Ngenger

Petarung hidup di Jakarta. Foto: KH.

Ketika lembayung senja mewarnai langit sebelah barat, hatiku terasa amat sangat bahagia. Bagaimana tidak, ing atase orang sepertiku, produk generasi 80-90-an masih diparingi kuat sehat bagas waras. Bisa nyawang senja yang begitu indah.Untuk generasi produk Gunungkidul era 80-90-an sepertiku, menjadi hal yang lumrah atau bahkan menjadi sebuah solusi yang baik ketika lulus sekolah langsung merantau mengadu nasib di kota besar seperti nJakarta ini. Untuk golongan generasi yang tidak cukup secara materi untuk melanjutkan sekolah atau kuliah sepertiku, maka sekolah sampai dengan lulus SMA saja itu sudah TeOPe BGT.Ya, ketika lulus sekolah langsung merantau mengadu nasib adalah menjadi prioritas pertama. Karena ketidakcukupan secara ekonomi dan ijazah formal yang kupunya bukan diploma apalagi sarjana, maka aku mengambil pilihan untuk merantau mengadu nasib di kota besar seperti nJakarta ini.

Jikalau ditarik lebih dalam ke generasi sebelumku, maka akan ditemukan banyak para pemudi-pemuda yang lulus SMP atau bahkan lulus lebih rendah dari itu memilih untuk segera merantau ke kota besar untuk mengadu nasib. Mungkin kita kesampingkan dahulu skill atau keahlian yang mereka bawa.

Bacaan Lainnya

Hanya bermodal tekat dan semangat membara, maka kota-kota besar menjadi harapan untuk memperbaiki nasib. Maka tidaklah mengherankan pada jaman dulu banyak pemudi-pemuda yang merantau meninggalkan kampung halaman demi sebuah impian untuk menjadi orang.

Ada sebuah fenomena yang menarik terkait tingginya minat dan keinginan untuk merantau bagi para pemudi-pemuda sepertiku ini. Aku memandang, fenomena ini lahir dari kearifan lokal, atau mungkin hal ini terjadi karena ada kedekatan dan sepertinya ada semacam “TUNGGAL RASA” yang menjalar di sanubari para perantau.

Fenomena itu tidak lain dan tidak bukan adalah adanya “Omah Jujugan”. Omah Jujugan biasanya dipunyai perantau yang lebih duluan yang telah sukses tinggal di kota besar. Mereka itu bisa memiliki rumah yang besar dan dijadikan sebagai omah jujugan bagi para perantau saudara atau tetangganya di kampung.

Kalau dilihat secara lahir, siapakah para perantau ini? Kadang mereka bukan pakdhe, budhe, kakak atau adik, bahkan saudara juga bukan. Namun mereka mau menerima para perantau yang tidak punya sanak saudara di kota besar. Aku berpikir, karena “tunggal rasa” tadilah yang menyebabkan mereka mau menjadikan rumahnya menjadi omah jujugan.

Untuk para perantau yang tidak memiliki sanak saudara dan tidak punya teman yang telah sukses, maka pilihan pertama ya datang ke Omah Jujugan. Maka tidak mengherankan saat masih di kampung halaman, siapapun yang akan merantau biasanya bertamu pada keluarga orang yang punya omah jujugan. Dari kampung halaman istilahnya sudah kula nuwun untuk merantau dan tinggal di omah jujugan.

Setahuku, fenomena ini ada yang menamai dengan istilah NGENGER. Namanya saja ngenger, maka kamar yang disediakan di Omah Jujugan tentu seadanya. Selagi belum dapat kerjaan, maka ngenger dengan sepenuhnya menjadi pilihan mutlak.

Nah, namanya saja wong ngenger, maka biasanya pasti mbantu-mbantu si tuan rumah sebisanya. Kadang-kadang yang ngenger lebih dari satu orang, maka dengan sendirinya yang tadinya bukan sanak bukan kadang menjadi semakin rumaket seperti saudara. Lagi-lagi, menurutku karena tunggal rasa tadi.

“Ayah…. Udah magrib, buruan gih ambil air wudhu,sapa lirih Mbak Bojo.

Mak gragap, aku kayak orang kaget. Jebul wis wengi, aku seakan-akan ndak mau lepas pandangan dengan senja yang penuh warna. Oya, sebagai cerita pelengkap,  bapakke mbak bojo atau bapak mertuaku dulu juga punya rumah yang menjadi omah jugugan seperti dalam lamunanku tadi.

Yang jelas, senja penuh warna di seputar Priok ini segera berganti dengan warna hitam malam yang penuh makna. Wis ndang ndedonga, semoga Covid-19 ndang pergi, pulih koyo uni-uni. Tetep semangat, tetep sehat, tetep sabar…

***

Tertanda: Penggemar Tongseng Pasar Argosari.

Facebook Comments Box

Pos terkait