Klana Dhusta

Di segi lakon, Yestri mencoba nyanggit cerita dengan memfokuskan pada penculikan Sekartaji oleh Klana. Akhir dramatiknya, Dewi Sekartaji berhasil didhusta oleh Klana Sewandana. Sekartaji terpisah dengan Panji Asmarabangun. Klana, menang. Biasanya, alur cerita Panji takkan sampai muncul adegan “Klana merebut Sekartaji dari tangan Panji”. Kali ini sanggitnya berbeda. Sanggit cerita yang seperti ini berdasar masukan dari Pak Sujiman. Bahkan, sejak awal persiapan produksi, Pak Sujiman telah menentukan judulnya: “Klana Dhusta” itu. Setelah saya konfirmasi, Pak Sujiman mengatakan bahwa penokohan Klana sebagai pusat cerita itu karena Klana Sewandana sebenarnya memiliki dua karakter: pemarah, namun baik hati. Klana selalu ngayomi rakyatnya. Ia hendak mencuri Sekartaji karena memendam ‘dendam-negara’ antara Bantarangin dengan Jenggala. Bantarangin pernah diobrak-abrik oleh Jenggala (ayah Panji). Menurut Beliau, Klana adalah seorang pencuri namun baik hati.

Topeng Klana yang dikenakan Yestri memang berbeda. Itu topeng garapan Sujiman sendiri. Proses nya tak seperti ketika Sujiman nggarap topeng-topeng yang lain. Topeng itu bukan topeng kerajinan yang prosesnya “asal menebang pohon kemudian membuat topeng” begitu saja. Sebenarnya beliau membuat 5 topeng. Yang pertama adalah topeng Klana itu, lantas ia-turunkan menjadi 4 topeng lain, di antaranya Panji dan Jayakartala. Sekarang 4 topeng lain sudah dikoleksi oleh “orang-orang yang ingin sekali mengoleksinya kala pertama kali melihatnya digantungkan di dinding rumahnya”. Sementara topeng Klana tidak ia jual. Ada yang menawar topeng Klana ciptaannya hingga 60 juta tak beliau-berikan. “Itu topeng koleksi,” kilahnya. Ada laku-laku tertentu sebelum ia menciptakan topeng. Tujuannya agar: Sujiman mendapatkan karakter topeng yang sesungguhnya. Setelah Topeng Klana selesai diciptakan oleh Sujiman, tak semua orang bersedia memakai topeng itu; tak semua (sembarang) orang dipilih oleh Sujiman mengenakan topeng itu. Pernah ada kejadian: Topeng Klana tiba-tiba hilang dari tempat penyimpanannya, kemudian pulang sendiri. Pernah juga ada kejadian, ketika suatu saat dalam Festival Tari Klana Topeng topeng itu dipakai oleh adik iparnya, sesampai di rumah sang adik disimpannya asal-asalan, tak selang berapa lama ia ditakut-takuti oleh “sesuatu”. Ada berbagai macam suara seperti orang menangis dan lain sebagainya dari arah kamar penyimpanan topeng. Ada pula kejadian: sewaktu pengukuhan Geopark Gunungsewu Sujiman mengenakan Topeng Klana itu, kemudian ada seorang bule yang memfoto jeprat-jepret tetapi tak ada hasil gambarnya. Sujiman berkeyakinan: orang itu mempunyai niat tidak baik. Kejadian demi kejadian semakin meneguhkan bahwa Topeng Klana ciptaannya memang menyimpan sesuatu. Tak tahu mengapa dulu Sujiman memilih menciptakan Topeng Klana sebagai masterpiece, bukan Panji bukan Sekartaji. Seolah-olah ada orang yang menyuruh: “Klana saja yang kau ciptakan!” Kini, setiap adapenari yang menggunakan Topeng Klana ciptaannya (atas sepersetujuannya), merasa memiliki semangat penuh kala pentas. Menurut keterangan beberapa orang, jika dibutuhkan oleh seorang penari untuk memerankan Klana Topeng, cenderung memilih Topeng Klana ciptaannya itu karena ketika pentas amat ringan dipakai, tak ada kemalasan, kaki nyik-nyik amat enteng bergerak. Meskipun ia hanya menceritakan pengalaman beberapa penari; ia tak pernah memerankan topeng yang ia ciptakan sendiri dan mewakilkan dirinya sendiri.

