
Siapakah wong cilik itu? Ini bukan membahas istilah wong cilik dalam kaitannya dengan parpol tertentu lho ya! Wong cilik adalah gambaran setiap warga negara yang tidak memegang amanah jabatan publik di lembaga negara, lembaga pemerintah, dan lembaga masyarakat (ormas, orpol, lsm, yayasan, dst), termasuk pula setiap warga negara yang tidak menjabat di BUMN/D/BUMDes, dan swasta sekalipun (Koperasi, PT, NV, CV, UD, PB, dst.)
Siapakah pemimpin itu? Simpelnya adalah warga negara yang memegang amanah jabatan di lembaga atau organisasi atau korporasi sebagaimana disebutkan di atas tadi. Dalam proses Pemilu, para kandidat berkontestasi masuk dalam kategori pemimpin atau calon pemimpin. Pemimpin karena mereka pada umumnya telah menjabat di sebuah lembaga atau korporasi. Calon pemimpin, karena mereka sedang ber-kontestasi untuk mendapatkan amanat wong cilik yang akan dipimpinnya itu.
Wong cilik dan pemimpin itu memiliki cara pandang atau perspektif atau horizon sendiri-sendiri. Baik cara pandang terhadap dirinya sendiri, cara pandang terhadap pihak lain, cara pandang terhadap lingkungan, cara pandang terhadap masalah yang dihadapi. Juga cara pandang terhadap kendala, peluang, dan tantangan yang dihadapi.
Para kandidat Legislator DPR/DPRD, Senator DPD, Capres-Cawapres, Cagub-Cawagub, dan Cabup-Cawabup sudah pasti memiliki cara pandangnya masing-masing terhadap hal-hal yang disebutkan di atas tadi. Ini biasanya dapat ditelisik melalui baliho-baliho pengenalan diri (foto diri yang serius, senyum simpul, tertawa mrenges, dll), alat peraga kampanye, orasi saat kampanye, dialog saat berdiskusi, sampai dengan dokumen-dokumen visi-misi, slogan, program kerja, dan seterusnya.
Mungkin tim suksesnya juga turut membantu menyusun dan memoles sehingga dapat dikatakan slogan, visi-misi, program kerja itu pasti menjadi rangkaian kata-kata yang indah dan mempesona. Yang menjadi catatan penting adalah, cara pandang pemimpin akan berpengaruh pada jalannya roda kepemimpinan.
Wong cilik pasti juga memiliki cara pandangnya masing-masing terhadap para kandidat yang ikut ber-kontestasi. Cara pandang wong cilik inilah yang sebenarnya sangat menentukan kemenangan kandidat yang ber-kontestasi.
Lho… apa iya? Sueerr deh, tapi ada syaratnya. Syaratnya adalah Pemilu berlangsung secara demokratis. Demokratis ringkasnya adalah para pemilih melakukan pilihan dengan merdeka dan gembira ria sebagai pesta rakyat, bukan pesta para pejabat. Demokratis adalah memilih karena tidak diancam paksa, tidak disogok atau meminta malah sogokan duit, kambing, sapi, montor, baru kemudian mau memilih, dst-dsb. Intinya wong cilik nyoblos karena yakin memberikan amanah untuk memimpin kepada kandidat yang dipercayainya.
Karena itulah, dalam Pilkada secara formal selalu ada tahapan kampanye. Kampanye adalah media para kandidat memperkenalkan diri dan menjadi kesempatan bagi para wong cilik untuk mengenal lebih dalam para kandidat agar mampu memilih dengan sasmita. Kampanye diatur secara formal oleh penyelenggara Pilkada melalui jadwal kampanye, materi, cara kampanye dan sebagainya. Apa iya para kandidat tidak jauh-jauh hari sudah berkampanye dengan aneka cara? Ini memang perkara debatable yang mungkin tak pernah bisa terjawab secara memuaskan.
Orang-orang pintar sering menyusun kriteria memilih pemimpin dalam bahasa akademik yang njelimet dan tidak gampang remesep ing ati. Kriteria itu misalnya: rekam jejak, integritas, loyalitas, kapabilitas, dan mungkin masih ada “tas-tas-tas” lainnya sebagai bahan penilaian untuk memilih.
Senada dengan kriteria-kriteria ilmiah tersebut, seorang budayawan swargi Mbah Umar Kayam pernah menulis kriteria-kriteria memandang pemimpin dalam bahasa gaul. Dalam bahasa wong cilik yang rasa-rasanya tetap kontekstual sampai saat ini. Beliau menyebutkan ada 3 kriteria, yaitu: “katuranggan”, “ngiman supingi”, dan “ciri-ciri wataknya”.
Nah…. Apa itu jlentrehan dari kriteria “katuranggan”, “ngiman supingi”, dan “ciri-ciri wataknya”? Monggo silakan dipenggalih piyambak dengan bebas, merdeka, dengan penuh canda juga gak apa-apa.