
Tahun ini 2017 di Gunungkidul masih tercatat ada 42 orang dengan gangguan jiwa dalam kondisi terpasung. Irfan Ratnadi, Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinsos Kabupaten Gunungkidul menerangkan, pemasungan ini merupakan tindakan keterpaksaan yang dilakukan oleh keluarga dengan alasan agar ODGJ tidak meninggalkan rumah atau tidak mengamuk. (Kompas.com, 11/9/17)
Irfan menambahkan, sebelumnya terdapat 46 ODGJ yang dipasung. Kemudian berdasarkan hasil kerja Tim Bebas Pasung Kabupaten dan Provinsi, terdapat 4 penderita gangguan jiwa yang dilepaskan dari pasung. ODGJ yang dibebaskan dari pasung mendapatkan perawatan di RS Ghrasia Sleman. Saat sudah pulih, mereka dipulangkan ke rumah, dan dijamin melalui obat jalan secara rutin. Semua biaya perawatan ditanggung oleh pemerintah melalui skema sistem jaminan kesehatan masyarakat (BPJS/KIS).
Namun, Irfan juga tidak mengelak adanya fakta, bahwa program bebas pasung di Gunungkidul belum sepenuhnya dapat dilaksanakan secara tuntas. Temuan lapangan timnya mendapati, masih ada anggota keluarga yang menolak program bebas pasung.
Pernah suatu saat tim melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada salah satu keluarga ODGJ untuk dilakukan pelepasan pasung dan memberikan pengobatan dan perawatan dengan biaya ditanggung oleh pemerintah, tetapi pihak keluarga justru menolak. Mereka beralasan, keluarga menghadapi dilema tidak mau berpisah, karena harus dirawat di rumah sakit terlebih dahulu.
Logikanya, alasan yang disampaikan salah satu keluarga tersebut memang terasa sumir. Mengapa? Karena program bebas pasung bukanlah sekadar program gagah-gagahan pemerintah agar populer dan terlihat peduli kepada rakyat. Program bebas pasung sesungguhnya adalah program memanusiakan manusia (nguwongke uwong). Ini adalah amanat konstitusi untuk pemenuhan hak-hak hidup warga negara. Mereka yang mengalami kondisi disabilitas mental (jiwa) juga berhak atas penghidupan yang layak. Baik negara dan warga negara juga sama-sama bertanggung jawab untuk mengupayakan penghidupan yang layak bagi mereka.
Tetapi, kasus penolakan inilah sebuah fakta. Sebuah realitas yang masih terjadi, sekaligus menjadi tantangan bagi pemerintah dan bagi masyarakat Gunungkidul. Lantas apakah penolakan oleh masyarakat (dalam hal ini justru oleh keluarga yang merawat ODGJ) menjadi sebuah pelanggaran atau dapat menjadi delik aduan dengan segala konsekuensi hukumnya? Tentunya tidak perlu sampai sejauh ini.
Edukasi Kesehatan Jiwa Masyarakat adalah Kata Kuncinya
Apakah kasus penolakan bebas pasung yang dilakukan oleh keluarga ODGJ lantas menjadi bukti kuat bahwa program bebas pasung itu sesungguhnya tidak perlu atau muspra? Apakah kasus penolakan ini menjadi alasan sahih agar program bebas pasung dicoret dari anggaran SKPD? Apakah akhirnya juga membuat dinas-dinas terkait beserta tim di lapangan menjadi loyo tak bersemangat lagi melanjutkan program ini? Tentu jawabnya TIDAK, asal semua masih menggunakan akal sehat.
Kasus penolakan bebas pasung yang dilakukan oleh keluarga ODGJ sesungguhnya menjadi bukti kuat bahwa masih diperlukannya edukasi kesehatan jiwa masyarakat secara secara menyeluruh dan berkelanjutan. Edukasi yang perlu menyentuh: 1) PENYADARAN secara pengetahuan dasar (kognitif), 2) agar semua pihak menjadi PEDULI permasalahan kehidupan, dan 3) agar semua pihak BERGERAK mengambil tindakan sesuai dengan peranannya masing-masing.
Lalu, apa keluaran edukasi tersebut? Jelas untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa dan negara. Untuk meningkatkan kesejahteraan lahir (fisik) dan batin (jiwa) masyarakat itu sendiri sebagai salah satu tujuan berbangsa dan bernegara.
