Inilah Penjelasan Meluapnya Mata Air Ngreneng Semanu

Masyarakat berbondong-bondong melihat meluapnya mata air Ngreneng Semanu. Sempat beredar kabar heboh airnya berasa asin. Dok: KH/Nining.
Masyarakat berbondong-bondong melihat meluapnya mata air Ngreneng Semanu. Sempat beredar kabar heboh  yang akhirnya menjadi hoaks bahwa airnya berasa asin. Dok: KH/Nining.

Lini medsos seputar Gunungkidul pada Kamis sore (30/11/17) dipenuhi informasi viral seputar fenomena meluapnya mataair Ngreneng yang terletak di Dusun Wediwutah, Desa Ngeposari, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul. Topik tersebut sempat menjadi viral dan membuat banyak orang penasaran. Peristiwa seperti ini memang sangat jarang terjadi, namun terdapat informasi yang mengarah menjadi hoaks atau tidak benar yang membuat geger, yaitu ada yang mengatakan air yang berasal dari mata air ini berasa asin. Ada yang melebih-lebihkan informasi dan “menakut-nakuti” masyarakat, rasa asin karena air laut sudah naik ke daratan melalui jaringan sungai bawah tanah.

Ahmad Cahyadi MSi, pengajar dan peneliti Departemen Geografi Lingkungan Fakultas Geografi UGM menyempatkan diri menyusun kajian ilmiah atas fenomena meluapnya mataair Ngreneng Semanu sehingga menggenangi lahan di sekitarnya tersebut. Dalam artikel yang dirilisnya pada Jumat pagi (1/12/17), disebutkan bahwa beredarnya berita air berasa asin di mata air Ngreneng tersebut tidak benar.

Bacaan Lainnya

Menurut Cahyadi, rasa air asin ini sangat aneh dan tidak masuk akal. Pertama, karena lokasi terletak sangat jauh dari laut. Kedua, ketinggian lokasi adalah sekitar 150 meter di atas permukaan laut (berdasarkan pada Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:25.000 yang diterbitkan oleh Badan Informasi Geospasial/BIG). Ketiga, air tawar sedang dalam jumlah sangat banyak mengalir ke laut, maka seharusnya desakan air laut ke arah darat mestinya menjadi semakin kecil.

Dalam tinjauan ilmu Geomorfologi dan Hidrologi, kawasan karst adalah kawasan yang terbentuk oleh proses pelarutan batuan oleh air dan karbondioksida atmosfer. Proses pelarutan ini kemudian menghasilkan kenampakkan khas berupa bukit-bukit karst di bagian permukaan tanah, dan lorong-lorong gua dan sungai bawah tanah di bagian bawah permukaan tanah. Air yang masuk ke dalam sistem akuifer karst akan dialirkan melalui saluran pengatus yang berupa gua atau sungai bawah tanah tadi hingga sampai ke laut. Beberapa aliran tersebut muncul sebelum mencapai laut seperti di Pantai Baron (Gambar 2) dan Ngobaran, dan sebagian lagi ada yang keluar sebagai mataair di tengah laut.

Ditinjau dari sistem hidrogeologi, Mataair Ngreneng masuk dalam sistem Baron, yang merupakan sistem sungai bawah tanah terbesar dan terluas di Kawasan Karst Gunungsewu (Gambar 3).

Penurunan batuan dasar di bawah batuan gamping yang saat ini nampak di permukaan menyebabkan aliran sungai bawah tanah di sistem ini memusat dan keluar sebagai mataair di Pantai Baron. Kajian yang dilakukan oleh Dr. Tjahyo Nugroho Adji dari Fakultas Geografi UGM di dalam disertasinya menyebutkan, bahwa Gua Ngreneng merupakan bocoran dari Sungai Bawah Tanah Bribin (Gambar 4). Aliran air di Gua ini sangat terkait dengan aliran air yang berada di Sungai Bawah Tanah Bribin.

Ditinjau dari kondisi geomorfologi, Gua Ngreneng adalah sebuah “karst window”. Karst window (Gambar 5) adalah bentukkan alamiah di kawasan karst yang terbentuk akibat runtuhnya sungai bawah tanah, sehingga sebagian dari sungai bawah tanah terekspos ke permukaan pada dasar lembah karst (doline). Beberapa ahli menyebutnya sebagai estavelle, yakni sebuah istilah yang berasal dari Karst Dinarik yang ada di Eropa. Namun beberapa syarat nyatanya tidak memenuhi untuk disebut sebagai estavelle.

Milanovic dalam bukunya Karst Hydrogeology menyebutkan bahwa estavelle memiliki karakteristik sebagai mataair intermitten (mengalir pada waktu tertentu) karena perubahan muka airtanah (dominasi aliran diffuse/ aliran antar butir) dan pada waktu tertentu berperan sebagai pengatus (ponor). Hal ini jelas tidak sesuai dengan kondisi di Ngreneng yang memiliki aliran sepanjang tahun dan didominasi oleh aliran sungai bawah tanah (konduit), meskipun Gua Ngreneng juga memiliki peran sebagai pengatus air (ponor).

Mengapa Terjadi Luapan?

