Menakar Makna Usada, Rumah Sakit, Hospital, dan Hospitality

Bangunan baru RSUD Wonosari sesungguhnya menyiratkan makna semangat baru untuk nyumadulur, penuh hospitality (ramah penuh persaudaraan) terhadap masyarakat yang luru-usada. Dok: KH/Kandar
Bangunan baru RSUD Wonosari sesungguhnya menyiratkan makna semangat baru untuk nyumadulur, penuh hospitality (ramah penuh persaudaraan) terhadap masyarakat yang luru-usada. Dok: KH/Kandar

“Retna Wara Srikandhi tuwin Niken Rarasati, prapta kanthi angirid bagawan dhukun. Sang Dyah Retna Wara Sumbadra dupi uninga kumepyur ing wardaya, lajeng sinamun ing netra, sang bagawan sinung sesegah, lajeng sinung pisalin, anuwun kampuh limar ketangi, paningset cindhe puspita, sawitan calana gubeg, renda sanyari, lajeng ngaturi usada. Sang Dyah Retna Wara Sumbadra waluya jati.” [Serat Padhalangan Ringgit Purwa, Balai Pustaka, 1930].

Kebanyakan kita, manusia modern, memiliki ketergantungan pada obat-sintetik yang diproduksi oleh mesin kesehatan modern (yang cenderung diwakili ‘hanya’ wilayah ‘kedokteran’), yaitu obat dalam konteks farmasi. Terlebih pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan finansial langsung dari farmakologi.

Bacaan Lainnya

Sama halnya ketergantungan kesehatan/kedokteran modern (definisi/golongan yang mana yang termasuk kesehatan/kedokteran modern pun sebenarnya rancu; meskipun untuk beberapa titik bisa dibedakan; misal penggunaan unsur-unsur hewaniah cacing yang diinisiasi oleh pabrik farmasi menjadi ‘ekstrak’ cacing untuk tipes dsb.) kepada teknologi: tanpa teknologi, kesehatan modern akan sering menjumpai kegagalan atau kebuntuan, meskipun tak bisa dipungkiri kesehatan modern dengan perangkat teknologinya mampu membuat ukuran-ukuran dan prediksi ‘akurat’; sistem aplikasi teknologi kesehatan sangat membantu manajemen kesehatan.

Tapi begitu lah adanya: memang itu salah satu teknik untuk sembuh. Untuk menggapai kondisi: sehat: mulih mulanya: waluya. Waras. Itu salah satu tolok ukur kesehatan modern. Kita bersama-sama mengonsumsi ‘ekstrak’ atau turunan atau rekreasi (‘ciptaan-ulang’/sintesa) dari turunannya unsur alam, yang adalah unsur keaksaraan/ketubuhan diri kita sendiri, agar tidak (merasa) sakit. Agar waras. Kepada (Si)Apa lagi sumber kewarasan ditujukan kalau bukan pusernya alam; pusernya manusia.

Belajar dari Usada-Dhukun

Konstruksi pikiran masyarakat sekarang yang menyatakan diri bahwa dirinya waras dijejali melulu metode-metode dan acuan kesehatan/kedokteran modern. Jika pun diprosentase, sangat sedikit metode-metode dan acuan kesehatan yang mengacu pramodern tradisional.

Dokter, perawat, bidan, dan tenaga medis modern lain serta ‘rumah-sakit’ adalah titik pusat atau tetali-pusat (puser) kesehatan modern. Dokter, perawat, bidan, akan mengatakan seperti ini: kalau mau mencari usada alternatif, mangga, banyak, tetapi kami nggak bertanggungjawab. Masyarakat akan mengatakan seperti ini: “Mbok dibawa ke rumah-sakit, jangan ke ‘alternatif’!”. Mengapa demikian? Karena memang konstruksi kesehatan yang dipelajari, diajarkan, dan dianjurkan di sekolah-sekolah kesehatan, oleh tenaga pengajar dan medis serta rumah-sakit modern, seperti itu.

Ada keraguan (mungkin skeptisisme lebih pas, sementara skeptik senyatanya merupakan ciri awal perkembangan ilmu pengetahuan; antitesisnya; memungkinkan lahirnya paradigma ‘kemajuan’ yang baru) terhadap metode kesehatan alternatif. Alternatif adalah ‘secondsex’ -nya kesehatan modern di bahasa filsafat ketubuhan. Ada ketidakpercayaan publik kepada usada alternatif (mungkin akibat propaganda ‘kesehatan’ pihak tertentu) yang ‘pasif’. Ada kecemasan (utamanya bagi mesin kesehatan modern, termasuk di dalamnya ‘dokter’) bahwa usada alternatif akan menggeser eksistensi usada/obat kedokteran modern dimana dinamika kemajuannya membutuhkan biaya yang sangat tinggi; apalagi usada alternatif kurang mengedepankan keakuratan dan ‘riset ilmiah’.

Atau mungkin hanya sesepele: bahwa profesi dokter akan kegusur sejawatnya: tukang promosi kesehatan sebagai sama-sama tenaga kesehatan di dinas kesehatan maupun kementerian kesehatan. Bahkan terhadap sepakan, atau tonjokan, dhukun-usada di dunia alternatif yang justru di saat genting mampu ‘menyelamatkan senyawa’. Rasanya, ada laku memanipulasi: bahwa ada ketertinggalan dan kemunduran cara berfikir masyarakat karena telah memilih usada-alternatif.

Cita-cita para anak sekolah menjadi farmasis atau dokter atau perawat dibanding menjadi dhukun-usada (istilah ini bagi anak-anak dan pengajar sekolahan modern tak masuk di nalar [common sense]) atau minimal herbalis, tabib, formulator lokal (hampir sama dengan cita-cita anak-anak sekolah menjadi enjiner dibanding tukang, atau sarjana pertanian dibanding petani wutun/wekel, dsb.) lebih dominan, atau bahkan bisa dikatakan semuanya.

Beberapa fakta: bermunculan para formulator atau dhukun usada atau herbalis yang secara lembut diakui sebagai tempat berguru oleh orang-orang kesehatan/kedokteran modern, namun di tataran permukaan tidak diakukan dan dipropagandakan). Sekolah-sekolah formal ikut mengampanyekan propaganda ini. Menjauhkan cara berfikir anak-anak dari makna alternatif: pencarian metode-metode kesehatan yang sebenarnya tumpah-ruah di realitas lokal pribumi secara terus-menerus. Namun justru sebaliknya. Sering semakin digiring menuju hiper.

Facebook Comments Box

Pos terkait