Klambi

Seorang Penari-Topeng Memakai Klambi Putih. Dok: WG
Seorang Penari-Topeng Memakai Klambi Putih. Dok: WG

Pindhang, pindhange pindhang asu, su.
Sugih sugihe sugih utang, tang.
Tanggung bocah gunung klambi gadhung.
[Lagu Rakyat Jawa]

Mitologi-purwa mengingatkan kulawangsa manusia: segala unsur alam terhubung dalam sistem relasional tertentu (baik teratur maupun tak-teratur) antara satu dengan yang lain.

Bacaan Lainnya

Itu yang mampu saya tangkap dengan kecupetan penalaran-saya. Juga, sok-sokan: ‘rasa’-saya.

Gunung dan laut berhubungan. Laut dan kali berhubungan. Kali dan goa berhubungan. Goa dan telaga berhubungan. Telaga dan sumber berhubungan. Sumber dan hutan berhubungan. Hutan dan ‘gadhung’ berhubungan. Gadhung dan manusia berhubungan. Gunung dan laut dan kali dan goa dan telaga dan sumber dan hutan dan gadhung dan manusia berhubungan. Manusia ‘aklambi’ (berpakaian) warna gadhung, warna hijau, sehijau gunung, laut, kali, goa, telaga, sumber, serta hutan di Gunungkidul yang semakin ‘ijo-royo-royo’; ‘menghijau’.

Manusia Gunungkidul sedang ‘awaju’ (berbaju; dari kata ‘waju’, baju) hijau.

Itu, simbok-saya dan bapak-saya, yang 60-an tahun, ‘sarimbit’ memakai ‘klambi’ hijau: hijau gadhung. Pada ikut-ikutan kekinian atau memang itu klambi-Jawa andalan mereka atau mengapa. Mereka hendak ‘rewang’ di tetangga yang beberapa hari ini punya-gawe ‘mantu’. Yang dimantu teman adik-perempuan-saya waktu mereka SD. Yang satu ‘kuthu-baru’, ada ‘tlangkupan’-nya di dada (menjadikan ketelanjangan pangkal-susu-simbok-saya yang sudah ‘tuwek’ itu kelihatan jeleknya), sementara yang satu surjan, a la Nyayogyan. Bukan beskap. Sama warna dan motif keduanya. Ada pola garuda keemasannya. Menutupi ketelanjangan tubuh bapak-saya yang mulai menaik di bagian perut. Sinjang/jarik/dodotnya pun sama: truntum. Kata bapak saya yang hobinya memukuli gamelan dengan teman-temannya itu, truntum adalah sinjang “cinta”; kasih-sayang. Truntum adalah kemurnian wanita yang menyaksikan keindahan bintang-gemintang. Pas jika dipakai untuk acara ‘mantenan’ seperti ini kali. Kata orang-orang, yang pada ‘mantu’ itu yakin bahwa kedua putra yang akan ‘dimantokake’ telah saling cinta, bukan karena terpaksa atau alasan-politis lainnya. Dua-duanya bagus-cantik rupa. Meskipun, dari bocoran mereka juga, ada yang menikah pura-pura. Ada yang menambal (‘memaes’) muka untuk pura-pura, biar bak ratu dan raja. Biar yang ‘njagong’ pada terpesona. Ada yang memoles dengan puasa. Kulit simbok-bapak saya coklat-hitam, hingga kebaya-surjan warna hijau yang sebenarnya ‘ngratu’ dan ‘mraja’ itu tak begitu menolong tampilan keduanya. Namun dibanding ‘klambi’ yang dipakai ‘perewang’ yang lain di level ‘dusun’, milik mereka kelihatan lebih ‘yahud’ (tanpa [i]). Mereka lebih ‘besus’. Mungkin karena simbok-bapak pecus mengurusi hal-hal semacam ini: ‘mbusana’ Jawa dan tetek-bengek ke-Jawa-an lainnya.

Akan tetapi tetap saja (di mata saya) mereka tampak ‘kucem’; kusam. Karena mereka orang desa. Atau karena mereka bukan ‘manten’nya? Atau karena mereka telanjang tanpa ‘make-up’-an, tanpa kosmetikan (‘cosmetic’; perias alam)? Atau salah warna kostum? Saya tersenyum.

Gunungkidul pun sedang memakai pakaian ‘gadhung’ seperti simbok-bapak saya; kehijauan. Sedang punya ‘gawe’ kah? Gunungkidul ‘mantu’?

