Inilah Asal-Muasal Reog Kaprajuritan Gunungkidul

Pertunjukan Reog Mega Budaya Dusun Ngringin Desa Bejiharjo. Foto: Tugi/SG.

Apa Itu Reog Kaprajuritan?

Reog Kaprajuritan, atau ada yang menyebutnya Reog Prajuritan, Reog Dhodhog atau Dhodhogan, atau Reog Gagrak Gunungkidulan adalah salah satu pertunjukan kesenian rakyat tradisional yang masih eksis di pelosok perdesaan Gunungkidul. Ciri khas paling menonjol reog kaprajuritan adalah pada adegan tarian yang meniru gerak kegagahan baris-berbaris pasukan karaton dengan iringan gamelan monotonik sepanjang pertunjukan. Iringan berasal dari suara bendhe (3 nada), kecrek, dan bedhug/dhodhog, dan ada kelompok yang menambahnya dengan angklung.

Bacaan Lainnya

Kelompok Reog Kaprajuritan sampai saat ini masih eksis dan bertahan di perdesaan Gunungkidul. Masih ada warga yang terus meng-hidup-hidup-i kesenian ini di tengah pesatnya perkembangan reog garapan kreasi baru atau maraknya reog Gunungkidul bercorak “ala Ponorogo”. Beberapa contoh desa/dusun yang mempertahankan reog kaprajuritan antara lain: Reog Gadungsari Wonosari (yang selalu “sowan” ke resan Gadhung Mlaten dulu sebelum pentas), Reog Kajar, Reog Gelung, Reog Grogol, Reog Ngringin, Reog Sokoliman, Reog Karanganom, Reog Wiladeg, Reog Ngricik, Reog Gaduhan Tanjungsari, dan lain-lain.

Hasil penelitian Dwi Cahyono (tugas akhir Seni Tari ISI Yogyakarta, 2018) terhadap Reog Mega Budaya Dusun Ngringin Bejiharjo Karangmojo memaparkan, bahwa gerakan tari kelompok reog ini didominasi oleh apa yang disebut “gerak lampah macak”. Gerak lampah macak pada dasarnya adalah peniruan (imitasi) dari gerak lampah macak yang ada pada 10 bregada Karaton Yogyakarta, yaitu Prajurit Nyutro, Prajurit Wirabraja, Prajurit Dhaeng, Prajurit Patangpuluh, Prajurit Jagakarya, Prajurit Prawiratama, Prajurit Ketanggung, Prajurit Mantrijero, Prajurit Bugis, dan Prajurit Surakarsa.

Dalam kenyataan, ada perbedaan antara gerak lampah macak pada Reog Kaprajuritan dengan gerak lampah macak pada sepuluh bregada prajurit kraton. Dwi menyebutkan, perbedaan tersebut sepenuhnya karena faktor kemampuan masyarakat pedesaan dalam menirukan gerakan para prajurit karaton. Mereka melakukan proses peniruan berdasarkan pengamatan gerak prajurit karaton secara terbatas pada saat ada prosesi kirab di karaton, saat prosesi perayaan Garebeg Maulud, dan prosesi-prosesi karaton lainnya yang menjadi daya tarik masyarakat.

Terkait adanya perbedaan gerak lampah macak ini, maka dapat diduga bukanlah karena semata faktor keterbatasan kemampuan masyarakat perdesaaan untuk meniru gerakan para prajurit istana. Perbedaan ini justru merupakan proses alamiah yang sudah disadari, dan justru nampaknya disengaja oleh para gegedhug kesenian reog yang esensinya menjadi sutradara pertunjukan kesenian rakyat yang merdeka dari intervensi pihak penguasa. Mereka memang sengaja tidak menirukan gerakan 100% persis gerak prajurit karaton, karena mereka memahami bahwa kesenian rakyat pasti disesuaikan dengan konteks keperluan hiburan rakyat. Esensi hiburan rakyat paling mendasar tentunya adalah menjadi pemenuhan hiburan rakyat. Menjadi penyegar bahkan menjadi obat manjur penyembuh kepenatan juga duka lara permasalahan kehidupan yang sehari-hari dihadapi masyarakat.

Benar apa yang diungkap Andi Setiono dkk (dalam Ensiklopedia Yogyakarta, 2002), tarian rakyat merupakan cerminan ekspresi dari masyarakat yang hidup di luar istana atau dari kalangan rakyat biasa. Tari rakyat bersifat spontan, ekspresi asli masyarakat, yang dibentuk dan digunakan untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri. Karena itu, bisa dipahami gerakan baris reog kaprajuritan pada akhirnya juga mesti diolah oleh para pemimpin reog bukan menjadi baris militer, tetapi gerak baris tarian rakyat. Seragam reog sebagai kesenian rakyat toh tidak harus sama persis tiruannya dengan seragam prajurit karaton. Demikian pula dengan ketersediaan alat musik pengiringnya tentu berbeda.