Penyebab utama terjadinya luapan di Gua Ngreneng adalah besarnya volume air yang mengalir di gua yang melebihi kapasitas pengalirannya (Gambar 6). Besarnya curah hujan yang yang terjadi sebagai dampak Siklon Tropis Cempaka menyebabkan tanah volume air yang diatuskan melalui sungai bawah tanah di Sungai Bawah Tanah Bribin menjadi sangat banyak. Hal ini ditunjukkan pula dari pernyataan yang dikeluarkan oleh pengelola bendungan Bribin yang menyebutkan bahwa ketinggian air di bendungan Bribin normalnya 36 meter, namun pada kondisi Hari Kamis (30/11/17) sampai dengan 64 meter yang mengakibatkan mesin di Bribin II atau Sindon dimatikan.

Kondisi ini dapat dianalogikan seperti tempat wudhu (padasan—Jawa) yang memiliki masukan (input) air dari kran dan luaran (output) berupa saluran untuk wudhu. Masukan yang lebih besar memungkinkan naiknya air dalam tempat wudhu dan meskipun air dari kran telah dimatikan, air akan surut dengan waktu tertentu. Skema sederhana dapat dilihat dalam Gambar 7.

Mengapa Air yang Menggenangi Lahan Jernih atau Tidak Keruh?

Kondisi yang unik terjadi pada luapan Gua Ngreneng adalah air yang meluap bersifat jernih atau tidak keruh. Kondisi demikian berbeda dengan penggenangan yang terjadi di Gua Kalisuci dan Gua Sumurup (Gambar 8). Setidaknya ada dua sebab yang dapat menjelaskan peristiwa ini. Pertama, terkait dengan imbuhan utama yang mengalir ke Gua Ngreneng dan kedua, mekanisme pengaliran yang didominasi oleh aliran diffuse.

Dalam hidrologi kawasan karst, imbuhan airtanah atau sungai bawah tanah secara garis besar dibagi menjadi dua, yakni imbuhan allogenic dan imbuhan autogenic. Imbuhan allogenic adalah imbuhan airtanah atau sungai bawah tanah yang asalnya dari kawasan non-karst. Imbuhan ini biasanya masuk melalui sungai permukaan yang kemudian masuk ke dalam sungai bawah tanah sebagai sungai yang menghilang seperti Gua Kalisuci dan Gua Sumurup. Gua Kalisuci misalnya adalah outlet dari Sungai Jirak yang mengalir dari Kecamatan Ponjong dan sebagian Semanu. Air yang mengalir di permukaan menyebabkan air menjadi keruh karena bercampur dengan tanah yang tererosi. Kondisi berbeda terjadi jika imbuhan air bersifat autogenic, di mana air meresap berasal dari air hujan yang meresap melalui diaklas/ retakan-retakan pada kawasan karst yang kemudian secara gravitatif turun sampai dengan sungai bawah tanah. Proses penyaringan oleh tanah, retakan dan rongga batuan menyebabkan air yang masuk ke sungai bawah tanah menjadi lebih jernih. Meskipun Gua Ngreneng memiliki sistem autogenic dan allogenic, namun kapasitas pelepasan aliran diffusenya ternyata sangat besar, sehingga pelepasan diffuse yang jernih menjadi dominan terutama terkait dengan jumlah imbuhan autogenic yang besar pada hari Kamis kemarin (30/11/17).

Dalam penelitian Tjahyo Nugroho Adji (2010), disebutkan bahwa proporsi aliran diffuse yang ada di Gua Ngreneng umumnya lebih dari 50% dari total aliran yang mengalir saat kondisi banjir. Aliran diffuse yang lebih lambat masuk ke dalam sungai bawah tanah lebih belakangan dibandingkan dengan air yang mengalir melalui conduit yang berasal dari sungai bawah tanah. Kondisi demikian menyebabkan aliran diffuse ini tidak dapat masuk ke dalam sungai bawah tanah dan tertekan ke luar menjadi luapan menggenangi doline yang kemudian kita lihat sebagai fenomena unik kemarin. Naiknya aliran diffuse ini juga disebabkan dorongan dari aliran conduit yang berasal dari Sungai Bawah Tanah Bribin. Berdasarkan analisis data hidrograf yang ada, aliran di Gua Ngreneng akan mencapai puncak banjir dalam waktu sekitar 5 jam setelah dan akan kembali ke posisi semula dalam waktu 16 jam. Namun demikian, dengan kasus penuhnya lorong pengatusan akibat banyaknya volume air yang ada di sana, maka kemungkinan waktu 16 jam akan terlampaui.

Genangan di sekitar Gua Ngreneng diperkirakan sekitar 16 hektar. Gambar 9 menunjukkan lokasi Gua Ngreneng yang terletak pada cekungan (warna hijau) yang dibatasi oleh tinggian (warna merah kecoklatan). Penggenangan yang terjadi akan mengikuti topografi cekungan yang ada di sekitar Gua Ngreneng. (Ahmad Cahyadi/ Red Swara).

.

****

Ahmad Cahyadi, SSi., MSi., Tinggal di Ponjong, berasal dari Semin, Gunungkidul. Saat ini menjadi pengajar dan peneliti di Departemen Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada.

Facebook Comments Box

Pos terkait