Siapa tak kenal Teko Blirik? Teko berbahan enamel ini memang legendaris. Teko berwarna hijau lurik ini punya sejarah panjang. Kini, teko pelengkap wedhangan ini dianggap sebagai barang antik. Teko blirik dikenal sebagai perangkat minum teh dan diperkenalkan oleh pedagang Belanda berkelahiran Belgia, yaitu Jan Mooijen pada tahun 1845. Ya, 15 tahun setelah Perang Jawa atau Perang Diponegoro.
Benda cantik dan mungil ini rupanya menarik perhatian para buruh perkebunan untuk menggunakannya pada jam istirahat bekerja. Saking terkenalnya, pada 1908, Stasiun Gambir di Jakarta menggunakan Teko Blirik sebagai simbol identitas pemerintah Hindia Belanda. Pamor Teko Blirik semakin melegenda di tahun-tahun berikutnya. Massa-rakyat tak ketinggal ber-euforia dengan Teko Blirik.
Di Jawa Tengah tepatnya kota Semarang, sebagaimana dicatat Soe Hok Gie dalam skripsinya yang berjudul “Di Bawah Lentera Merah”, menyebutkan bahwa kota ini pada tahun 1921 menjadi salah satu tolok ukur pergerakan politik di Indonesia. Teko Blirik dan Caping Krowak pun akhirnya berubah maknanya menjadi simbol perjuangan petani, buruh dan nelayan. Teko Blirik dan Caping Krowak selalu hadir dalam pemogokan-pemogokan menentang pemerintah kolonial. Bukan hanya di Semarang melainkan di seluruh tanah Jawa!
Berbagai sumber menyebutkan bahwa motif blirik lahir dari motif lurik wastra Nusantara. Motif lurik sendiri hingga saat ini identik dengan kehidupan wong cilik dalam masyarakat agraris, yaitu petani. Motif lurik juga merupakan pakaian yang hanya dikenakan oleh abdi dalem Kraton.
Sampai disini barangkali kita makin paham bahwa Teko Blirik bukan benda sembarangan. Mereka yang menggunakan Teko Blirik, setidaknya memiliki laku hidup sederhana dan prasaja. Mereke yang minum teh dari Teko Blirik sekaligus menunjukkan keberpihakan dan kepedulian kepada wong cilik. ***