Begitu halnya apa yang dirasakan Yestriyono ketika pentas mengenakan Topeng Klana ciptaan Sujiman itu. Ia merasakan ada semangat yang menggerakkan tubuhnya; ada greget menghidupkan dan melestarikan Tari Wayang Topeng Bobung.

Yestriyono Pilianto atau Yestriyono Reksa Mataya, khususnya mewakili dirinya sebagai Abdi Dalem Kraton berpangkat “Masjajar”, maka dari itu, mengharapkan kepada dinas-dinas terkait atau Pemerintah Daerah Gunungkidul untuk mendampingi Sanggar Seni Ngesti Budaya. Selama ini ia bekerja secara pribadi ikut cawe-cawe memberikan pelatihan. Ia, sesuai kepangkatannya itu, harus ikut serta mempertahankan kelangsungan hidup Seni Tari-Wayang Topeng Bobung. Jika demikian, yaitu spirit-penggerak aksinya adalah kerja sosial dan berbagi di bidang seni, Yestriyono meyakini bahwa suatu saat ia akan memetik buah berkeseniannya itu. Terlebih menurutnya, penelitian-penelitian dari golongan akademisi tentang Tari-Wayang Topeng Bobung terbatas hanya pada kebutuhan mereka sendiri tetapi tidak ada kelanjutan pemberian umpan-balik demi kemajuan Tari-Wayang Topeng Bobung. “Para generasi muda pun hendaknya bersedia mempelajari topeng dan tari-topeng,” Yestri menambahkan pesan.

Topeng Klana Sewandana Ciptaan Sujiman, Bobung Pathuk Gunungkidul
Topeng Klana Sewandana Ciptaan Sujiman, Bobung Pathuk Gunungkidul

Sujiman, Marsilan, Yestri, para penari, para penabuh, serta para pengrajin Topeng Bobung menurut saya berhasil menggerakkan dan menghidupkan topeng-topeng rakyat pinggiran (desa) di pusat kebudayaan (kota); topeng-topeng pramodern di antara topeng-topeng orang modern . Topeng-topeng Bobung sebagai aset kebudayaan Gunungkidul DIY yang dikenakan para penari serasa hidup, ibarat hidupnya ‘wayang-wayang’: penokohan di balik topeng-topeng itu berasal dari wilayah Pegunungan Sisi Selatan (Ardikidul, Redikidul) dimana wilayah Pegunungan Sisi Selatan terkesan kering dan tandus, ‘pemarah’, serta menakutkan (sifat raksasa-raja dan bala-tentaranya), khususnya oleh penokohan Raja Raksasa Klana Sewandana (Yestri) malam itu yang amat dominan sepanjang pementasan. Ya, topeng raksasa Klana Sewandana ciptaan Sujiman itu: hidup! Topeng Tari Wayang Klana: hidup! Ia mencuri perhatian; ia mencuri keindahan (Sekarjati-Sekartaji). Topeng dan Tari Wayang Topeng Bobung berhasil ndhusta (mencuri) perhatian jejel-riyel-nya penonton. Tepuk-tangan penonton menyesaki Pendhapa Balai Kota Surakarta yang megah dan agung itu. Mereka telah menghidupkan Tari-Wayang Topeng Bobung (bahkan di tanah kelahiran mereka sendiri) tak mati dalam bentuk pementasan-pementasan rutin skala lokal, nasional, maupun internasional; tak punah oleh gerak jaman. Ke depan mereka harus berani menghidupkan karakter topeng-topeng: semoga bukan sebagai topeng-topeng bendawiah belaka yang tanpa roh (anima), bukan sebagai sentra kerajinan topeng di sisi barat Gunungkidul yang menuju ke kematian, namun juga agar topeng-topeng laku di pasaran, agar memiliki ketahanan menggerakkan arwah dan lakon kehidupan.

Supados tari topeng boten pegat ing tengahing margi,” begini pembicaraan diakhiri oleh Marsilan, sang sekretaris sanggar, sebelum sesi foto saya-minta dilakukan.

[WG]

 

Facebook Comments Box

Pos terkait