Tangga Bambu dan Berita Palsu

“Mbah, naik ini ya!” Pria itu berteriak pada seorang perempuan tua yang sedang dalam gendongan. Wajahnya menandakan kebingungan. Sedetik kemudian, ia berlari mengambil sesuatu di dekatnya.

Rupanya dia mengangkat sebuah tangga yang terbuat dari bambu, panjangnya sekitar empat meter. Tergopoh-gopoh ia menyandarkan tangga berwarna coklat muda itu di dinding rumah yang masih kokoh berdiri. Sampingnya ada teras rumah. Atapnya terbuat dari cor semen. Tingginya sekitar tiga meter, sedangkan luasnya cukup untuk beberapa orang.

“Ah, mereka bisa naik ke situ lewat tangga ini” pikirnya.

Ide itu datang tiba-tiba. Pria itu tengah melihat seorang perempuan 30 tahun sedang menggendong seorang nenek. Mereka tampak pucat. Pembawa beban itu datang dari arah selatan. Kelihatan tersengal-sengal, hampir kehabisan nafas. Wajahnya sayu. Rambutnya kusam juga berdebu. Seakan sudah menempuh beberapa kilometer.

Sorot matanya menampakkan pesan tanpa harapan, apakah bisa meneruskan perjalanan, padahal deburan ombak dari arah selatan akan segera datang. Sepertinya sejengkal lagi akan dijemput maut, “Kami pasti akan hanyut…”

Lalu pria berhati mulia itu mengambil tangga bambu bermaksud menyelamatkan mereka…

***

Wajah mereka terekam sekilas saja. Pria itu segera mendepakkan kaki bak kuda, mendorong sebuah kursi roda yang sempat ditinggalkan sewaktu mengambil tangga. Adik dari ibunya yang sedari kecil terkena folio, tak mungkin ditinggalkan. “Om Wid harus diselamatkan…” batinnya.

Ia memacu kursi roda melewati kelokan di sela-sela runtuhan puluhan rumah, puing-puing dinding, dan kepulan debu. Tubuh orangtua yang duduk di atas kursi roda itu bergoyang-goyang. Tangannya memegang handle kursi dengan erat. Tampak pasrah akan nasibnya. Arah tempuhnya ke utara, sejauh mungkin bisa dijangkaunya.

Rupanya pria itu dihantui deru laut selatan yang akan menemui penduduk sini: Tsunami!

***

Banyak yang mengira Gunung Merapi meletus hari itu, Sabtu pukul 05.55 WIB. Ternyata bukan karena itu. Gempa tektonik Jogja 27 Mei 2006 berkekuatan 5,9 pada skala Richter selama 57 detik itu tak terhubung langsung dengan aktivitas Merapi.

Ia mengguncang tidak hanya fisik. Di Bantul, ribuan mayat bergelimangan. Rumah, sekolah, dan berbagai bangunan bertumbangan. Tangis, jeritan kehilangan, juga semakin mengentalkan aroma kematian. Hati teruncang.

Namun di balik itu, ada puluhan kejadian yang kurekam penuh dengan kesan.

Ayahku yang luka lecet kecil dan mengaduh seakan lukanya menganga namun begitu dibaringkan bersama jenazah tetanggaku yang sudah tak berupa, kemudian lari ketakutan sedemikian rupa. Tiba-tiba sehat dan kuat!

Tetangga samping rumahku yang merasakan dilema: pagi itu tepat hari perkawinannya. Berat hati meninggalkan saudara, rumah, dan aneka masakan yang berantakan, akhirnya tetap menuju ke misa perkawinan calon istri di Magelang. Sungguh dilematis.

Aku mengingat kejadian kira-kira dua jam setelahnya. Kami mendengar berita ada tsunami laut selatan. Banyak orang berteriak dan membunyikan klakson bersahut-sahutan. Kami berlarian menyelamatkan diri dan tega meninggalkan tujuh mayat para kerabat. Betapa kehilangan logika.

Istimewanya, kami memetik rasa solidaritas manusia dari penjuru dunia. Juga dari sesama yang sama-sama terluka. Meski akhirnya tidak semua, karena ada yang mendadak “kaya” dari sumbangan yang bukan haknya.

***

Suatu hari pria itu membeli lilin di sebuah warung. Warung kecil di pinggir jalan cor blok dusun. Penjualnya seorang perempuan usia 80-an.

“Lho, mas, njenengan dulu yang menyuruh saya naik tangga ta?” Tiba-tiba nenek ini melihat wajahnya lalu senyum-senyum. Tangan keriput menyodorkan lilin pesanannya.

“Kapan, mbah?” tanyanya, lupa.

“Nika pas gempa… Oalah, mas, ya ndak bisa, wong saya jaritan ha ha ha” simbah itu ketawa keras.

“He, he, he…” Pria atletis berwajah ganteng itu tersenyum manis. Oooohhh… Ia meredam tawa setelah menemukan ingatan tentangnya beberapa tahun silam. Berlarian gara-gara berita palsu.

Sedih, lucu dan agak gimana gitu.

Loading

Facebook Comments Box
Spread the love