Bukit Hargodumilah: Sebutan Bukit Bintang pada Jaman Dulu

Bukit Hargodumilah. Foto: Tugi.

SEPUTARGK.ID – Ini hanya cerita ringan tentang kenangan masa lalu. Saya ternyata termasuk generasi jadul yang kurang updated. Sering diketawain anak saya karena kurang gaul. Ia terheran-heran merasa asing mendengar saya menyebut Bukit Hargodumilah untuk kawasan Bukit Bintang. “Ini Bukit Bintang Pak, tempat anak muda pada nongki-nongki” demikian protes anak saya ketika melintas di perbukitan penanda batas wilayah Bantul dan Gunungkidul ini.

Ya, anak-anak segenerasi anak saya barangkali belum membayangkan bagaimana situasi kawasan “Bukit Bintang” ini pada jaman dulu. Nggak usah jaman 1960-an dan sebelumnya, ke jaman saya masih remaja pun nampaknya sulit membayangkan.

Bacaan Lainnya

Sebagai anak desa wutun, bukan anak Wonosari perkotaan, maka pergi orang tua atau simbah untuk jalan-jalan ke Kota Wonosari itu rasanya sesuatu banget. Saya masih terngiang-ngiang dan merasakan kebahagiaan yang tiada tara sewaktu bapak dan simbah dulu memboncengkan saya dengan sepeda kayuh untuk belanja keperluan ke Pasar Wonosari. Bisa jalan-jalan di pertokoan Wonosari, bisa melihat orang dari berbagai asal. Bisa cuci mata nonton barang-barang yang dipajang di toko dan lapak-lapak pasar rasanya bahagia banget.

Dulu senangnya minta ampun sewaktu dibelikan kapal “othok-othok” juga mobil-mobilan kecil yang suaranya “ngguiiinggg” ketika digesekkan ke papan. Saya ingat, dulu belinya di Toko Madya di depan Pasar Argosari. Entah di mana sekarang tokonya. Sewaktu masih bocil, simbah kakung juga sempat memboncengkan saya dan adik untuk “diseneng-senengke” dengan nonton pasar malam dan sirkus di Lapangan Tribrata Baleharjo. Saya hanya bisa gumun melongo sewaktu melihat aneka atraksi yang mengagumkan.

Pergi ke Jogja kota pada jaman dulu itu nggak bisa setiap waktu. Lha wong nggak ada urusan teramat sangat penting, ngapain pergi ke kota besar. Saya pertama kali pergi ke Jogja sewaktu piknik kelas VI SD setelah ujian. Waktu itu ke Karaton, Kebon Binatang Gembiraloka, dan Candi Prambanan. Rombongan piknik naik bis Djangkar Bumi.

Saya masih ingat, pergi ke Jogja yang ke-2 pada waktu naik kelas III SMP. Waktu itu bapak sudah bisa beli sepeda motor, sehingga diajak bapak untuk belanja buku di Shopping Center sembari muter jalan-jalan melihat sekolah dan kampus perguruan tinggi. Pergi ke Jogja ke-3 sewaktu habis ujian SMP, waktu itu teman sekampung sekaligus teman sekolah mengajak untuk pergi nonton Pasar Malem Sekaten. Saya masih ingat, dulu dari Wonosari ke Jogja naik minibus Isuzu Colt Diesel. Memilih naik minibus karena jalurnya langsung masuk kota lewat Gedong Kuning, Jalan Kusuma Negara, dan berakhir di Terminal Shopping Center. Sementara kalau naik bis besar turun di terminal bis, nanti repot karena bingung gimana cara naik bis kota.

Rasa senangnya minta ampun bisa menikmati perjalanan melewati jalan perkotaan, ada gedung-gedung perkantoran dan rumah-rumah yang megah. Saya menginap di kontrakan orang tua teman saya yang usaha jualan bakso di kampung sebelah timur Malioboro. Bisa pergi ke Jogja bersama teman rasanya seneng banget, merasa sudah beranjak menjadi remaja yang berani pergi jauh dan diberi kepercayaan oleh orang tua untuk menginap di rumah teman.

Ketika dulu bepergian ke Jogja sudah sampai Bukit Patuk rasanya senang banget, karena bakal melihat pemandangan indah daerah “ngare” atau “negara“. Itu istilah khas kami orang Gunungkidul untuk menyebut wilayah Yogya kota dan sekitarnya. Sebelum bisa melihat pemandangan di bawah, turunan dan belokan tajam pertama kali namanya belokan Slumprit. Dahulu sering ada kendaraan mogok di sini, biasanya truk yang overload dan kurang ancang-ancang buat naik sekaligus berbelok.

Setelah melewati tikungan Slumpit bakal bisa melihat pemandangan luas area lembah Yogya dan sekitarnya. Jaman dahulu, pemandangan ke bawah dari Bukit Patuk masih ada banyak dijumpai bedeng-bedeng khas yang disebut “gudang tembakau” di sekitar Piyungan dan Berbah. Bukit Patuk juga sering disebut sebagai Bukit Hargodumilah.

Dahulu penandanya adalah sebuah bangunan gedung tua di pereng bukit sebelah barat jalan. Ada gambar wayang raksasa di gedung tua itu. Sayang bangunan legendaris ini tak berbekas sekarang ini. Nama Bukit Hargodumilah pun sekarang jarang disebut orang. Entah mengapa, anak-anak jaman now menyebut tempat ini sebagai Bukit Bintang. Tapi Bukit Bintang di sini tidak sama dengan Bukit Bintang nama pusat perbelanjaan di KL lho ya.

Tentang bangunan Gedung Hargodumilah yang dulu ada gambar raksasa wayang itu sepanjang yang saya ketahui ternyata memiliki kisah tersendiri. Dulu kawasan perbukitan ini merupakan tempat peristirahatan perjalanan yang dibangun oleh pihak Karaton Yogyakarta. KITLV dan Leiden Universitet juga mendokumentasikan tempat ini sebagai tempat peristirahatan perjalanan sambil ngeteh atau ngopi dari puncak perbukitan. Nanti akan saya tulis dalam cerita terpisah.

Tikungan dan turunan tajam terakhir di area ini disebut Bokong Semar. Entah sejak kapan dan siapa yang memberi nama tikungan ini Bokong Semar, saya belum dapat infonya. Setelah melewati tikungan ini, praktis tikungan dan turunan/tanjakan sudah tidak ada yang ekstrim.

Siapa yang memiliki kenangan yang serupa di jalur Bukit Hargodumilah barangkali bisa melihat klip singkat di tautan berikut:

 

Facebook Comments Box

Pos terkait