Kedalaman Batin yang Mewujud dalam Fisik dan Tindakan

Ilustrasi kisah Dewa Ruci dalam dunia pewayangan. Dok: belajarbudayawayang.com.

Kedalaman batin seseorang itu mewujud dalam fisik dan juga tindakannya. Ah, apa iya? Boleh saja, dan sah-sah saja didebat. Tapi ayo cermati, kedalaman batin atau proses internal yang ada dalam diri seseorang pada dasarnya dapat ditelusuri dalam rupa fisik, misalnya: gembira, sedih, njaprut, semanak, njelehi, melotot, dan lainnya.

Bisa juga ditelusuri dalam ucapan, misalnya: mengucapkan salam hangat, selamat, datang, atau sebaliknya mengata-ngatai atau misuh, dan lainnya. Bisa juga dalam tindakannya: mengulurkan jabat tangan, merangkul, mendorong, menuding, menendang, dan lainnya.

Bacaan Lainnya

Kedalaman batin bahkan bisa ditelusuri dalam wujud fisik buatan manusia. Misalnya: kita masuk rumah seseorang, kantor, atau restoran sekalipun bisa merasakan “aura” rumah itu terbuka, teduh, damai, bikin kerasan, atau sebaliknya: panas, gerah, bikin pikiran kacau, pengen cepat-cepat pergi, dan lain sebagainya.

Mengulik kembali buku Wastu Citra: Pengantar Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur karya YB Mangunwijaya, maka kita kembali mendapatkan penegasan hakikat manusia sebagai kesatuan tunggal antara perkara-perkara tubuh-jiwa-roh (fisikal-jasmaniah, kejiwaan, dan spiritualitas). Manusia tidak hanya berbahasa cakap dengan lidah, tetapi juga dengan lambaian tangan, anggukan kepala, kerling mata, bergegas lari menyambut, dekapan sayang, jengkel membelakangi, tinjuan dengki, dan lain sebagainya.

Tanpa ucapan mulut sepatah pun, ulah dan gerak-gerik itu sudah berbahasa, sudah membahasakan diri. Artinya, isi batin yang tersimpan di dalam tampak dalam ulah dan gerak yang dibahasakan oleh tubuh tersebut.

Ya, tubuh manusia memang menghubungkan yang-serba-dalam-batin dengan alam semesta yang-di-luar-diri, khususnya yang berciri materi. Fungsi-fungsi fisik dan biologik manusia ber-satu-alam dan ber-satu-hukum dengan dunia semesta fisik di sekeliling, dan bahkan dengan seluruh alam raya.

Bila makan, minum, tidur atau bernafas, dan sebagainya, asas-asas proses makan, minum, melihat, mendengar, dan sebagainya yang dijalankan manusia akan sama dengan asas-asas penglihatan, pendengaran, pernafasan, yang dapat dijumpai juga dalam dunia flora dan fauna. Itu baru dari segi proses fisika, kimia, dan lain-lainnya.

Tentulah ada proses-proses lain yang menuntun, memberi arah, dan menjiwai gerak-gerik fisik manusiawi tadi, sehingga sikap dan gerak manusia memiliki hakikat dan arti yang mengatasi dunia flora, fauna, dan alam materi belaka; dan begitu manusia melihat, mendengar, berpikir, bercitarasa secara manusiawi dan semakin manusiawi. Manusia sebagai makhluk bertubuhlah yang memungkinkan itu semua bisa terjadi.

“Agar menjadi roh manusiawi yang sempurna, manusia harus semakin menjadi badan”, kata pemikir JB Metz. Tentu sebaliknya, agar menjadi badan manusiawi yang sempurna, manusia harus semakin menjadi roh.

Masih menurut Mangunwijaya, sebenarnya para pemikir nenek moyang bangsa Indonesia sudah memahami kesatuan tunggal tubuh-jiwa-roh ini. Salah satunya sebagaimana yang tersurat dalam Serat Dewa Ruci. Naskah kuno yang mengisahkan Bima mencari Air Suci dalam epos Mahabarata.

Demikian inti Serat Dewa Ruci tersebut:

Kang ingaran urip mono mung jumbuhing badan wadhag lan batin’e, pepindhane wadhah lan isine…
Jeneng wadhah yen tanpa isi, alah dene arane wadhah, tanpa tanja tan ana pigunane.
Semono uga isi tanpa wadhah yekti barang mokal..
Tumrap urip kang utama tartamtu ambutuhake wadhah lan isi, kang utama karo-karone.
Terjemahan bebas dalam Bahasa Indonesia sebagai berikut:
Yang disebut hidup sejatinya tak lain adalah leburnya tubuh jasmani dengan batinnya, ibarat bejana dan isinya…
Biar bejana tetapi bila tanpa isi, sia-sia disebut bejana, tidak semestinya dan tidak berguna…
Demikian juga isi tanpa bejana sungguh sesuatu hal yang mustahil…
Demi hidup yang baik tentulah dibutuhkan bejana dan isi, sebaiknyalah kedua-duanya….

Jadi, esensi manusia memang bukan dualisme jasmani dan rohani, melainkan kesatuan tunggal hakiki: jasmani-jiwa-spiritual. Karena itu, segala indera dan cita-rasa manusia yang tergetar oleh suatu situasi atau penggairahan fisik alami, langsung itu menyentuh juga ke dalam perasaan, menimbulkan reaksi dan sikap kejiwaan.

Facebook Comments Box

Pos terkait