Terus, ngapain sok jagoan ngurusi kesehatan jiwa masyarakat? Lha wong masyarakat menolak bebas pasung itu juga hak asasi dan alasan keluarga kanthi gumolonging manah lho? Lha wong masyarakat Gunungkidul itu sudah pinter-pinter kok masih diajari? Wong masyarakat itu sudah rajin beramal sholeh dan tekun ibadah agamanya, kok masih menyangsikan pemahaman dan kesadarannya tentang kesehatan jiwa? Ini beberapa pertanyaan yang kemungkinan pasti akan muncul ketika membicarakan pentingnya edukasi kesehatan jiwa.
Sudah menjadi pandangan umum, bahwa yang disebut sehat itu dipahami sehat sekadar secara fisik. Tidak terkena panu, kadas, kurap, kudis. Tidak flu-pilek-batuk, tidak ambeien, tidak kena cacar, tidak kena tetanus, tidak kena demam berdarah, tidak ludira inggih atau tidak tekanan darah tinggi, tidak kena kanker, tidak kena serangan jantung, tidak kena stroke, dan lain sejenisnya. Ini menjadi cermin, bahwa kesehatan itu dipahami dan dipandang semata sebagai urusan fisik-mekanistik semata.
Sebaliknya, adakah yang menganggap cemas, merasa pusing-pusing tidak karuan, kebingungan, ketakukan bertemu orang lain, merasa dicurigai orang lain terus-terusan, merasa bosan hidup, putus asa, merasa hidup tak berarti, terlintas pengin mengakhiri hidup, dan sejenisnya itu sebagai sebuah masalah kesehatan jiwa?
Kalau mau berkata jujur, sepertinya masih jarang. “Ahh… itu karena kamu cemen… tidak mau bersyukur, tidak rajin beribadah, tidak mau beramal sholeh saja!” Ungkapan ini yang terkadang mengaburkan pandangan. Ya, antara kesehatan jiwa dan “kesehatan ruh atau kesehatan rohani” memang terkadang bias, terkadang membingungkan. Meskipun apabila dirunut menjadi permasalahan detail membutuhkan penanganan yang berbeda.
Lawan Stigma Edan, Gendheng, Kenthir, dan Sejenisnya
Edukasi kesehatan jiwa secara menyeluruh dan berkelanjutkan memang sangat diperlukan. Jujur, membicarakan kesehatan jiwa pasti ada yang malu-malu, tersenyum kecut, meremehkan, sampai raut muka sinis membicarakan sebagai “orang-orang gila“, “wong edan“, “wong kenthir“, “wong stress”, atau “koncone Meyot“. (Note: Meyot, seorang ODGJ di Wonosari tahun 80-an yang sudah almarhum pun masih dibawa-bawa untuk bahan bullying). Jangankan masyarakat awam. Masih ada kalangan profesional, dan juga pejabat yang memiliki pandangan negatif terhadap kondisi ini.
Permasalahan yang paling mendasar adalah pada pemahaman dan anggapan bahwa membicarakan kesehatan jiwa itu pasti berhubungan dengan sesuatu yang tidak disukai, sesuatu yang harus dijauhi, di-emoh-i, menjijikkan, menjadi aib masyarakat.
“Wis aja nganti ana anak putuku sing edan,” demikian sering terdengar ungkapan yang muncul. Ada pula sering terdengar ungkapan, “Sira aja cedhak-cedhak karo dheweke, awake dhewe kui ningrat, trahing kusuma rembesing madu, turunane wong edan lan ayan kudu den singkiri…”
Itulah stigma, pandangan negatif yang tidak terbukti kebenarannya. Asumsi dan keyakinan keliru yang menjadikan masyarakat terperangkap dalam pandangan negatif terhadap permasalahan kesehatan jiwa.
Padahal, hal-hal yang dianggap sepele seperti kecemasan yang berlanjut, merasa pusing-pusing tidak karuan, ketakutan bertemu dengan orang lain, merasa bosan hidup putus asa, berdiam diri tidak mau makan/minum, dan sejenisnya itu sesungguhnya adalah permasalahan yang menyangkut kesehatan jiwa. Bukankah kesehatan jiwa sesungguhnya berperan sentral dalam kehidupan seseorang? Karena kesehatan jiwa adalah sebuah kondisi yang memungkinkan seseorang dapat melakukan kecakapan fungsi kehidupan seseorang dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bekerja, belajar, berfungsi sosial kemasyarakatan, dan berfungsi secara rohaniah.
