Masih Kujumpai Anak-Anak Muda yang Murah Hati

Memperbaiki motor yang rusak di jalan. Foto: Ninik.

Telthok, telthok, telthok… Breeees….. Hujan turun dengan derasnya, aku segera memakai jas hujan dengan tergesa-gesa. “Aduh!”, aku hampir terjatuh karena sepatu sendalku “kesrimpet” celana karetku itu. Kadang aku merasa kerepotan saat memakai jas hujan itu, bahannya sedikit lengket dan “wulet”. Untunglah aku bisa meraih tiang teras yang berada didekatku.

Setengah berlari kudekati si merah, lalu kustarter pelan-pelan meninggalkan gedung sekolah yang bercat hijau itu. Hujan deras sekali sehingga mengaburkan penglihatanku. Kaca helmku menjadi “blurek”. Kaca mataku juga ikut berembun. Jalanan gelap, anginpun bertiup sangat kencang.

Wesh, wesh, seperti Kumbakarna yang marah dan meniup “ bala wanara” saat berperang melawan Prabu Rama. Langit gelap. Aku merasa seperti memasuki dunia lain.

Meskipun demikian, kupacu terus si merah pelan tapi pasti. Aku tak boleh berhenti. Mulutku berkomat kamit seperti Mbah Dukun yang sedang membaca mantra-mantra. Bacaan Al fatihah menemaniku sepanjang perjalanan. Kepada-Nya kupasrahkan jiwa raga.

Ketika memasuki Hutan Cangkring hujan mulai reda. Tetapi aku merasa ada yang membuntutiku sejak tadi yaitu sebuah mio merah. Aku pelan, dia pelan, aku cepat, dia pun ikut cepat juga. Kutak tahu apa maksudnya.

Weeer…aku mempercepat lajuku agar bisa meninggalkannya lebih jauh. Tapi kulihat dari kaca sepionku ia terus memburuku.

Dheet…dheett…dheeet…. Tiba-tiba si merah mendadak tidak mau digas lagi. Setelah sein kiri kunyalakan akupun berhenti. Si mio merahpun ikut berhenti.

Seorang lelaki kira-kira berumur 30 tahunan, bercelana pendek dan berkaos lusuh turun dari motornya dan mendekatiku. Aku menatapnya tajam.

“Kenapa motornya, Bu?”, ia menyapaku ramah.

“Gak tahu mas”, jawabku sambil turun dari motor.

“Oh, rantainya lepas”’ katanya sambil menunjuk.

Lalu ia kembali ke motornya dan berbisik pada seorang bocah pelajar yang diboncengkannya. “Eh, di sebelah kanan dekat tikungan tadi ada bengkel to?, coba kamu tunggu sini sebentar”. Pelajar tadipun menepi.

“Ibu, tunggu di sini sebentar, ya, aku cari bengkel dulu”, katanya sambil putar arah. Aku sempat berkata, “Tidak usah mas, biar aku tuntun saja, Monggo, silahkan kalau mau terus. Jika njenengan tergesa-gesa.

“Tidak, bu, kami tidak tergesa-gesa”. Ia segera memutar arah.

Jas hujan segera kulepas dan kumasukkan ke jok motor setelah kulipat rapi.

“Maaf, ya, Dik, aku sudah mengganggu perjalananmu” aku membuka percakapan sambil duduk berdampingan dengannya. Di sebuah tumpukan kayu yang kebetulan ada di dekatku.

“Ndak apa-apa, Bu. Ibu dari mana? Tanyanya dengan menggunakan bahasa Indonesia yang kental.

“Dari Paliyan dik, kalau Adik sekolah dimana?”, Tanyaku sambil melihat baju oranyenya, tapi aku tak berhasil membaca identitas yang ada di pundaknya itu.

“Saya dari UPK Paliyan, selesai tugas PPL, mau pulang ke Playen.” Jawabnya sopan.

“Adik asli Playen?” selidikku.

“Aku asli Riau, Bu, di sini aku tinggal di rumah Bude.” Ia berbicara sambil menatapku, mungkin ia teringat dan rindu akan kampung halamannya.

