Di masa “Pletik Bull” ini, hal yang mempersatukan perlu ditemu-munculkan. “Pletik Bull” maksudnya, era emosian, dikit-dikit meledak (meledak kok dikit-dikit). Iya, karena corona semua hal terasa jauh dari ideal. Ia bikin semua serba salah, dan hati yang biasa kebal kini disentil dikit bisa terjungkal!
Sebut saja contohnya, ada beraneka. Dari oknum agamawan yang melawan aparatur negara, oknum BPD yang memecah kaca, sampai oknum kawan dekat yang mblokir teman FB-nya. Kok serba oknum? Sepertinya, semua minim gara-gara.
Nah, ini tuturan receh yang setidaknya kutemu-munculkan, di tengah kondisi “Pletik Bull” ini.
Dua sore yang lalu, kuberanikan nyekar di makam orangtuaku. Mudik ke kuburan itu rasanya ngliyeng, melayang seperti nyimeng (Kuberdoa, semoga kalian ndak pernah punya pengalaman nan menawan ini).
Dari makam, mampirlah kami ke tabon, rumah mbakyu sulung. Rumahnya berdekatan dengan empat rumah bulik, dan juga belakang rumah sepupu. Ramai, namun tetap berjauhan. Ngobrol setengah teriak pun deras mengalir, tak terasa menghanyutkan kangen yang terpendam pandemi.
Dari mulut satu tak jeda ke mulut lain. Tiba-tiba tema panci gosong menemukan tempatnya!
Mbakyuku bercerita tentang nasib pancinya yang berisi pisang menjadi hitam legam karena kompor yang lupa distel timernya. Istriku yang mengungkapkan aib suaminya karena merebus air yang membuat riwayat pancinya berakhir. Gayeng.
Di situ kutemukan, bahwa berbagi pengalaman otentik dan manusiawi, tentang lupa, kelemahan, dan kebodohan bisa menjadi asyik untuk bahan tertawaan.
Panci gosong kutemu-munculkan menjadi tema pemersatu.
Apa temamu?