Lempeng Tela

Lempeng tela, salah satu cemilan dari Gunungkidul. Foto: Riswanto.

Kudengar suara motor yang merapat ke pintu gerbang rumahku. Pagi-pagi sekali kurir membawa paket untukku. Kotaknya gedi tur yo rada abot, ternyata paket kiriman dari adikku perempuan sing neng Wonosari Gunungkidul. Seketika aku jadi teringat waktu berbalas WA dengan dia tempo hari. Adikku bakal ngirimi paket berupa lempeng tela ditambah rengginang dan krecek atau sering disebut manggleng.

Kebetulan banget, aku sebenarnya kangen sama snack legendaris ini. Rasa kangen kampung halaman terobati, karena diriku ini nggak bisa pulang gara-gara oCovid-19. Karena itu, snack kampung halaman ini dipaketkan adik perempuanku.

Bacaan Lainnya

Sebenarnya, snack ini bukanlah snack yang tergolong mewah. Hla wong bahan bakunya saja terbuat dari tela atau singkong yen wong mBetawi mengistilahkan. Setelah kubuka kardusnya,  lempeng tela yang dikirim ternyata ada beberapa njinah. Langsung saja kupilih satu per satu yang masih utuh-utuh, dengan maksud akan kujemur lagi biar nanti kalau digoreng menjadi kemripik.

Semua pasti sudah tahu, lempeng tela terbuat dari tela atau ubi kayu atau singkong. Snack ini, walau kelihatannya sederhana namun tidak demikian dengan cara mengolah dan membuatnya. Ada proses panjang yang harus dijalani untuk menghadirkan snack lempeng tela tersebut.

Bahan baku tela memang banyak ditanam di daerah asalku di Wonosari sana. Tela ini diparut sedemikian rupa sehingga tela utuh tadi menjadi seperti bubur tela, lalu parutan tela tadi dibumbui dengan garam dan bawang putih secukupnya. Tentu saja kedua bumbu tadi diulek atau dihaluskan terlebih dahulu.

Sambil memilih lempeng tela tersebut, tidak terasa di pipiku terasa ada yang meleleh panas keluar dari ujung mataku. Tak terasa netes eluh nang pipiku. Kelingan karo Ibu lan Mbakyuku sing wis kondur dhateng alam kelangengan. Mereka berdua adalah perempuan-perempuan yang luar biasa, tangguh-tanggon sedunia.

Terutama ibu, bagaimana tidak aku mengidolakan ibuku, sebagai perempuan yang di tinggal seda Bapak (suaminya) ketika kami anak-anaknya masih kecil-kecil. Bapak seda nggak meninggalkan harta yang melimpah. Terlebih bapakku juga bukan wong sing duwe drajat lan pangkat. Jadi, kalau ibuku bukan perempuan yang tangguh-tanggon, mungkin beliau akan mengeluh dan lari dari kenyataan membesarkan kami berlima dengan satu prinsip, tetap sendiri dan fokus dengan pendidikan anak-anak agar besar nanti anak-anaknya bisa menjadi orang. Untuk membesarkan kami berlima, swargi ibuku bekerja keras dan bahkan amat sangat keras.

Setiap mengingat lempeng tela ini aku menjadi malu terhadap jalan pikiranku dulu sewaktu masih bocah. Mengapa? Karena lempeng tela ini dulu sempat menjadi beban, karena waktu bermain atau dolanku terganggu gara-gara harus membantu ibu dan mbakyu membuat lempeng tela ini. Iya, inilah kebodohanku dan kenakalanku jaman cilik yang tidak mau tahu perjuangan ibu dan kakak-kakakku.

Oya, buat nebus rasa bersalahku dan mengingat kembali perjuangan ibuku, akan kuceritakan proses membuat lempeng tela. Ya, memang nggak gampang lho membikin lempeng tela itu. Nggak sesederhana melihatnya.

Proses pembuatan lempeng tela adalah proses cukup panjang. Pertama-tama memilih tela yang baik sebagai bahan bakunya, kemudian dilanjutkan dengan ngupas tela dan seterusnya tela-nya diparut agar menjadi semacam bubur. Nah bubur tela parut tadi dibumbui, dengan menambahkan garam serta bawang putih yang sudah dihaluskan.

Nah untuk mempercantik ditambahkan irisan daun bawang merah serta ditambahkan teres warna-warni sesuai selera dan tentu sesuai kesukaan pembeli. Kemudian dilanjutkan dengan mencetak lempeng tela dengan dimplek-mplek di pantat piring breng atau piring kaleng, barulah kemudian dikukus di atas ketel.

Begitulah kira-kira sesuai dengan pengalamanku dulu saat membantu ibu dan mbakyuku membuat lempeng tela. Dulu, hasil olahan lempeng tela memang nggak seberapa, dengan harga per jinah juga murah pada waktu itu.

Tetapi, yang selalu terngiang menjadi pertanyaan di benakku, kenapa kami anak-anak seorang janda itu mau melakukan ini semua? Yah…. karena kami ingin bertahan hidup dengan apa saja yang dapat kami kerjakan, atau syukur-syukur bisa sama karo kancane.

“Kok banyak yang remuk Yah?” Sapa lirih Mbak Bojo dari arah belakang.

“Ngrujak-ngrujak di jalan kali Ma!” Sahutku sambil menyembunyikan mukaku yang sembab agar tak terlihat.

Perlahan-lahan kuusap tetesan air mata di kedua belah pipiku. Kini tinggal perasaan dan batinku serasa sunyi dan sepi. Dalam kesunyian ini terdengar teriakkan yang amat sangat keras dari dalam batinku, “Ibu.., Mbakyu …, aku kangen dan rindu …..”

Dah… gitu dahulu… besok disambung cerita lainnya.

****

Tertanda: Penggemar Tongseng Pasar Argosari.

Facebook Comments Box

Pos terkait