“Memang hitam, pahit dan penuh sepi. Tapi setidaknya tidak ada pengkhianatan di dalam secangkir kopi”. #tengtangkopi
Sepagi mentari memancarkan sinarnya, sepagi itu pula kami sudah berkumpul di halaman kantor Dinas Pariwisata Gunungkidul. Masih pukul setengah tujuh, sambil membagikan salam kami membagi cerita kepada sesama penggemar kopi yang masih tertatih mengenalkan minuman pahit ini ke seantero Gunungkidul.
Jangan dibilang mudah bagi kami untuk bangun sepagi ini, karena mata sebagian dari pengelola dan pemilik kedai kopi di Wonosari dan sekitarnya baru terpejam paling cepat pukul dua belas malam. Ya setelah lampu kedai kami matikan, barulah sah bagi kami untuk memeluk malam.
Perhatian dari Pemerintah melalui Dinas Pariwisata Gunungkidul yang mengirimi kami surat cinta untuk belajar tentang kopi selama dua hari ditraktir piknik ke kebun kopi di Temanggung, kami sambut dengan balasan mesra. Berusaha sekuat mata melek pagi dan hadir di halaman kantor dinas ini.
Berkumpul kurang lebih 20 an orang yang sudah punya kedai kopi, dan ada pula yang bekerja sebagai karyawan kedai.
Menurut Edi, pemilik Kedai Katamata di Selang, sebetulnya ada kurang lebih 40-an kedai yang menyajika kopi asli, alias kopi dari biji. Namun hanya belasan yang menjadikan kopi sebagai menu utama minumannya. Sebagian besar kedai menu kopi merupakan pelengkap dari sajian yang ada.
Sekitar pukul 11 kami sudah sampai di Desa Gesing, Kabupaten Temanggung. Lalu transit di Balai Desa Gesing diterima oleh Pak Bambang, Ketua Gapoktan setempat. Ternyata ada penyambutan kecil untuk rombongan dari Gunungkidul ini.
Ibu Kepala Dinas Pariwisata Gunungkidul yang naik mobil sendiri juga sudah sampai dan bergabung dengan rombongan. Ya, perjalanan kami ini memang difasilitasi oleh Dinas Pariwisata Gunungkidul, dalam program pengembangan usaha kreatif untuk sektor kuliner kopi. Sebelum orientasi lapangan ini kami menerima materi dalam kelas selama dua hari tentang operasional sebuah kedai kopi.
Satu persatu yang diawali dengan tuan rumah menyampaikan kata sambutan, lalu disampaikan pula sekilas mengenai faktor-faktor yang membentuk cita rasa kopi.
Menurut Pak Bambang, cita rasa kopi ini 60 persen ini ditentukan oleh faktor cara budidaya (bibit, tanah, tanaman sekitar, pemeliharaan), 30 persen oleh paska panen, dan 10 persen dari cara menyeduhnya.
Jadi jika faktor budidaya ini diperhatikan betul, maka paling tidak biji kopi yang baik akan didapat. Kebiasaan petani tradisional di Temanggung yang memiliki tota luas lahan kopi 2500 hektar, adalah memanen semua biji, tanpa disortir biji yang sudah matang atau masih mentah.
Biji yang sudah matang berwarna merah seperti buah talok, sementara yang mentah berwarna hijau sampai oranye. Kebiasaan memanen semua buah ini akan menurunkan hasil kopi biji, karena pedagang menghargainya dengan rendah. Dan cita rasa yang terbentuk tidak maksimal.
Melalui Gapoktan Desa Gesing, perlahan-lahan kebiasaan ini dipupus, petani didorong hanya memanen biji yang sudah benar-benar matang.
Kami lalu dibawa ke kebun yang tidak jauh dari perkampungan, cukup berjalan kaki melewati jalan setapak dari batu hitam. Rindangnya pepohonan membuat perjalanan yang menanjak tidak terasa.
Kebun kopi di Desa Gesing ini seluas total 500 hektar yang terbagi menjadi kebun kopi rakyat dan kebun kopi perhutani. Hasil panenan kebun kopi Perhutani ini ditampung oleh PT Rejodani dalam bentuk panenan biji merah. Sementara panenan dari lahan kopi pribadi dijual oleh masing-masing pemilik.
Pak Sarminto, pendamping dari Gapoktan memperagakan kepada kami teknik sambung pucuk untuk meremajakan pohon kopi. Memang yang kami lihat di kebun ini pohon kopi dari jenis robusta terlihat sudah tua. Tingginya kurang lebih hanya 1,5 meter.
“Dahulu pohon kopi adalah songgo langit” kata Pak Sarminto untuk menggambarkan tanaman kopi dibiarkan tinggi menjulang. Akibatnya sulit untuk memanen bijinya. Kemudian para penyuluh pertanian mengedukasi petani untuk memangkas pohon di ketinggian 80 cm, sehingga percabangannya ke samping.
Lalu. Pak Sarminto memperagakan teknik sambung pucuk, salah satu teknik paling cepat agar pohon kopi kembali fresh dan produktifitasnya tinggi. Cabang yang vertikal dipotongnya dengan gunting khusus, lalu diambilnya pucuk ranting kopi dari tanaman lain yang klonnya atau varietasnya lebih bagus dan muda.
Cabang yang mau disambung kemudian dibelah seperti huruf V lalu dimasuki cabang dari klon yang bagus tadi, kemudian diikat dengan rafia. Sambungan baru ini kemudian ditutup dengan plastik es agar tidak kena air.
“Sebulan kemudian jika sudah tumbuh tunas berarti sambungan berhasil”, terang Pak Sarminto.
Mendekati jam 12, kami menuju ke Eri Coffee, milik Bu Eri, yang biji kopinya sempat memperoleh juara 1 kopi robusta terbaik se Indonesia pada tahun 2014. Sambil makan siang beberapa peserta belanja biji kopi yang sudah digoreng, ada pula yang membeli biji hijau.
Dengan kunjungan ke kebun ini para pengelola dan pemilik kedai kopi di Gunungkidul menjadi paham betul perjalanan biji kopi dari bentuk tanaman sampai tersaji di meja kafe. Pemahaman ini penting agar dalam menyajikan kopi kepada konsumen terjalin suatu cerita yang menjadi nilai tambah.
Konsumen pun menjadi bisa lebih menghargai.
****