“Oh, jadi Mase tadi, Pakdhemu?” tanyaku ragu. Karena dalam benakku, Si Mas tadi ke-muda-an, jika menjadi pak dhenya.

“Bukan, dia pegawainya Pak Dheku.”

Mak dheg!, hatiku berdesir, seorang pegawai?

Aku jadi ingat dengan “Mas Wiwid” seorang karyawan saat kami masih menjadi pengusaha pengepul ikan laut. Aku sering menyuruh ini itu seenakku. Kadang aku tidak mau tahu sesibuk apapun dia, semua perintahku harus segera dikerjakan.

Hem…dan sekarang aku ditolong oleh seorang pegawai? Oh, tidak!, aku duduk terdiam, dan merasa tidak enak hati. Seorang pegawai yang biasa disebut “wong cilik” ini ternyata meskipun sedikit harta tetapi “kaya hati”.

Di saat ia diutus menjemput family majikannya pun, ia masih menyempatkan diri menolong orang lain meskipun tidak pernah kenal sebelumnya.

Aku menjadi ingat akan diriku. Dahulu ketika kami masih berjaya sering berlaku semena-mena pada beberapa karyawan. Aku menyadari dan merasa menyesal bila selama ini telah berbuat sombong dan dzalim sebab harta dan kekuasaan.

Kini aku mengerti hikmahnya mengapa usaha suamiku gulung tikar. Karena kami terlalu sombong. Itulah salah satu penyebabnya.

Lamunanku menjadi buyar ketika Si Mase tadi datang beriringan dengan seorang lelaki yang tinggi besar, dan agak hitam kulitnya.

“Sebentar, ya, Bu, nanti temanku akan datang membawa peralatan”, kata lelaki gempal tadi seturun dari motornya.

Aku mengangguk lemah. Sementara itu Si Mase turut menghampiriku. Buru-buru aku berkata, Silahkan melanjutkan perjalanan, Mas, monggo, terima kasih sudah dicarikan bengkel” tanganku “njempol” , wajahku senyum semringah.

Si Mase mengangguk. Tak lama kemudian Si Mase dan Mbak PPL itu segera melanjutkan perjalanannya. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih padanya.

Tak berapa lama, Mas Bengkel satunya datang. Ia lebih muda dan sedikit kurus. Tanpa banyak bicara motorku segera dikutak-atiknya. Meskipun mereka masih muda tapi terlihat sangat trampil.

Sekitar setengah jam motorku telah selesai. Untuk memastikan hasil kerjanya, Mas Gempal mencoba motorku, sedang Mas yang satunya membereskan peralatannya kembali.

“Beres, Bu’, kata Mas Gempal sambil mengacungkan jempol seusai merasakan si merah.

“Terimakasih, ya, mas,sudah di bantu” ucapku sambil menyerahkan uang lima puluh ribuan.

“Sepuluh ribu saja, Bu, tolong yang kecil saja.” Kata Mas Bengkel.

“Sudah, ambil saja, Mas, Aku sudah senang dibantu”. Akupun meyakinkannya.

Mas bengkel menerima uangku sambil berbisik pada temannya, agar memberikan pengembaliannya. “Hanya ada tiga puluh ribu ki, Bro”, Kata Mas Gempal sambil menatap padanya.

“Sudah, ga papa, itu saja, sudah cukup”, aku menyahutnya dan menerima kembaliannya dengan rela.

Ada terbesit rasa bangga pada anak-anak muda ini. Disaat sekarang ramai zamannya klithih, mereka tidak terpengaruh sama sekali. Terbukti dia tidak mau nuthuk atau aji mumpung kepada orang yang sedang kesusahan. Dia tetap mengambil tarif yang sangat wajar, meskipun mereka harus mendatangi lokasi yang agak jauh.

Mereka bekerja secara profesional. Rela menolong sesama. Berbahagialah Gunungkidul yang memiliki putra-putra terbaiknya.

***

Facebook Comments Box

Pos terkait