“Dor, dor, dor, dooor!” Suara tembakan terdengar empat kali. Tidak terlalu menggema, namun begitu menukik ke telinga.
Satu orang di sebelah kiriku berhenti dari langkah panjangnya. Kepalanya menunduk ditutup dengan kedua tangan. “Waduh, kena dia…,” batinku menduga ia kena peluru di bagian tubuh paling atas itu.
Sambil menengok kanan kiri, kulihat dari sela-sela jarinya meneteskan darah segar. “Aauuuhh… uuhhhh…auuuuh,” remaja pria itu mengerang kesakitan. Kental dialek khas Surabaya atau Suroboyo-an.
Aku dan Eko menghentikan langkah kaki. Semula lari kecil menjauh lalu berbalik mendekatinya. Ternyata kuping sebelah kanan yang robek, kelihatan setelah tangan kanannya diturunkan.
Satu orang bonek terserempet peluru karet.
Kejadian itu saat bersama Eko, temanku. Dia mitra saat kerja di ibukota. Tugasnya mengganti air minum, dan mengepel lantai, ia seorang office boy. Meski beda bagian dan ruangan, kami sering ngobrol saat istirahat, bergurau di loker ganti pakaian, atau bersamaan jalan keluar gerbang saat perjalanan pulang. Pria berbadan tinggi ini lebih sering menyendiri. Katanya, rumah aslinya di Surabaya, dekat Pasar Turi.
Suatu hari, dia mengajakku menyaksikan pertarungan jagoannya di Stadion Senayan. Semifinal Liga Indonesia antara Persebaya melawan Persib. “Bajul Ijo vs Maung Bandung, pasti seru…” pikirku. Aku segera menganggukkan kepala dan menyiapkan diri menjadi bonek dari Jogja. Kami berdua menaiki bus kota menuju stadion tempat kedua raksasa sepakbola berlaga.
Di Senayan, terlihat ribuan bonek datang laksana semut menghijau. Rata-rata remaja belasan tahun, tubuh bagian atas tak tertutup. Beberapa membawa bendera bajul ijo. Lokasi stadion sudah terasa aroma ketegangan, sudah terdengar letusan senjata dar, der, dor. Ternyata mereka dihalau dengan tembakan peluru karet. Ratusan nasi bungkus dan air mineral disediakan di pinggir stadion ludes. Tampaknya mereka kelaparan.
Kami masuk stadion, bergabung dengan kelompok bonek dengan aneka atribut dan sorakan garang. Aku sempat melongo melihat kenekatan bonek. Ada beberapa bonek yang naik ke atap stadion menggunakan bendera. Luar biasa. Mungkin dobel nyawa! Sesuai namanya bonek artinya bandha nekad.
Peluit tanda dimulainya laga sudah dibunyikan. Pertandingan baru berjalan tiga puluh menitan dan kedudukan masih kosong-kosong. Genderang dan terompet bersahut-sahutan. Tegang.
Tiba-tiba kulihat wasit meniup peluit dan mengangkat tangan menghentikan pertandingan. Rupanya ada ratusan supporter menggoyang-goyangkan pagar pembatas mau merobohkannya. Polisi menghalaunya dengan tembakkan gas air mata. Woow, penonton berlarian dari arah duduk depan dalam stadion ke gerbang dan menutup wajah dengan kaos.
Saya ditarik Eko ikut berlari.
***
Eko juga mengingatkanku pada sebuah pertanyaan, “Pernah melihat makhluk halus?”
Sampai memasuki era keempat revolusi industri ini, saya baru sekali melihat lelembut atau makhluk halus. Dulu ia pernah mengajak liburan dengan menghirup udara segar alam. Waktu itu, kami naik Gunung Gede-Pangrango, gunung di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Kami berangkat bertiga dengan adik sepupunya, Supri. Bawa tas carrier dengan isi penuh untuk tiga hari: mie, paraffin, panci tentara, baju, dan tenda dum. Kupakai celana jeans, kaos panjang tim kesebelasan putih hijau bertuliskan Carlsberg, dan sepatu coklat kehijaulumutan.
Berangkat siang itu, naik bus dari Jakarta sampai malam di lokasi. Kami membuat tenda dan menginap. Rencana pagi jam 06.00 WIB akan mulai melangkahkan kaki menuju puncak impian.
Udara pagi membangunkan kami. Eko menepis udara dingin ke base camp pertama untuk keperluan perijinan. Kebetulan ada dua perempuan seperjalanan yang bergabung. Mereka tidak bisa memenuhi kuota pendakian yang ditentukan minimal tiga orang. “Wah, ok juga,” pikir kami, senada.
Rombongan melangkahkan kaki pada 06.00 pagi. Melihat dan menyusuri eloknya alam dengan riang. Menyapa pohon, burung, air, jurang, edelweis, dan meresapi desiran angin persahabatan.
Sampai sore, sekitar magrib, hampir malam, kami masih berjalan menuju puncak Pangrango. Aku berjalan paling belakang dan memegang senter kecil. Tiba-tiba, kulihat bulan seperti jatuh pelan-pelan. Semakin mendekat di atas langit, dan menjadi seperti api menyambar-nyambar, cukup lama.
“Eh, ada yang melihat kilatan api di atas pohon?”, suara dan tanganku gemetaran. Dua teman menganggukkan kepala.
“Kita istirahat saja dulu sebentar,” Eko bersuara. Kami meletakkan senter kemudian duduk di bawah pohon, tubuh kami saling berdekatan, menata nafas.
Rupanya kami melihat, kata orang Jawa, Banaspati di Gunung Pangrango, sebelum akhirnya menikmati puncaknya. Dan dari tenda di samping, sayup-sayup terdengar suara perempuan berzikir .
***
Ingat Eko, ingat bonek dan Banaspati. Kontaknya tak tersimpan lagi, hanya bonek plus Banaspati yang termemori.
***