Karbit Rara Jonggrang

Kompleks Candi Prambanan, ada yang sering memberi julukan salah satu candinya sebagai Candi Rara Jonggrang. Foto: KH.

Ketika mendengar kata “karbit“, saya ingat pisang. Karbit itu sejenis zat padat berbau tengik yang menghasilkan semacam gas untuk nge-las. Ia bisa jadi jodoh pisang yang belum matang. Pisang hijau dan karbit bagai sejoli yang mematok slogannya, “dunia milik kita berdua, yang lain ngontrak!”. Lalu anaknya disebut “Pisang karbitan.”

Di Bantul, saat saya masih bocah dan umbelen, makan pisang menjadi menu keseharian sampai mbleneg. Dulu, swargi ibu selalu menyediakan setidaknya gedang Uter di meja makan, ya karena murah atau dari pemberian tetangga. Memang, Gedang Uter dikenal penduduk daerah geplak sebagai pisang buangan dan sering digunakan sebagai makanan burung.

Nah, karena kondisi termarjinal plus diremehkan itu, pisang Uter banyak yang menguning di ketinggian. Ia bahkan sering dibiarkan sampai diganyang codhot yg bergaya mukbang Korea-korea-an, beberapa sisir diembat dalam semalam. Kenapa bisa begitu? ya, karena ndak laku jadi banyak pemilik yang males mengunduhnya. Pemiliknya, katakanlah, bagai negara yang absen dalam… huss, kok sampai situ?!

Berbeda halnya dengan jenis pisang Kepok atau Raja, biar kulit tubuhnya masih hijau, mereka sudah diincar. Pemiliknya tahu persis kalau harganya lumayan mahal jadi laku dijual atau sebagai celengan kebon, jadi parno kalau diserobot codhot.

Karbit jelas terekam bukan sebagai bahan las saja, tapi sebagai penyulap pisang jadi masak dalam hitungan jam. Gambaran lain, seperti Bandung Bondowoso yang mengerahkan crew-nya menata batu jadi seribu candi, meski kemudian Rara Jonggrang membuat drama sebelum subuh. Ia membangunkan dayang-dayang untuk menumbuk padi dan membakar jerami di sebelah timur, semua membuat penanda subuh telah tiba. Gara-itu itu, para Crew-BB ngacir ke perut bumi dan gagal menuntaskan 1000 candi. Setelah mengetahui trik sang putri ramping itu, Bandung Bondowoso naik pitam, ia mengutuk Roro Jonggrang jadi batu lalu menyorongkan satu pada 999 jadi bilangan bulat.

Lho, tapi ini bukan tentang pisang atau Rara Jonggrang, ini mau bicara tentang hasil kerja cepat pada masa kemerdekaan. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan, PPKI mengadakan pertemuan. Konon, “Setelah diskusi singkat PPKI memutuskan mengadopsi konstitusi negara yg sebelumnya disusun BPUPKI dengan beberapa perubahan” Lalu, Soekarno-Hatta dipilih sebagai presiden dan wakil presiden, tentu dengan kilat. Meski begitu, proses itu tak bisa disamakan dengan pisang atau candi, mereka berproses tahunan, belajar berbagai bacaan, dan ditempa lika-liku keadaan. Jelas mereka bukan sosok karbitan.

Kok, kamu ngomongnya seperti sejarawan? Karbitan ya?

Hehehe iya jew. Makanya tulisannya ini ndak karuan. Pengantarnya panjang tapi isinya secuil, dan ora jelas. Eh, tapi tenang, masih ada waktu baca buku lanjutan sebab subuh sebenarnya belum datang, apalagi Rara Jonggrang tak punya karbit, eh tak punya pisang. Hiii.

Facebook Comments Box

Pos terkait