Mungkin. Sejak kala-kala yang lebih purwa, Gunungkidul, sebagai bagian dari bentang Pegunungan Sewu hingga Wonogiri dan Pacitan, adalah wilayah hijau. Wilayah yang terlahir hijau. Hijau itu warna alam. Alamiah. Gunungkidul salah satu kabupaten di DIY yang masih memiliki hutan cukup luas. Hutan, seperti halnya lautan, adalah kehijauan (semiotika-purwa tentang Gadhung-Mlathi). Beberapa tokoh budaya ‘dari’ beberapa kerajaan besar memilih Gunungkidul untuk mengembangkan peradaban; membanjirkan keluarga manusia di sekitarnya. Mereka menghijaukan Gunungkidul ‘aklambi’ budaya. Para tokoh, dalam waktu bersamaan, mengembangkan sistem budaya kompleks di Gunungkidul sekaligus mengawini perempuan Gunungkidul. Para tokoh yang ‘awaju’, berbaju, dan ‘awadu’, menikahi (maaf, istilah ini tidak enak untuk para wanita: ‘memakai’) perempuan setempat.

Perkawinan dengan seorang perempuan (Giring dengan Talangwarih misalnya, atau Wanapawira dengan Rara Sudarmi), yang saya umpamakan sebagai aksi ‘aklambi’ (berpakaian), karena perempuan adalah dodot, klambi, atau wadah bagi kelaki-lakian melalui tokoh-tokoh mitisnya, linier dengan perkawinan-mitis yang ‘semu’ antara seorang tokoh laki-laki (kelaki-lakian) dengan perempuan sebagai simbolisasi keperempuanan alam (Wanapawira dengan Gadhung Mlathi misalnya). Seorang ‘wara’, ‘rara’, wanita-murni, dinikahi. Berbarengan dengan pernikahan seorang tokoh dengan ‘ibu’nya alam.

Sebuah upacara penobatan raja-ratu (demang-putri panji) manusia-alam pun kemudian dilaksanakan. Tirakat, bertapa, semedi, sesuci, dilakukan di babak pendahuluan. ‘Midadareni’, nembung keperawanan alam (Dewi Sri), dilaksanakan untuk menyongsong ritus kesuburan. Sorot, ‘clorot’, pun jatuh. Berlabuh. Ijab, lantas dikabulkan. Hutan digauli. Rambut-rambutnya disiangi. Dibabad. Ada yang diwangikan. Dipasani. Dipaes (dipercantik). Diciptakanlah sebuah kampung, dusun, desa, atau kota. Gotong-royong, sambatan. Dibangun rumah-rumah. Dipropagandakanlah: pembangunan. Diciptakanlah rerenggan busana nan indah. Hijau gadung. Ada ‘jleret’ keemasan. Ada jingga. Raja-ratu duduk di pelaminan. Rakyat, para kulawangsa, bahkan dari luar daerah, berbondong ingin menyaksikan, mendengar, dan merasakan secara langsung keindahan upacara perkawinan. Dengan busana berkilauan. Mereka, di waktu purwa, merupakan gambaran persatuan antara gunung (laki-laki) dan laut (wanita); kali (laki-laki) dan sumber tuk-telaga (wanita); manusia (laki-laki) dan wreksa (pohon; wanita), keluarga dan alasnya (lahan garapan, hutan), dan sebagainya.

Gunungkidul menjadi kosmos ‘baru’, teratur. Gunungkidul kosmopolit.

Saat itu adalah waktu perkawinan agung antara kulawangsa manusia dengan: gunung, laut, kali, hutan, goa, tlaga, sumber, dan unsur alamiah Gunungkidul yang lain. Kali dibersihkan. Disucikan. Gunung dinyadrankan. Laut dilabuhi. Goa diselamati. Pohon direksa. Diklambeni. Tegal-sawah diupacarakan. Telaga diuri-uri. Tuk-sumber diresiki. Hasil panen dirasulkan (dihaturkan kepada Tuhan). Berbagai identitas diri, sebagai gambaran diri yang terhubung satu dengan yang lain, dimunculkan ke permukaan. Seni, makanan, teknologi, dipertunjukkan. Dipertontonkan ke khalayak.

Dengan ‘klambi’nya (bentuk-materialnya) masing-masing.

