“Wong arep ngunduh klopo ora bisa menek!” Dia bengong, sekitar lima detik mulutnya menganga. Mata bocah itu, yang semula memelototi layar HP, tampak bergeser ke arahku.
Keningnya njengkerut setelah telinganya menangkap kata-kata yang kualunkan. Sepertinya aneh baginya. Anak kelas empat SD itu lalu memuntahkan pertanyaan, “lho kok begitu pak?? Weee, ndak bisa naik pohon kelapa kok mau download kelapa??”
Aku agak terkejut melihat responnya. Makjenggirat senang karena diperhatikan. Ah, jebul bocah itu paham arti Indonesia-nya.
Semula, aku menyanyikan lagu-lagu Koes Plus diiringi ukulele. Lagu-lagu Jawa kumainkan dan tiba giliran menyanyi lagu “Omah Gubuk”.
Rupanya lirik bagian refrein lagu itu menarik perhatiannya. Penggalan lirik refrein lagu itu kurang lebih berarti: “Orang yang akan memetik kelapa namun ia tak bisa memanjat pohon!”
“Lha, terus gimana, Pak? Ndak bisa naik pohon kok mau metik kelapa?” protesnya sambil tertawa.
Eh, nadanya bukan protes sih, dugaanku itu pertanyaan yang mengandung unsur keheranan sekaligus kecurigaan. Wah, aku lega, ternyata meski masih bocah ia punya daya kritis juga. Hehehe.
“Gini, Mbak, kalimat itu isinya sebuah pitutur luhur. Namun bukan dipenggal begitu liriknya. Lengkapnya tuh begini, “Wong arep ngundhuh klapa ora bisa menek, mbok aja kandha-kandha klapane elek…“
“Nah, begitu!” Kucoba menerangkan bak guru di depan kelas. “Nah, jawabannya ada di situ…” timpalku.”
Apaa itu, Pakk?!” Ia malah tersenyum mengejek.
Wah, kupikir ini kesempatan menyalurkan bakatku, bakat tuk memberi nasehat.”
Jadi gini ceritanya…. Kan ada orang yang mau memetik kelapa, namun sebenarnya ia tidak bisa memanjat pohonnya. Eh, ia cari-cari alasan pembenaran atas kegagalannya itu. Lha, kok dia ngomong kalau yang salah kelapa. Kelapanya yang jelek, padahal ia gagal metik kan karena ndak bisa memanjat?”
“Oooooo…”
Meski tak ngomong kalau suka, namun dilihat dari bahasa tubuhnya, bocah berambut panjang berponi itu punya ketertarikan terhadap lirik-lirik lagu Jawa masa lalu. Sangat sering bocah sepuluh tahun itu mendengar K-Pop atau lagu-lagu seputar “Celengan Rindu” dan “Kisah Kasih di Sekolah.”
Lagu-lagu Pop Jawa yang kunyanyikan dianggapnya lucu, ini tampak dari binar mata dan senyum gelinya setiap kali kunyanyikan lagu “Ja Padha Nelangsa“, “Pak Tani“, “Pagupon“, “Tul Jaenak“-nya Koes Plus.
Begitu pula alat musik ukulele yang kupetik. Bocah itu juga tertarik. Kidung memegang kentrung dengan riang dan beberapa kali mulai menghafal kunci sambil terbata-bata menyanyikan penggalan lagu.
Di titik ini, ingatanku tertuju pada Gapong, teman masa kecil yang melatihku main gitar. Selain “Awal Cinta” Panbers, ia suka menyanyikan “Tul Jaenak” Koes Plus jaman baheulak.
Aku diminta mencoba mencoba satu per satu akord gitar C Dm G dan F dengan lagu itu. Dan tentu saja jari-jariku sampai kapalen, maklum senar string yang tajam.
Kali ini kusadari waktu berputar. Tak pernah kupaksa putriku suka pada alat musik tertentu atau hobi musik tertentu. Meski dalam hati kecil merindu, rupanya harapan itu belum jadi abu.
“Pitutur itu mengajak kita hari ini untuk percaya diri tanpa menyakiti, Mbak…”
Dengan gaya bapak bijaksana, kutambahkan aliran nasehat bijaksini pada anakku.
“Maksudnya apa, Pak?”
“Seperti gambaran ini lho! Untuk membuat garis supaya garis yang sudah ada itu tampak pendek, tidak perlu menghapus garis itu, namun membuat garis yang lebih panjang. Untuk membuat kehidupan yang baik, tak perlu menjelekkan orang atau mencari kekurangannya. Cukup buatlah dirimu lebih baik.” kututup dengan perumpamaan ini.
Ketika nasehat-nasehat kusampaikan, tiba-tiba ia kembali mengarahkan matanya ke HP lagi.
Huuu.
***