Cegah Bencana dan Gagal Panen, Jangan Abaikan Pranata Mangsa!

Petani tradisional Gunungkidul pada umumnya sangat memperhatikan Pranata Mangsa dalam berolah tani. Dok: KH.
Petani tradisional Gunungkidul pada umumnya sangat memperhatikan Pranata Mangsa dalam berolah tani. Dok: KH.

Selama ribuan tahun, para lelulur utamanya di tanah Jawa dan Bali menghafalkan pola musim, iklim dan fenomena alam lainnya. Akhirnya mereka membuat kalender tahunan bukan berdasarkan kalender Masehi atau kalender Hijriah, tetapi berdasarkan kejadian-kejadian alam, yaitu: seperti musim penghujan, kemarau, musim berbunga, dan letak bintang di jagat raya, serta pengaruh bulan purnama terhadap pasang surutnya air laut.

Masyarakat Jawa dan Sunda menyebutnya Pranata Mangsa, sementara masyarakat Bali menyebutnya Kerta Masa. Pranata Mangsa dibutuhkan pada saat itu sebagai penentuan atau patokan bila akan mengerjakan sesuatu pekerjaan. Contohnya melaksanakan usaha tani seperti bercocok tanam atau melaut sebagai nelayan, merantau, mungkin juga saat akan berperang. Sehingga mereka dapat mengurangi risiko dan mencegah biaya produksi tinggi.

Bacaan Lainnya
Pranatamangsa. Dok: Seni Jawa Kuna.

Berikut adalah Tabel Pranata Mangsa dalam siklus tahunan yang diwariskan pada leluhur tersebut:

  1. Kasa (Kahiji), 22/23 Juni – 2/3 Agustus. Musim tanam palawija.
  2. Karo (Kadua), 2/3 Agustus – 25/26 Agustus. Musim kapok bertunas tanam palawija kedua.
  3. Katiga (Katilu), 25/26 Agustus – 18/19 September. Musim ubi-ubian bertunas, panen palawija.
  4. Kapat (Kaopat), 18/19 September – 13/14 Oktober. Musim sumur kering, kapuk berbuah, tanam pisang.
  5. Kalima (Kalima), 13/14 Oktober – 9/10 November. Musim turun hujan, pohon asam bertunas, pohon kunyit berdaun muda.
  6. Kanem (Kagenep), 9/10 November – 22/23 Desember. Musim buah-buahan mulai tua, mulai menggarap sawah.
  7. Kapitu (Katujuh), 22/23 Desember – 3/4 Pebruari. Musim banjir, badai, longsor, mulai tandur.
  8. Kawolu (Kadalapan), 2/3 Februari. Musim padi beristirahat, banyak ulat, banyak penyakit.
  9. Kasanga (Kasalapan), 1/2 Maret – 26/27 Maret. Musim padi berbunga, turaes (sebangsa serangga) ramai berbunyi.
  10. Kadasa (Kasapuluh), 26/27 Maret -19/20 April. Musim padi berisi tapi masih hijau, burung-burung membuat sarang, tanam palawija di lahan kering.
  11. Desta (Kasabelas), 19/20 April – 12/13 Mei. Masih ada waktu untuk palawija, burung-burung menyuapi anaknya.
  12. Sada (Kaduabelas), 121/13 April- 22/23 Juni. Musim menumpuk jerami, tanda-tanda udara dingin di pagi hari.

Catatan: dalam perhitungan kalender tersebut, sistem pertanaman padi masih setahun sekali (IP100).

Dari Pranata Mangsa itu diketahui bahwa pada bulan Desember-Januari-Pebruari adalah musimnya badai, hujan, banjir, dan longsor. Mendekati kecocokan dengan situasi alam sekarang.

Selanjutnya pada musim berikut yaitu Kawolu antara 2/3 Pebruari – 1/2 Maret, bersiap-siaga waspada menghadapi penyakit tanaman maupun wabah bagi manusia dan hewan, mungkin akibat dari banjir, badai dan longsor tersebut akan berdampak menyebarnya penyakit, kelaparan dan sebagainya. Hal tersebut masuk akal karena manusia atau binatang bahkan tanamanpun belum siap mempertahankan diri dari serangan hama penyakit. Dalam keadaan lemah tersebut dengan mudah penyakit menyerang kita.

Kaitannya dengan para nelayan, mereka melaut sambil membaca alam dengan melihat letak bintang yang dianggap patokan yang selalu menemani mereka saat melaut. Sudah tentu mereka mengetahui pada bulan-bulan berapa mereka saat yang baik melaut dan akan mendapatkan ikan banyak. Sebaliknya mereka mengetahui saat-saat tidak melaut, berbahaya dan tidak akan menghasilkan apa-apa. Pada saat-saat itulah mereka gunakan waktu untuk memperbaiki jaring-jaring yang rusak, memperbaiki rumah dan pekerjaan selain melaut.

Tulisan ini bukan bertujuan mengecilkan arti ilmu pengetahuan dan teknologi modern, melainkan sebagai review untuk kita masyarakat Indonesia yang sudah berbudaya tinggi dalam mencermati alam semesta sejak ribuan tahun yang lalu dan sebagai evaluasi untuk mengingatkan kembali, bahwa bumi, matahari, bintang, planet dan benda-benda angkasa lainnya mengisyaratkan bahwa bumi pun ingin berkomunikasi kepada manusia. Selayaknya manusia sebagai bagian dari alam raya perlu mawas diri dan mampu membaca tanda-tanda alam tersebut.

Oleh karena itu menjaga dan memelihara lingkungan hidup ini tidak hanya sekedar semboyan atau simbolis saja, lebih penting dari itu bagaimana penerapan di lapangan.

Perubahan-perubahan alam memang perlu dilakukan tetapi jangan sampai terjadi pengrusakan tatanan yang sudah ada. Misalnya Daerah Aliran Sungai (DAS) sepenting apapun penggunaan lahan pada pinggiran sungai jangan memberikan toleransi ijin kepada masyarakat yang akan menggunakan untuk tempat tinggal, atau tempat yang tidak ada hubungannya dengan sungai tersebut. Perlu dipertimbangkan dampak buruk yang akan terjadi yang akan menjadi bumerang bagi manusia.

Contoh lain hutan di hulu sungai, boleh saja ditata, tapi bila sudah mengarah dikelola, lain lagi ceritanya, bisa-bisa karena dengan alasan kebutuhan habis dibabat oleh manusia yang tidak bertanggung jawab. Hutan ya hutan jangan diganti komoditas lain. Apapun alasan dan kebutuhannya.

Contoh lain, seperti hama dan penyakit tanaman, seperti tikus, wereng, kutu loncat, virus, bakteri atau apapun namanya keberadaan mereka sudah ada dan sudah sebagai pengganggu, hanya karena kita sebagai manusia yang membuat mereka menjadi tidak seimbang kehidupannya. Apakah kita mungkin bisa memusnahkannya dari muka bumi ini? Suatu hal yang mustahil!, sampai kapan pun yang namanya hama penyakit itu akan tetap ada. Jadi yang penting bagaimana kita mengupayakan agar keseimbangan hidupnya terjaga, populasinya tidak terganggu. Contoh hewan liar di hutan atau padang rumput. Mereka ada pemangsa dan yang dimangsa itu bukan masalah buas atau lemahnya hewan, melainkan suatu proses keseimbangan yang mesti terjadi.

***

Sumber: Dedik W/Puslitbang Tanaman Pangan, Kementan. Dimuat di Sinar Tani, Maret 2005.

 

Facebook Comments Box

Pos terkait