Sumantri Adalah Kita

Sumantri terhenyak dari tempat tidurnya. “Mimpi yang sama ini terulang lagi,” batinnya. Sang adik tercinta Sukrasana datang lagi melalui mimpi di dua malam terakhir. Sumantri resah. Esok, pagi-pagi ia harus menghadapi Dasamuka, Raja Alengka. Peperangan yang terjadi antara kerajaan Alengka dan Maespati sudah berlangsung lama. Korban sudah banyak sekali berjatuhan di kedua belah pihak, baik itu para prajurit ataupun para senapati. “Ini harus segera diakhiri,” tekad Sumantri.

Bambang Sumantri sekarang adalah mahapatih Kerajaan Maespati bergelar Patih Suwanda. Tugas-tugas kerajaan dari Sang Maharaja Arjuna Sasrabahu selalu diselesaikannya dengan tuntas dengan keberhasilan gemilang. Ratusan medan perang dan ratusan ksatria dan raja telah ia-hadapi dan taklukkan dengan senjata andalannya yaitu Panah Cakrabeswara. Semua musuh bertekuk-lutut di hadapannya.

Bacaan Lainnya

Tetapi entahlah, menghadapi Raja Alengka, Prabu Dasamuka esok hari, Sumantri merasa gamang. Ia teringat kata-kata terakhir adiknya, Bambang Sukrasana, sesaat setelah anak panah Cakrabeswara menancap di dadanya. Dengan logat cadhel dari seorang bajang buruk rupa, Sukrasana terbata-bata mengucapkan weling terakhirnya, “Kakang Sumantri, aku hanya ingin dekat dan bersamamu. Ini adalah harapan terbesar dalam hidupku. Aku akan pergi bersemayam di Swargaloka. Kelak aku akan menjemputmu disaat Engkau bertemu dengan raksasa bermuka sepuluh.”

Itulah kata-kata terakhir Sukrasana: raksasa kerdil, kontet, berkulit hitam, dan buruk rupa. Sumantri menjerit histeris. Tidak ada maksud untuk menyakiti apalagi membunuh adiknya. Ia hanya ingin menakut-nakuti adiknya agar mau kembali ke Padepokan Ardisekar bersama ayahnya Resi Suwandagni. Sumantri tidak ingin karier dan kehidupannya sekarang yang gemilang di kerajaan Maespati ternoda oleh kehadiran adiknya Sukrasana yang buruk rupa, dekil, kotor, cadel, dan menakut-nakuti siapapun yang memandang.

“Aku memang egois,” batinnya kembali. Ia berusaha memejamkan matanya. Tetapi bayangan-bayangan Sukrasana terus berkelebatan di depan matanya. Malam sebelumnya Sumantri bermimpi: adiknya, Sukrasana, mendatanginya dengan berganti-ganti rupa. Sukrasana menjelma menjadi wujud-wujud kawula-alit, petani, pedagang keliling, tukang gresek, asongan, pengemis, buruh bangunan, tukang ojek dan banyak lagi. Sering pula Sukrasana hadir dalam wujud aslinya: kotor-dekil, berbaju lusuh, bermuka lelah.

“Aku adalah perwujudan rakyatmu, Kakang. Engkau bisa menjadi Mahapatih Maespati berkat kerja, doa dan dukungan kami. Tanpanya, kursi empuk itu tidak akan Engkau duduki!” penjelmaan-penjelmaan Sukrasana bergantian mengkhotbahi Sumantri yang waktu itu tidur “tindhihen” dan tidak mampu berkata apa apa. “Esok hari Engkau akan menghadapi Prabu Dasamuka, Raja sakti Kerajaan Alengka. Dia bisa merubah dirinya bermuka sepuluh. Raja bermuka sepuluh itu akan Engkau hadapi berbarengan, Kakang! Muka-muka itu adalah perwakilan dari berbagai macam sifat buruk: sombong, angkuh, egois, serakah, iri, dengki, tidak pernah puas, tamak, berprasangka buruk! Semuanya itu bisa menjadikan Kakang Sumantri lupa daratan dan dikuasai nafsu angkara!”

Penjelmaan-penjelmaan Sukrasana beralih menjadi gumam dan dengung, dengung menjadi gelombang suara berenergi, seakan mantra-mantra yang diucapkan ribuan orang secara sambung-menyambung, menjadikan Sumantri terjaga dari tidurnya dengan keringat dingin bercucuran.

Malam ini Sukrasana datang lagi dalam mimpi, tetapi dengan perwujudan yang berbeda. Sukrasana mewujud dalam perwujudan alam. Ia mendatangi Sumantri yang sedang terlelap di peraduannya yang megah, “Kakang Sumantri, aku hanya ingin bersamamu. Apapun yang ada padaku aku persembahkan semuanya untuk Kakang Sumantri,”.

Penjelmaan Sukrasana kali ini adalah perwujudan alam itu sendiri: tanah, air, pohon, batu, awan, hujan, gunung, bukit, sungai, danau, hutan, dan segala jenis hewan.

Dalam tidurnya Sumantri menyadari bahwa peran adiknya memang sangat penting dalam keberhasilan suwita-nya ke Kerajaan Maespati. Dia bisa menjadi pejabat tinggi mendampingi Raja Arjuna Sasrabahu. Kesaktian Sukrasana diberikan sepenuhnya untuk mendukung Sumantri, termasuk tugas Sang Raja atas permintaan permaisyurinya untuk memindahkan Sriwedari ke Kahyangan ke Kerajaan Maespati. Tanpa kesaktian Sukrasana, Sumantri tidak akan berhasil.

“Apa yang tidak aku berikan kepadamu, Kakang? Aku adalah perwujudan alam: kemegahan, keindahan, dan kehidupan yang lestari. Tetapi kenapa hanya  karena menuruti nafsu, Engkau tega menciderai semua ini? Dasamuka yang akan Engkau hadapi esok hari adalah cerminan dari kemurkaan alam! Muka-muka itu akan mewakili banjir, kekeringan, tanah longsor, gempa bumi, angin ribut!

Sumantri sungguh risau. Ia berdebar menunggu berhadapan dengan Dasamuka esok hari. Akan kah Sukrasana, adik tercintanya, akan menolongnya?

[Edi Padmo]

Facebook Comments Box

Pos terkait