Isi Cerita Reog Kaprajuritan

Tari Reog Prajuritan yang berkembang di Yogyakarta adalah pertunjukan yang dilakukan oleh penari-penari di desa secara berkeliling. Menurut Sumaryono dkk (dalam Ragam Seni Pertunjukan Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta, UPTD Taman Budaya), pertunjukan ini menceritakan kisah ketika Sri Sultan Hamengku Buwono I yang hendak mengangkat panglima perang bersenjata pedang untuk memimpin tentara rakyat. Gelar pasukan yang dipimpin Sri Sultan Hamengku Buwono I kemudian menjadi sumber cerita dalam pertunjukan Reog Prajuritan yang berkembang di Yogyakarta hingga saat ini.

Menurut tradisi pada masa kerajaan dahulu, terdapat kebiasaan memilih panglima perang dengan cara diadu. Mereka yang menang berhak untuk menjadi pemimpin. Karena itu, hasil peniruannya dalam tari Reog Prajuritan terdapat adegan perang-perangan yang menggambarkan sebuah proses pemilihan panglima perang seperti yang terjadi pada masa itu. Nama Kaprajuritan dalam istilah Reog diambil dari tema sajian yang lebih fokus pada masalah persiapan prajurit sebelum menuju medan perang.

Tari Reog Kaprajuritan di Gunungkidul pada umumnya mempunyai ciri khas 9 (sembilan) motif gerak, yaitu: lampah macak, tanjak piyak, sembahan, iris tempe, pong, jogetan angkatan sikil, oyok-oyokan, sirigan, dan nitih. Semua motif gerak tersebut sederhana, mudah ditarikan oleh siapa saja, namun unik dan menjadi ciri khas yang umum dari tari Reog Kaprajuritan di Gunungkidul. Kesembilan motif gerak tari tersebut juga masih menjadi ciri khas gerak pada kelompok Reog Mega Budaya Ngringin, Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul.

Sekuel Adegan Reog Kaprajuritan

Secara umum, tarian Reog banyak tersebar di berbagai daerah di pulau Jawa khususnya di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Pada saat ini, di wilayah Gunungkidul juga telah tumbuh subur kelompok-kelompok kesenian reog meniru motif Reog Ponorogo dan Reog Kaprajuritan Kreasi Baru ataupun Reog Kreasi Baru yang berisikan legenda lokal di mana kelompok reog tersebut berada. Bukan hal yang asing lagi, ada pertunjukan reog yang menceritakan Babat Alas Nangka Dhoyong, Babat Desa Giring, Perjuangan Nyi Matah Ati Sambernyawa, bahkan sampai Dumadine Desa Pucanganom Rongkop misalnya.

Namun, untuk tarian Reog Kaprajuritan ini yang jelas masih memiliki banyak penggemar di pelosok-pelosok perdesaan Gunungkidul. Reog Kaprajuritan masih setia menjadi sarana prosesi penjemput gunungan dari Balai Dusun ke Balai Desa saat Merti Desa, melunaskan nazar warga yang menanggap, juga menjadi hiburan dan pengikat kebersamaan saat acara reuni warga perantauan, dan sebagainya.

Tari Reog Kaprajuritan yang ada di Gunungkidul memiliki beberapa bagian atau bisa disebut babak dengan durasi waktu pementasan komplit kurang lebih empat jam, namun untuk saat ini durasi waktu pentas menyesuaikan situasi dan kondisi keperluan acara atau pihak penanggap. Hasil studi lapangan dari pementasan Reog Kaprajuritan Mega Budaya dari Ngringin, Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul memiliki 4 bagian, yaitu: 1. Kolosal (semua peraga reog menari secara bersamaan), 2. Keprajuritan, 3. Jaranan, dan 4. Bregada.

Properti Pertunjukan

Properti yang digunakan dalam tari Reog Kaprajuritan yaitu pedang, tombak, jaran kepang, dan payung. Penari yang menggunakan properti pedang yaitu keprajuritan, jaran kepang digunakan penari jaranan, dan tombak digunakan bregada, instrumen yang digunakan untuk mengiringi tari Reog Prajuritan ini, yaitu bende, jedor, kendang, dan kecer. Tari Reog Prajuritan biasanya pentas pada saat acara festival Reog Kaprajuritan, bersih Desa, dan Nadzar.

