeng. Akhirnya, mereka mempunyai cerita topeng Panji dan tari wayang Panji.

Tari Wayang Topeng Bobung memang tradisi turun-temurun. Pernah Yestri menemui dan menanyakan langsung kepada tokoh pewaris Adi Sugiman kala beliau masih sugeng: Siapa pelatihnya? Jawab-beliau: “Nenek, nenek!”, hanya seperti itu. Mbah Sugi, begini Yestri menyebutnya, adalah tokoh Bobung yang amat sepuh tetapi masih kersa membimbing para pemuda untuk melestarikan Tari Wayang Topeng Bobung. Beberapa tahun ini, dalam rangka IMF, Yestri bersama Sanggar Seni Tari Wayang Topeng Bobung (mewakili Pak Sujiman) sudah melaksanakan pentas dua kali (tahun lalu di Mangkunegaran). Kala itu ia menggarap fragmen Klana dan abdinya, Bancak, atau Sembunglangu. Kegiatan awalnya memang bukan berupa pementasan tari topeng. Awalnya berupa pameran topeng Panji.
Termasuk pentas tahun lalu dan malam itu, yang utama adalah Tari Klasik Topeng Bobung bisa dipentaskan. Bagaimana caranya bisa merekrut teman-teman pemuda dan sesepuh di Bobung berbarengan dengan teman-teman penari profesional bisa melaksanakan pentas bersama. Tari topeng itu tari kerakyatan. Sepengetahuannya, tari topeng yang bersifat kerakyatan ‘diijinkan’ untuk dipentaskan di lingkungan kraton (seperti Tari Klana Topeng). Melihat sejarah topeng dan tari topeng di Bobung yang awalnya memang dari para pengrajin topeng kerakyatan, kemudian dari kreatifitas rakyat itu lahir sanggar tari-wayang topeng. Dituturkan ulang oleh Yestri: dulu Mbah Sugi pergi ke Yogya, tepatnya ke Pendhapa Tejakusuman untuk menyaksikan pertunjukan tari klana. Beliau, Mbah Sugi, hanya melihat pertunjukan Tari Klana dari kejauhan. Beliau tak belajar langsung di pendhapa (menurut ingatan saya ini mirip dengan pengalaman Rama Sas kala belajar tari di Pendhapa Pujakusuman). Kemungkinan besar, ujar Yesri, Beliau meniru ragam tari topeng di Pendhapa Teja itu kemudian menciptakan dan mengolahnya sendiri untuk menghidupkan tari-wayang topeng di Bobung. “Jaman cilik biyen, biyen ki aku nek sinau nyang Tejakusuman,” begini Yestri menirukan cerita Mbah Sugi tatkala berkesempatan berwawancara ketika Beliau masih hidup. Tetapi Yestri memaklumi, banyak ragam-gerak Tari Wayang Topeng Bobung yang berbeda dengan tari topeng gaya Yogyakarta, khususnya penamaan ragam tari seperti: trisik, tanceb, sabetan, bapangan, kambengan, dan kinantangan yang berbeda dengan ‘ragam sesungguhnya’ ketika dilakukan. Barangkali karena memang ini lah ciri tari kerakyatan: dilakukan tetapi kurang sempurna, tak begitu abai terhadap ‘kebakuan-kebakuan’. Misalnya: ragam angkat-kaki yang biasanya kaki lurus baru ditekuk, di Bobung ragam ini dilakukan dengan kaki lurus sambil menginjak-injak lantai baru diangkat. Maka, untuk kemasan pentas malam itu, Yestri dan kawan-kawan sebagai anak muda yang dimintai tolong tidak membuang ragam-ragam yang sudah ada. Ragam itu telah menjadi ciri khas dan kekayaan Tari Wayang Topeng Bobung. Toh pada akhirnya ragam-gerak Tari Wayang Topeng ciptaan Mbah Sugi diwariskan turun-temurun hingga sekarang. Yestri cenderung ragu jika ada tokoh dari arah Timur Gunungkidul yang neneka di Bobung lantas mewariskan topeng dan tari-topeng.
