Anak-anak jaman now barangkali keheranan melihat permainan ini. Ini mah udah usang. Jadoel banget deh…. Mungkin bakal demikian komentarnya. Namun, tahukah Sedulur? Jaman dulu ada sebuah permaian anak yang sangat fenonemal. “Adu Gambar” namanya.
Ya, “adu gambar” boleh dibilang menjadi permainan populer bagi anak-anak perdesaan Gunungkidul era 70/80-an. Di daerah luar Gunungkidul, ada yang menamai dolanan bocah ini sebagai “umbul gambar”.
Salah satu seri adu gambar yang paling populer adalah adu gambar wayang purwa. Ya, yang diadu adalah kartu yang berisi tokoh wayang purwa. Caranya, kartu gambar yang diadu tersebut ditumpuk rapi dijadikan satu, kemudian dilempar ke atas atau diumbulke. Lemparan kartu yang beterbangan tersebut pada akhirnya jatuh ke tanah dengan kondisi bisa mlumah atau mengkurep. Kartu yang “menang” adalah yang gambarnya mlumah (terlihat atau kebuka ke atas), sedangkan kartu yang mengkurep (tengkurap tidak terlihat gambarnya) disepakati sebagai kartu yang “kalah”.
Sebuah permainan sederhana, namun menjadi permainan yang sangat digemari dan membuat suka-ria anak-anak (terutama anak laki-laki) pada jaman itu. Anak-anak menjadi keranjingan bermain adu gambar kapan pun dan di mana pun.
Bermain adu gambar bisa di antara waktu bersekolah. Entah pada waktu pagi-pagi sebelum masuk kelas, saat istirahat, atau saat bubaran sekolah. Saat sore hari ketika bermain di halaman balai desa, di lapangan desa, di tepi kali, dan sebagainya.
Sesuai namanya, “adu gambar“, tentu ada sifat “toh-tohan” atau taruhan siapa menang dan siapa kalah. Taruhan atau toh-tohan yang digunakan pada waktu itu ya sebatas kartu gambar itu sendiri. Gambar yang diadu dan kalah bisa menjadi milik sang pemenang. Bisa pula diganti kartu lain apabila yang kalah masih eman-eman terhadap gambar yang diadu. Rasa eman-eman bisa muncul karena gambar yang diadu adalah tokoh idolanya.
Skala bermain adu gambar pun tidak sekadar bermain 1 kartu melawan 1 kartu. Ada pula bermain 2 banding 2. Satu banding satu tentu implikasi taruhannya mudah, ada 3 kemungkinan, yaitu: menang, kalah, imbang. Kartu gambar terbuka-tertutup artinya menang-kalang. Kartu tertutup-terbuka artinya kalah-menang, kartu terbuka-terbuka atau tertutup-tertutup artinya imbang.
“Jimaroluh” adalah salah satu istilah yang populer pada permainan adu gambar dengan skala bermain taruhan 2 lawan 2. Jimaroluh berasal dari singkatan siji-lima-loro-sepuluh. Ketika seorang bocah beradu skala 2 gambar, maka hukum permainannya akan mendapatkan 5 kartu gambar ketika menang satu kartu, dan mendapatkan 10 gambar jika menang 2 kartu. Artinya pihak yang kalah harus membayar 5 kartu gambar jika kalah 1 gambar, dan membayar 10 gambar jika kalah 2 gambar. Kondisi imbang bisa terjadi dalam 3 kondisi, yaitu: bila masing-masing pihak menang satu kartu, atau 4 kartu terbuka gambarnya semua, atau 4 kartu tertutup semua gambarnya.
Keasyikan para bocah beradu gambar biasanya akan berhenti ketika salah satu pihak kehabisan taruhan gambar. Namun bisa pula terhenti ketika para bocah tersebut tiba-tiba dibubarkan oleh orang tua kita. Byurr bubar para bocah ketika itu, istilahnya bubar kalangane. Para bocah segera bergegas mengerjakan tugas membantu orang tua masing-masing. Entah itu tugas ngarit, ngurung pitik, ngelapi semprong, atau membantu pekerjaan lainnya.
Adu gambar dari sisi negatif bisa jadi karena ada unsur “permainan judi” skala kecil-kecilan, apalagi dilakukan seusia para bocah yang masih bertumbuh kembang fisik dan mentalnya. Unsur judinya jelas terjadi, karena ada “pertaruhan”. Yang kalah harus kehilangan barang taruhannya dan menjadi milik sang pemenang.
Adu gambar memang hanya permainan sederhana, namun adu gambar memiliki magnet yang luar biasa yang menghipnotis dunia anak-anak pada jaman itu. Anak-anak yang keranjingan bermain adu gambar tentu menjadi jor-joran membeli lembaran-lembaran gambar wayang purwa. Mereka bakal asyik menggunting lembaran menjadi kartu bergambar wayang. Bahkan anak-anak pada waktu itu hapal tokoh-tokoh wayang idolanya memiliki nomor sekian di kartu gambar aduan tersebut.
