Awal Mei 2017 lalu, saya dan kawan-kawan berkesempatan mengunjungi Desa Petir. Salah satu desa di Kecamatan Rongkop, wilayah di tenggara Gunungkidul, yang berbatasan dengan Pracimantoro Wonogiri.
Kami sangat beruntung, karena di Balai Desa berbarengan ada kegiatan sosial dari salah satu lembaga di Yogyakarta, sehingga dapat berjumpa dengan kepala desa dan komplit dengan seluruh perangkatnya. Juga bertemu dengan para tokoh desa dan anggota masyarakat.
Tipologi geografis Desa Petir sama seperti kondisi kawasan Pegunungan Sewu lainnya, yaitu area perbukitan karst. Permukiman, kandang ternak, kebun, ladang pertanian berada di antara kerucut-kerucut bukit kapur itu. Hampir semua rumah warga mempunyai bak PAH (penampung air hujan), sebuah instalasi vital penopang kehidupan di desa ini.
Ladang-ladang pertanian pada bulan Mei masih terlihat menghijau. Warga masih ada yang memanen kacang tanah dan jagung. Sementara tanaman ketela pohon tampak masih menunggu berapa bulan lagi siap dipanen.
Desa Petir berdasarkan monografi desa tahun 2017 berpenduduk 3.826 jiwa, jumlah laki-laki 1.920 jiwa dan perempuan 1.856 jiwa. Jumlah rumah tangga tercatat 1.293 KK. Sebagian besar warga bekerja sebagai petani ladang kering, disusul kemudian warga yang bekerja sebagai pegawai swasta. Tercatat sejumlah warga desa ini berkarya menjadi abdi masyarakat, seperti aparatur sipil negara baik di birokrasi maupun unit-unit layanan masyarakat, polisi, dan tentara.
Sebagaimana wilayah Gunungkidul pada umumnya, Desa Petir juga turut andil sebagai penyumbang warga urban. Mereka merantau, berkarya dan menetap di berbagai kota dengan beragam profesi dan pekerjaan. Mereka menjadi pejuang tangguh kehidupan di tanah perantauan.
Beberapa media nasional dan lokal pada tahun 2015-2016 sempat menyoroti desa ini, karena memiliki jumlah warga dengan gangguan jiwa tertinggi di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Berbicara tentang kesehatan jiwa, tentu saja pemberitaan bersifat negatif, miring, nyinyir, cenderung mengejek sinis lebih mengemuka dan ditonjolkan daripada pemberitaan yang membangun welas asih sebagai sesama manusia.
Bahkan masih ada kantor berita skala nasional yang memberikan istilah “sinting” atau “gila” untuk menyebut orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Saya tidak akan menyebutkan media tersebut, silakan googling sendiri di internet.