Sementara itu mitologi-modern di era komodifikasi mengabarkan pada kulawangsa-manusia: mereka, para kulawangsa, dari ‘klambi’ yang dikenakan, dari riuh-rendah dan membanjirnya tamu ke Gunungkidul, dari ‘gayeng’nya orang-orang yang pada ‘rewang’, yang ikut nimbrung ‘menanam’ di dalamnya, menggunakan (meniru?) pola mitologi-purwa: ‘duwe gawe mantu’. (Si)apa yang ‘dimantokake’? Siapa lagi kalau bukan antara kulawangsa (laki-laki) dengan alamnya (perempuan-putri). Apa lagi kalau bukan antara hasrat-manusia dengan pemenuhannya. Dengan teknik memeroleh kepuasannya. Antara pemodal dengan yang bisa dijual. Mereka diklambeni pakaian yang menumbuhkan hasrat.

Merak-ati.

Nalar-lembut di mitologi-modern yang memakaikan ‘klambi-klambi’ di tubuh Gunungkidul sebenarnya hanya meneruskan arkeologi-pemikiran mitologi-purwa sebagai salah satu wujud aksi ‘mempercantik’ dunia/alam. Memakaikan baju padanya. Pada diri yang telah cantik sejak mula. Tinggal didorong dengan sedikit promosi, permakisasi, tubuh Gunungkidul yang seksi di’iler’-i. Kali dialiri ban kendaraan. Kano-kano. Laut disediakan untuk dijelajahi. Goa bisa mudah dimasuki; dimasuk-keluari. Dilihati dan dijilati. Telaga bisa direguk. Tuk dan sumber-air diteguk. Grojogan ditimang sebagai ’embanan’. Dikucurkan lah air-airnya. Dipancurkan. Kolam-segaran (baca: embung) diciptakan. Banyak anatomi alam Gunungkidul, beserta budaya yang tumbuh di atasnya, ramai dipaes; akhirnya didatangi manusia-manusia.

Rumah-ruko dibangun. Hotel bertambah. Home-stay menjamur. Pabrik penambangan riuh. Pengerukan bumi pikuk. Industri makanan lokal-rumahan bergeliat. Bahasa gaulnya: pemberdayaan ekonomi. Peningkatan ideologi kepariwisataan.

‘Pemanfaatan’ potensi diri.

Kepemilikan gunung, goa, kali, lahan garapan, bibir pantai, sumber-air, dan seterusnya ditingkatkan. Dilombakan. Semua demi meramaikan peradaban. Benar Sampeyan, aksi membangun dimaksudkan untuk memperindah. Mempercantik. Tidak lah, seperti ujar Sampeyan, kalau untuk memperburuk keadaan. Jalan-jalan dilebarkan, dihaluskan. Tegalan, sawah, goa, kali, grojogan, hutan, hingga seni, makanan, dan busana Gunungkidulan semua dicoba dimunculkan ke permukaan. Dibungkus. Dikemas sedemikian rupa. Dengan dasar-nalar tertentu. Bukan eksploitasi lho ya, bukan. Apalagi pemerkosaan. Diciptakan lah ‘citra-positif’ (‘brand-image’), ‘brand-city’, sebagai ‘klambi’ era modern di tataran jual-beli. Untuk dinikmati (untuk tak pernah sekalipun mengatakan: dijual).

Situs Keramat Alami Gadhung Mlathen yang Diklambeni Mori. Dok: WG
Situs Keramat Alami Gadhung Mlathen yang Diklambeni Mori. Dok: WG

Kemasan adalah ‘klambi’. Jika kemasannya cantik, orang-orang akan berjubel dan rela antri untuk menikmati (baca: membeli). Yang memakai klambi bagus (sesuai selera pasar; atau dipaksa berselera pasar global) akan memeroleh keuntungan besar. Di acara ‘mantu’ ini diri Gunungkidul sebagai pihak yang punya gawe menggunakan klambi yang paling bagus. Mahal (menurut ukurannya). Paling cantik. Seksi (menimbulkan hasrat bagi yang melihat). Yang datang tiada ketinggalan: bersolek. Berpakaian andalan. Saking tingginya nilai pernikahan ini, maka perlu didatangkan pemodal untuk memungkinkan penyelenggaraan pesta perkawinan berkelas tinggi. Pemolesan (tarub) tempat pernikahan. Penyediaan aneka hidangan makanan (kuliner). Agar para tamu, yang datang untuk berwisata di sebuah acara pernikahan kosmik, merasa puas.

Mencapai orgasme berkat ‘klambi’ yang membaluti tubuh nan cantik.