Dampaknya, tentu saja uang saku anak yang keranjingan adu gambar bakal tersedot untuk membeli lembaran gambar ke para bakul gambar yang sudah sigap menggelar dagangan di depan sekolah atau di pasar-pasar desa.
Populernya permainan adu gambar barangkali pernah menyumbang pendapatan pabrik percetakan kartu gambar wayang purwa. Rejeki ini tentu juga mengalir ke para distributor dan pedagang yang jaman itu memasok ke berbagai daerah sampai pelosok perdesaan. Saya masih teringat, kartu gambar wayang yang paling laris manis adalah kartu gambar produksi pabrik percetakan Gunung Kelud, kodenya “GK”. Kualitas kartu gambar pabrik GK sangat bagus. Sangat disukai anak-anak pada waktu itu.
Sisi positif adu gambar menurut saya jelas ada juga. Bocah-bocah menjadi bergembira-ria meski modalnya cukup kartu gambar sederhana dan murah meriah tersebut. Anak-anak bisa berinteraksi satu sama lain tanpa sekat dan strata sosial, karena kartu gambar wayang disukai siapa saja, entah anak orang bisa maupun anak orang terpandang.
Melalui bermain adu gambar, anak-anak seusia saya waktu itu bisa bereksplorasi mengasah keberanian, berani mengambil risiko bisa menang, bisa kalah, atau imbang. Dengan adu gambar, anak-anak berlatih mengakui kekalahan meskipun sulit dan tentu saja sedih, melatih diri menjadi pemenang dan tidak perlu menjadi merasa jumawa. Ya, kehidupan nyata memang demikian adanya. Ada situasi menang, ada situasi kalah, ada imbang, dan berbagai kondisi lainnya. Sisi positif ada gambar membuka kesadaran, bahwa situasi hidup tidak harus menjadi berlawan-lawanan hitam-putih keadaannya.
Pelajaran penting dari adu gambar (meski ini digolongkan sebagai judi keci-kecilan), bahwa menjalani kenyataan hidup adalah sebuah kemestian dengan berbagai tingkat kerumitan. Entah itu kondisi menang, kalah, imbang, dan situasi lain yang tak terprediksi sebelumnya. Semua kondisi membutuhkan penyikapan tindak lanjut agar mampu dan selamat sampai akhir kehidupan.
Sisi positif yang tak boleh dianggap remeh dari permainan adu gambar adalah anak-anak pada jaman itu semakin dekat dalam mengenal karakter tokoh-tokoh wayang. Nomor 1 adalah Gunungan, menjadi pertanda mula-buka kehidupan yang bersifat mengerucut ke atas tak bertepi (dunia transedental). Nomor 2 tokoh Semar, bapak Punakawan, sang dewa kang mangejawantah menjadi manusia jelata (buruk rupa pula), namun Semar setia menjadi emban para ksatria. Ada tokoh Kresna, raja yang cerdik dan berwibawa. Ada Arjuna tokoh ksatria pandai berperang namun juga rupawan. Ada tokoh Werkudara, ksatria tinggi besar gagah perkasa
Ada tokoh Duryudana ksatria pertama dari wangsa Kurawa. Ada tokoh Karna, kakak para Pandawa yang sampai ajalnya berdharma pada Duryudana yang telah mengangkat derajat hidupnya. Ada pula tokoh Durna, Cakil, Burisrawa, dan lainnya.
Tokoh-tokoh karakter lain yang tak kalah populer lainnya dalam adu gambar masih ada banyak, seperti: Buto Terong, Sarpakenapa, Petruk, Gareng, Bagong, Batara Guru, dan lain-lain.
Namanya saja permainan adu gambar. Tentu saja mengadung unsur statistik probabilitas ketika sistem permainan ini bekerja. Karena itu, menjadi hal yang biasa saja ketika para bocah menang atau kalah ketika beradu gambar, meski menjadikan tokoh pahlawan wayang idolanya dijadikan jago taruhan.
Pendek kata, adu gambar bagaimanapun telah menjadi media pengenal yang mendekatkan kepada aneka tokoh wayang purwa. Tentu saja ini menjadi metode ampuh yang tidak secara sengaja telah mendekatkan anak-anak kepada kisah tutur turun-temurun tentang sifat ketokohan dan kepahlawanan dalam cerita pewayangan. Kisah tentang perangai baik, tentang perangai buruk, dan terkadang menggugah para bocah mencari tahu bagaimana kisah akhir hayat tokoh idolanya.
Semua cerita pewayangan itu, di alam bawah sadar sesungguhnya menjadi latihan internalisasi mental jaman tumbuh kembang para bocah. Proses internalisasi itu terus masuk dan meresap dalam sanubari perjalanan hidup di kemudian hari. Sampai kini.