Sesaji hanya digunakan pada saat Nadzar saja, sesaji yang dipakai berupa beras, gula Jawa setangkep, kupat, dan kekancingan (amplop yang berisikan uang), semua sesaji itu disajikan dalam piring.Tempat PementasanTari Reog Kaprajuritan biasanya dipentaskan di tanah lapang alun-alun Balai Desa, di halaman Balai Dusun, di tanah lapang dekat kali/sumber air sewaktu pentas bersih kali, atau di halaman rumah penduduk yang menanggap rombongan reog karena suatu nazar. Para penonton pentas Reog Kaprajuritan pada umumnya langsung membuat lingkaran yang mengitari kelompok reog tersebut pentas atau beber.

Reog Kaprajuritan sangat jarang pentas pada panggung atau panggung dengan atap, kecuali pada pentas untuk festival/kejuaraan reog. Pentas reog di atas panggung pada umumnya menjadikan kedekatan emosi dengan para penonton menjadi berkurang, sehingga pentas menjadi sekadar tontonan yang berkurang kedekatan hatinya dengan para penontonnya.

Idola Pentul dan Tembem atau Bancak dan Doyok

Pada saat pentas atau beber sering dijumpai ibu-ibu yang menggendong anaknya datang ke pemeran Pentul atau Tembem. Ia akan meminta Si Pentul atau Si Tembem atau Si Bancak dan Si Doyok untuk mengelap si anak dalam gendongan dengan aneka ujub/nazar. Biasanya Si Ibu bernazar agar anaknya menjadi orang yang “sembada” di kemudian hari.

Sekilas Tentang Reog Mega Budaya Ngringin Bejiharjo

Kelompok Seni Reog Mega Budaya Ngringin yang menjadi studi lapangan skripsi Dwi Cahyono ini merupakan salah satu reog kaprajuritan atau reog gagrak Gunungkidul yang sudah ada sejak 1970-an. Group reog ini sebenarnya sudah mengalami perkembangan pesat dalam gerak tarian dan adegan pementasan berikut pakaian dan iringan gamelannya. Dulu grup reog ini masih standar atau pakem gagrak lawas alias jumlah peraganya tidak sebanyak saat ini, seragamnya masih standar seadanya belum seramai dan semewah saat ini. Yang jelas nyeker (tidak pakai sepatu), prajuritnya pakai pakai kaos oblong Jupiter putih berselempang selendang, mahkota ada wulu pitik, ada yang pakai kaca mata belor itu sudah top banget.

Tahun berapa tepatnya kelompok reog ini mulai dibentuk belum terinformasi dengan gamblang. Saya masih ingat nonton pertunjukan kelompok ini ketika masih sekolah SD (1977-1983). Ketika dulu ada rasulan, sekolah auto bubar, para guru pun maklum. Kepala SD waktu itu Mbah Marto Sukardijo yang juga dalang wayang beber, beliau membolehkan murid bubar untuk nonton reog. Beberapa para pegiat reog ini yang saya kenang adalah: swargi Mbah Munar Salamun (sesepuh reog, sehari-hari sebagai tukang cukur di Pasar Wonosari), swargi Mbah Karso Pandiyo (sesepuh, petani), Mbah Adi Ngiso (sesepuh reog, petani dan tukang batu), swargi Wo Karwito (petani dan tukang batu), Lek Kunari (juru kunci Kali), Lek Tugino (petani/tukang kayu), Lek Genda (petani/tukang batu), Mas Tumiyo (pegawai Puskesmas), Mas Gandung (pernah kuliah Faperta UGM). Peraga reog yang segenerasi dengan saya adalah: Mas Sungkowo (pernah kuliah FPOK IKIP), Mas Sukir (pedagang), Mas Bambang Duhkita, Kang Sukar, Kang Pur Bagong, dll.

Catatan Akhir

Referensi publikasi tentang Kesenian Reog Kaprajuritan atau Reog Gagrak Gunungkidul ternyata masih belum begitu banyak tersedia. Berbeda dengan Kesenian Jathilan dan Reog Ponorogo yang sudah lebih banyak yang meneliti dan mempublikasikannya. Karena itu, tulisan awal ini masih sebatas sebagai pemantik agar semakin banyak yang menambahkan informasi dan keterangan, serta memberikan catatan berdasarkan kajian publikasi yang dimiliki.

****

Referensi Pokok: Dwi Cahyono, Obah Mosik: Tugas Akhir Sarjana Seni, Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Yogyakarta, 2018.

Bacaan Lanjut:

Andi Setiono (ed). 2002. Ensiklopedia Yogyakarta. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.

Sumaryono, Kuswarsantyo, dan Nanang Arizona. Ragam Seni Pertunjukan Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: UPTD Taman Budaya.

Facebook Comments Box

Pos terkait