Namun ‘klambi’ adalah ‘klambu’, penutup, batas, wujud dari yang di dalam yang berada di luar; di permukaan. Sebuah ‘klambi’ di nalar tata-busana biasanya memiliki ‘mata-itik’: tempat mengancingkan benik. Atau ‘mata-iwak’ tempat tinggal benik. Sebuah ‘klambi’ memiliki mata; menyimpan nalar-purwa (mata: wakil pengetahuan manusia). Seindah-indahnya, semewah-mewahnya, sebersinar-bersinarnya, tentu berkat sebuah ‘klambi’ memiliki kancing yang dimasukkan di wadah (‘bolongan’) ini. Sebagai tali-pengikat primordial. Alamiah. Bahwa ‘klambi’ menutupi ‘ketelanjangan’ tubuh. Klambi, sesuai maknanya, menghadirkan ‘yang di dalam’ tampak di luar. Di dada. Di punggung. Kulawangsa Jawa mewariskan cara berfikir ‘malik-tingal’: membalik apa yang tampak di permukaan untuk melihati apa yang ada di kedalaman. Klambi, dengan menggunakan nalar mitis-purwa, membahasakan dengan lembut apa yang ada di sebaliknya. Yang terikat-kuat pada nalar tertentu.

: Ketelanjangan perempuan (alam) yang harus dijaga; dibatasi.

Ada hasrat manusia (laki-laki) yang tumpah-ruah tatkala menyaksikan ketelanjangan alam (perempuan). Terlebih ketelanjangan seorang ‘wara’; seorang ‘rara’. Yang cantik rupa. Gunungkidul, baik menggunakan mitologi purwa maupun mitologi modern, ibarat seorang ‘rara’ yang baru mengalami ‘udan-kumlambi’ (dan kenyataannya: curah hujan wilayah Gunungkidul sepanjang tahun tergolong cukup tinggi dibanding kabupaten-kota yang lain di DIY), hujan rintik-rintik yang bisa membasahi pakaiannya. Menambah seksi tubuhnya. Mengelapa susunya. Menggiurkan mata. Banyak dusun, desa, atau kulawangsa Gunungkidul yang merasakan rintik-hujan: kunjungan wisatawan yang hampir merata. Gunungkidul berpesta-ria. Gunungkidul ‘ewuh’. Tan ‘pekewuh’ belajar bersama: berpariwisata. Para kulawangsa semakin ‘melek’ aksara. Tercerahkan katanya; sadar wisata (darwis; bukan ‘modar ya uwis’, bukan).

Dan laku ‘nglambeni’ Gunungkidul yang berhubungan dengan ‘maes’ tempat-tempat agar menjadi bernilai ‘wisata’ dan ‘ekonomi’ adalah laku meta-kosmik.

Laku-metakosmosis, yaitu segala tindak mempercantik diri Gunungkidul di tataran yang lebih ‘dalam’, dalam arti bukan melulu untuk mengejar penumpukan material (jelas bukan, ta?), atau nilai-tambah demi capaian-capaian hirarki-material seseorang atau sekelompok orang atau pemerintah atau kabupaten atau pemodal, atau mungkin juga demi pendakuan dan penguasaan-penguasaan atas hak-hak masyarakat Gunungkidul yang telah diwariskan semenjak purwa (bukan; mosok iya?), sesungguhnya merupakan aksi kembali ke kemurnian alam (kehijauan).

Sepotong klambi-purwa yang perlu dijaga (‘direksa’).

Ini wasiat Gadhung-Mlathi yang dikancingkan di ‘bolongan’. Ia hijau, yang di tengahnya putih. Yang berloreng jingga. Di pentas-pentas kethoprak dan sendratari, klambi berwarna hijau, putih, juga jingga, adalah keagungan wanita. Kecantikan tiada tara seorang ‘rara’, terkadang seorang ‘randha’ (janda). Yang semoga tak hanya “lungset ing sampiran”; di kancingnya. Tak melulu sebagai objek pemenuhan hasrat kulawangsa manusia (kelaki-lakian; agresi, penguasaan, penindasan), pemerkosaan habis-habisan pada alam hingga ‘kuru-aking’.

Gunung dan laut dan hutan dan ‘wreksa’ dan manusia dan Langit Gunungkidul berhubungan. Dalam ruang kemurnian. Dalam keselarasan-indah antara kulawangsa-manusia (laki-laki) dengan alamnya (perempuan-suci). Kehijauan. Manusia ‘awaju’ (berbaju) warna hijau (mupus), putih (murni), menuju ke sana. Ke penobatan sesungguhnya. Ke Langit. Manusia, dalam kedekatan kulawangsa (kekerabatan), dengan segala keterbatasannya, ‘masuh’ (membasuh) klambi dan dodotnya sendiri.

‘Aklambi’ mori.

[WG]

Facebook Comments Box

Pos terkait