Benarkah Warga yang Menolak?
Benarkah ada warga yang menolak? Rasa-rasanya kok tidak mungkin, asalkan edukasi dan penyadaran kesehatan jiwa itu mampu mendarat di hati masyarakat yang sesungguhnya sedang luru-tamba. Edukasi kesehatan jiwa bukan sekadar bla-bla-bla teoritis tentang pentingnya kesehatan jiwa, faktor risiko masalah kesehatan jiwa, penanganan dan pemulihannya. Tetapi, edukasi kesehatan jiwa juga perlu mendalami dan memahami dengan penuh empati tentang adanya keruntuhan (collapses) aspek kognitif-ekonomi-sosial keluarga dengan ODGJ.
Karena kondisi keruntuhan kognitif-ekonomi dan sosial itu bisa menjadikan mereka begitu merasa tidak berharga, terasingkan, tertolak, malu terhadap tetangga dan bahkan merasa ada pejabat yang seolah-olah mengawasi dan akan menyalahkan. Dengan demikian, edukasi kesehatan jiwa adalah edukasi yang empatik, yang peduli dengan kondisi masing-masing keluarga bukan semata-mata sebagai objek program. Tetapi mereka sesungguhnya adalah subjek atau pelaku utama peningkatan ketahanan kesehatan jiwa masyarakat itu sendiri.
Keluarga-keluarga dengan ODGJ secara faktual sesungguhnya mengalami trauma mendalam dan berkepanjangan. Mereka telah lama merasakan penderitaan fisik dan jiwa dalam merawat anggota keluarga yang memerlukan penanganan khusus. Mereka menjadi trauma karena amukan fisik dan terkadang amukan kata-kata yang dirasakan kasar, pahit penuh penderitaan dan kebencian dari ODGJ menjadi bagian dari kehidupannya. Mereka terkadang telah berjuang habis-habisan, baik uang, utang sana-sini, menjual ternak, menjual rumah, menjual ladang untuk mengupayakan kesembuhan yang tak kunjung datang. Mereka lelah, letih, dan kebingungan harus bagaimana lagi mengupayakan kesembuhan.
Keluarga-keluarga dengan anggota yang mengalami gangguan jiwa terkadang juga terkadang tak terduga telah mengambil langkah mendatangi pengobatan alternatif atau orang pintar. Biaya terus keluar, namun tiada maju hasil kesembuhannya. Terhadap langkah ini tidak perlu menjadi sasaran keras untuk dipersalahkan. Perlu diarahkan, diberikan pemahaman alternatif langkah medis yang lebih terukur. Lebih produktif dan kondusif bahwa langkah demikian itu sebagai “piknik luru tamba lan usada”, agar meluaskan perspektif dalam menyadari problematika kesehatan jiwa menjadi lebih luas. Kesadaran yang tumbuh dari dalam dapat menjadi pelecut untuk mengupayakan cara yang efektif dan efisien dalam penanggulangan masalah kesehatan jiwa.
Merobohkan Belenggu: Kerja Besar Semua Pihak
Bukti empiris dan uji klinis secara ilmiah sampai saat ini menunjukkan, bahwa penanggulangan masalah kesehatan jiwa dengan terapi medis obat-obatan, terapi psikis, dan dukungan keluarga yang adekuat sangat berpengaruh dalam proses pemulihan ODGJ, sehingga mereka dapat berperan lebih optimal dalam kehidupan. Bagaimanapun, program bebas pasung dan upaya penyembuhan ODGJ secara medis memang sangat diperlukan. Tinggal pemerintah dan masyarakat sendiri tidak perlu kendor dan nglokro untuk terus melanjutkan. Meski tentunya bukan perkara mudah layaknya tindakan membalik telapak tangan.
Klip testimoni Ibu Sathis dari Desa Botodayakan Rongkop Gunungkidul berikut menjadi kisah nyata kesembuhan dan pemulihan ODGJ yang terpasung selama kurang lebih 12 tahun. Derai air mata perjuangan Ibu Sathis tidak sia-sia untuk kesembuhan Seto, sang keponakan yang sudah seperti anak kandungnya sendiri. Ibu Sathis mengakui, keberhasilannya “merobohkan belenggu pasung” tak lepas dari kerja besar dan dukungan para tetangga, pamong desa, Puskesmas, dan pihak-pihak lain terkait.
**