Terima Kasih Ibu

Terbelalak mata pria itu saat melihat seorang perempuan tua terduduk ndeprok di lantai. “Bangsat…” pekiknya dalam hati.

Darahnya naik sampai ubun-ubun. Ia melihat tubuh renta itu miring ke kanan, sedangkan tangan keriputnya memegang lantai di jalan ruangan rumah sakit itu. Perempuan itu tampak memejamkan mata, dan mulutnya komat kamit menahan sakit. Lelaki berkulit coklat itu terhenyak, lalu tergopoh-gopoh segera mengangkat tubuh lemah itu.

Sesaat yang lalu, seseorang yang ditunggunya telah turun dari ranjang dan jatuh. Rupanya perempuan itu ibunya. Suaranya mengaduh. Ia menduga saat tengah malam, ibunya merasa mulas sehingga tak sadar membawanya menuju kamar mandi. Ia geram karena seorang perawat rumah sakit itu membangunkan tidurnya dengan nada tinggi. Ia kalap karena perawat itu tidak segera menolong ibunya, hanya mematung dengan wajah kecut.

Tengorokannya tiba-tiba tersekat. Ia mengutuk diri, kenapa tak berjaga sampai pagi. Ia tak mampu menahan kantuk. Ia mawas diri.

***

Itu kisahku, sewaktu mendiang ibu sakit. Saat senjanya, beliau keluar masuk rumah sakit. Akibat jatuh saat dalam perawatan itu, beliau harus menjalani operasi tulang pinggul.

Hari itu pas giliranku jaga. Saat malam setelah satu acara, kupacu motor, menempuh 50 kilometer menuju rumah sakit daerah di Bantul. Di sepanjang jalan kedua mata sudah terasa berat. Dua kilometer sebelum lokasi, kunyalakan sein kanan dan berhenti di sebuah warung yang remang lampunya, tampak roda dan tenda. Motorku kumatikan. Aku mampir sebentar ke angkringan, “Kopi nggih pak”. Segelas kecil kopi hitam yang disodorkan tak lama pun tandas lalu kuteruskan perjalanan.

Sampai di rumah sakit, kuparkir motorku. Lalu masuk ruangan. Tiba di ruangan, kakakku dan seorang ponakanku yang sejak pagi jaga kusuruh pulang. “Wis, tak jagane…”, ujarku. Aku duduk dan menjaganya, namun akhirnya membaringkan badan dan terlelap. Uuh, ternyata ujaran gagahku ini tak terbukti. Aku lalai mendampingi. Lalu terjadilah peristiwa yang memilukan hati.

***

Kuhela nafas sebentar, mengambil waktu mawas diri.

“Seorang ibu bisa merawat sepuluh anaknya, sedangkan sepuluh anaknya susah merawat satu ibunya”. Nah, rupanya “satu anak” itu menunjuk diriku…

Saat ini, kuhadirkan kembali bayangan peran ibu yang merawat anak-anaknya. Sosok yang membesarkan, ngragati, membimbing anak sehingga menjadi “uwong”. Orang Jawa menggambarkan, “sirah kanggo sikil, sikil kanggo sirah”.

Bahkan pada awal cerita kehidupan, para perempuan sudah bertaruh nyawa. Bukankah ada empat kemungkinan ketika proses melahirkan? Pertama, selamat yang melahirkan, mati yang dilahirkan. Kedua, mati yang melahirkan, selamat yang dilahirkan. Ketiga, mati yang melahirkan maupun yang dilahirkan. Keempat, selamat baik yang melahirkan maupun yang dilahirkan. Seorang anak merasakan nafas kehidupan dari Sang Ilahi melalui perjuangan seorang perempuan.

Saat ini, kuhadirkan kembali bayangan ibu, saat mengayuh sepeda onthelnya ke sekolah TK yang jadi medan karyanya. Menjadi guru tanpa tanda jasa.

Saat ini, kuhadirkan kembali bayangan ibu, saat mengayuh sepeda onthelnya ke rumah ibadah, mengenalkan anak-anaknya pada Sang Guru.

Saat ini, kuhadirkan kembali bayangan ibu, saat mengayuh sepeda onthelnya menahan air mata ketika harus mencukupi biaya sekolah dengan berhutang ke saudara-saudaranya.

Saat ini, kuhadirkan kembali bayangan ibu, saat mengayuh sepeda onthelnya membawa pulang seperempat karung beras kupon, pembagian tiap bulan untuk keluarga para abdi negara. Beras Bulog yang warnanya agak coklat dan berkutu hitam.

Oh, iya, kuhadirkan kembali juga bayangan ibu, saat sore hari sebelum aku mandi, ia menerima sobekan kertas kecil yang menjadi penanda pembayaran harian dari bank plecit.

Terima kasih atas onthel tua yang kauwariskan… Onthel tua menjadi penanda kayuhan kaki perempuan kuat yang mau memperjuangkan kehidupan anak-anaknya.

Terima kasih ibu!

Loading

Facebook Comments Box
Spread the love