Berikut akan saya sampaikan modal murah dalam kontestasi pilkada. Eits, ndak usah marah. Jangan misuh dan bilang “raimu” atau “matamu” dan atau yang sejenis dengan itu dulu. Ini beneran, lho. Hee, tentu saja ini versi hasil terawangan orang awam.
Ya, memang bagi siapapun calon pemimpin daerah, mereka harus merogoh kantong sampai kedalaman tertentu. Konon dari awal menyingkirkan saingan internal untuk diusung partai ia harus bermodal cem-macem. Dari administrasi dengan rekomendasi sampai punya energi bak Alkaline, merk baterai. Jika dayanya sekadar ukuran ABC, sudah pasti ia bakal tak dipakai.
Begitu pula ketika calon sudah ditetapkan dan mulai memasuki jalan terjal masa kampanye. Tahapan ini jelas ndak murah.
“Untuk konsumsi pertemuan di base-camp saja tiap hari bisa dua-tiga juta!” Kata Mas Bambang saat pagi aku nggowes dan mampir ngobrol di rumahnya. Dulu, ia pernah ngurusi kebutuhan perut mulai teh, kopi, snack, dan makan tiga kali sehari untuk pertemuan pion-pion dari salah satu paslon.
Ya, ini mah sepele. Belum lagi uang bensin untuk para person yang hilir mudik, plus uang makan dalam perjalanan ke sana-sini tiada henti. Ya jelas angka terus berputar dan deretnya terus bertambah kencang seiring proposal, frekuensi, dan pertemuan demi pertemuan yang diadakan.
Belum lagi pengadaan banner, kaos, masker, dan sejenisnya. Buanyakk wooii!
Itu tadi yang mudah diamati. Berikutnya, tentang yang tampak mulia dalam niatnya, misalnya ketika merumuskan visi-misi. Mulia karena mereka mau membawa ke mana dan bagaimana caranya, dengan energi dan siapa saja para kawula. Mereka bersama tim perlu menyendengkan telinga, menajamkan mata untuk mencari data, juga memeras otak untuk merumuskannya. Heleh. Pada titik ini, calon perlu modal pengalaman, kepintaran, dan seni menyajikan yang tak bisa dikatakan “murah”. Tentu saja tak dikerjakan sendiri, di balik layar pasti ada ahli.
Bagian ini bisa digambarkan bak memasak menu lalu menyuguhkannya dalam etalase kaca supaya calon pembeli segera melirik etalasenya, menelan ludah saking kepingin menyantapnya. Ini perlu modal besar biarpun menu baru disuguhkan via foto atau gambar saja.
Lha, lalu yang murah yang mana?
Gini, lho, hari ini kan kita menyelami era post-truth dengan teknologi komunikasi dan informasi bergulung bak tsunami. Media sosial mengubah aneka hal. Barang milenial ini mempunyai kekuatan untuk mengubah sikap orang termasuk dalam menentukan pilihan pada pasangan calon bupati.
Lihat saja, pernyataan yang dipenggal lalu disajikan dengan ragam media diulang tak henti tanpa menunjukkan realita yang utuh atau objektif. Permainkan jari mengirim pesan di WAG, FB, IG, atau Youtube itu pun nyata dampaknya. Kata mantranya adalah “forward” dan “share“.
Membagikan link dengan unsur manipulasi sentimentil dan memutar ulang emosional. Mereka meramu pesan yang diplintir menjauhi fakta, dikerangkai dengan kepentingan tertentu, atau ditonjolkan sebagian untuk tujuan kemenangan. Apalagi ia kemudian diamini oleh posisi politik, ideologi, atau moral yang sudah tertanam mendalam. Bagian ini tak semahal uang transport, konsumsi, banner, atau modal sejenisnya.
Ya, benar modal murah kan? Cukup menyambungkan data internet dan menggerakkan jari. Nah, yang saya nyatakan di awal ter-afirmasi di sini dan semoga Anda pun menganggukkan kepala.
Eits, tapi tunggu dulu! Murah sih iya, tapi bukankah modal ini bisa juga disebut modal murahan? Bukankah ia adalah modal yang bisa membuat modal-madul keadaan?
Yuk, semua, mari jaga kewarasan.
***