Lung

Masyarakat perdesaan mengartikan ‘lung’ sebagai pucuk daun. ‘Lung’ memiliki karakter daun lebih segar dan lunak dibandingkan daun tua. Soal warna daun, lung tak mesti sama dengan daun tua. Bahkan untuk beberapa jenis, perbedaan itu amat kontras. Lung jambu citra atau mangga jenis kweni misalnya, warnanya merah marun, sementara daun tuanya berwarna hijau.

Beberapa jenis ‘lung’ biasa dikonsumsi manusia. Bahkan tak sedikit yang menjadikannya makanan favorit dan mesti ada di meja makan.

Jenis ‘lung’ yang biasa dikonsumsi manusia antara lain: manding, kelor, kacu, juga katuk.
Cara memasaknya amat sederhana. Lung yang sudah dipetik selanjutnya direbus sebentar dan siap dijadikan lalapan atau tepatnya ‘jambalan’. Lung akan terasa segar jika dimakan bersamaan dengan nasi yang panas serta sambal bawang yang pedas.

Bagi para simbah di perdesaan khususnya yang hidup di ‘nggunung’ jenis ‘lung’ yang paling dikenang dan mendapat tempat di hati mereka adalah ‘lung manding Jawa’. Bukan saja karena rasanya yang lebih segar dibanding jenis ‘lung’ yang lain, namun lebih dari itu ‘lung manding Jawa’ telah membantu mempertahankan kehidupan mereka saat malapetaka gaber terjadi di sekitaran tahun 1962-1963.

Gaber adalah ‘mangsa larang pangan’. Paceklik berkepanjangan karena kemarau berlangsung lebih lama dan adanya serangan tikus yang masif. Saat itulah Allah menyelamatkan hambanya dari kematian melalui ‘lung manding’ yang terus-menerus tersedia walau tiap hari ‘diramban’.

Almarhum bapak saya dulu pernah berkisah, bahwa orang-orang dibuat ‘gumun’ dengan ketersediaan ‘lung manding’ setiap hari.

‘Lha wong esok wes diramban, kok sore tuwuh maneh,” begitu kira-kira perkataan Bapak.

Cerita lain saya peroleh dari mertua saya, Mbok Juwok yang di pekarangannya dulu tumbuh pohon manding dengan suburnya dan tak habis-habis dipetik pucuk daunnya.

‘Lung manding’ akan dimakan dengan sedikit nasi kabluk yang sudah bau. Tak mengenyangkan namun cukup untuk bertahan hidup.

***

Lokasi: Alas Pakel, Hargosari, Tanjungsari